Kopi TIMES

Melawan Kekerasan terhadap Perempuan dengan Menulis

Minggu, 16 Februari 2025 - 18:00 | 64.59k
Nafa Latif Vani, Alumni Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember.
Nafa Latif Vani, Alumni Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JEMBER – Sudah berapa banyak kasus kekerasan yang menimpa perempuan. Peristiwa ini membuat perempuan tidak berdaya untuk bersuara, sehingga untuk melawan pun masih terbayang-bayang rasa trauma.

Perilaku kekerasan tak jarang karena dominasi patriarki yang memperlakukan perempuan dibelenggu oleh pelbagai norma. Memaksa perempuan untuk tunduk, berkompromi, dan menerima peran sempit.

Advertisement

Ketika perempuan melawan perlakuan tidak adil sering kali dihadapkan pada tekanan sosial yang menghakimi. Perjuangan melawan kekerasan terasa seperti melawan tembok besar yang tak akan pernah runtuh.

Perempuan Hanya Jadi Pemuas Hasrat

Kekerasan terhadap perempuan merupakan bentuk kekejaman yang mendarah daging dalam berbagai aspek kehidupan. Menurut data dari Komnas Perempuan, pada tahun 2023 tercatat lebih dari 400.000 kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia, yang secara mayoritasnya melibatkan kekerasan seksual.

Angka yang sangat mengejutkan, namun lebih menyakitkan ketika banyak perempuan masih terjebak dalam pembiaran perlakuan ketidakadilan ini terus menerus terjadi pada dirinya.

Perempuan masih saja diperlakukan sebagai objek, bukan lagi sebagai manusia yang mempunyai martabat dan hak yang sama. Apalagi parahnya paradigma masyarakat tetap menganggap bahwa perempuan hanya dijadikan pemuas hasrat laki-laki.

Terlebih oknum yang melakukan perbuatan tersebut memiliki posisi kuasa di struktural, seperti laki-laki dengan status sosial tinggi. Sebab melalui kuasanya, laki-laki merasa memiliki hak untuk mengontrol dan mengeksploitasi perempuan, termasuk dalam bentuk pelecehan seksual.

Menulis sebagai Alat Perlawanan

Kekerasan yang dialami oleh perempuan memang memerlukan penanganan tersendiri. Tapi perbuatan kekerasan tidak dapat dibiarkan begitu saja dan harus tetap dilawan salah satunya dengan cara menulis.

Seperti yang pernah dilakukan oleh Nawal el-Saadawi, dalam karya sastranya “Perempuan di Titik Nol.” Tulisan Nawal ini sebagai wujud perlawanan dari perempuan bernama Firdaus yang mengalami kekerasan dari laki-laki.

Perempuan yang berani menulis tidak hanya mencatat realitas sosial. Tetapi juga memberikan pandangan kritis terhadap ketidaksetaraan dan perannya dalam struktur sosial.

Sebagaimana yang dikatakan Nawal, “Kebenaran menyuarakan perbuatan jahat yang mencegah saya, untuk tidak merasa takut kepada kekurangajaran para penguasa.” (Sutaarga, 2003:150).

Oleh karena itu, menulis adalah medium ampuh untuk memberi suara pada perempuan yang selama ini dibungkam. Memungkinkan perempuan untuk berbicara tanpa takut dihakimi.

Selain itu, memberi kebebasan mengekspresikan rasa marah, frustasi, dan kekecewaan atas perlakuan yang tidak manusiawi, sekaligus mengubah rasa sakit menjadi narasi yang menginspirasi.

Seorang perempuan melalui tulisannya dapat meruntuhkan konstruksi sosial yang telah lama membelenggunya. Memberi kekuatan untuk mengatakan dengan lantang, “Perempuan bukan alat pemuas nafsu. Perempuan adalah manusia yang berhak atas keadilan, penghormatan, dan kesetaraan.”

Menulis untuk melawan kekerasan terhadap perempuan membutuhkan keberanian yang luar biasa. Sebab, saat perempuan menulis tentang pengalaman kekerasan yang dialaminya, sering kali menghadapi penghinaan, sindiran, bahkan ancaman. Padahal, korban yang demikian harus dibela dan didengarkan, bukannya disalahkan.

Perlawanan dari setiap kata yang ditulis adalah satu langkah menuju pembebasan kekerasan. Jalan perlawanan ini menghidupkan kembali suara-suara perempuan yang telah lama dibungkam oleh kekerasan fisik dan psikologis.

Setiap cerita yang dibagikan, akan menjadi seruan bagi perempuan lain untuk tidak diam, berani angkat suara, dan menuntut keadilan.

Perempuan yang menulis telah mengambil narasi untuk menggulingkan dominasi yang terlalu lama menekan. Setiap kata yang terucap melalui pena atau jari di keyboard, menunjukkan kepada dunia bahwa dirinya manusia yang memiliki hak untuk hidup dengan bebas, damai, dan penuh martabat.

Menyuarakan kekerasan lewat tulisan membangun kesadaran kolektif agar perbuatan tersebut segera dihentikan. Dengan demikian, suara yang ditulis oleh perempuan menjadi senjata perang melawan kekerasan yang kian dianggap normal dan siapapun mengabaikannya akan dipaksa mendengarkan.

***

*) Oleh : Nafa Latif Vani, Alumni Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES