Kopi TIMES

Suara Natsir untuk Prabowo

Minggu, 16 Februari 2025 - 23:17 | 24.25k
Muhammad Zidan Ramdani, Mahasiswa Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Muhammad Zidan Ramdani, Mahasiswa Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – 79 tahun sudah negeri yang diperjuangkan sehidup semati ini tumbuh dan berkembang. Bukanlah waktu yang singkat jika kita melihat kembali bahwa setidaknya sudah mendekati umur satu abad kemerdekaan republik ini.

Tidak sedikit darah para pejuang kemerdekaan yang tumpah di tanah yang katanya akan menjadi tempat berlindung di hari tua. Kehidupan yang sejahtera, pendidikan yang layak, pengentasan kemiskinan, dan peningkatan mutu sumber daya manusia selalu menjadi harapan sejak lama.

Advertisement

Bangsa ini terlalu besar kiranya, jika kita ingin menilik lebih dalam bahkan hingga ke pelosok desa. Tidak semua orang bisa mengakses internet seperti sekarang ini, tidak semua orang bisa menapaki jalan pendidikan sampai ke perguruan tinggi, dan tidak sedikit orang yang rela merantau ke kota-kota besar hanya karena sempitnya lapangan pekerjaan.

Lantas, apakah dari ketujuh pemimpin di negeri ini sudah menyelesaikan setiap permasalahan di negeri ini? Apakah Presiden Republik Indonesia kedelapan mau turut menjadi bagian dari pemimpin yang tidak selesai pada darma baktinya untuk negeri?

Tahun 2024 menjadi momen di mana bangsa ini menaruh nasibnya pada sistem demokrasi elektoral berupa pemilihan umum (Pemilu), khususnya untuk meneruskan estafet kepemimpinan sebagai seorang presiden.

Singkatnya, terpilihlah nama Prabowo Subianto, seorang mantan Letjen TNI yang pernah memimpin pasukan Kopassus. Namanya sudah tak asing lagi bagi masyarakat.

Bagaimana tidak? Anak dari Soemitro Djojohadikoesomo ini berkali-kali mencalonkan diri sebagai presiden sejak tahun 2004. Jelas itu bukan ambisi yang kecil-ia harus menunggu 20 tahun hingga akhirnya berhasil menjadi presiden pada tahun 2024.

Namun sangat disayangkan, ambisi besar itu seakan hanya menjadi sekadar ambisi tanpa banyak belajar dari pemimpin sebelumnya. Prabowo justru membuat kebijakan yang tidak relevan dengan kebutuhan masyarakat. Ia memiliki mimpi besar untuk bisa memberi makan masyarakat Indonesia di tengah ketimpangan sosial yang masih nyata.

Sementara itu, kemiskinan ekstrem justru semakin bertambah, dan jumlah anak-anak yang putus sekolah meningkat. Apa yang sebenarnya direncanakan Prabowo? Apakah sungguh ia bermimpi mulia ataukah hanya untuk memberi makan ego kampanye yang ia sampaikan di awal?

Tokoh bangsa Mohammad Natsir (1908-1993) pernah mendeskripsikan bahwa akan datang satu masa di mana situasi politik dan kebangsaan begitu pelik dan menyulitkan.

Pertama, melunturnya idealisme dan merajalelanya nafsu amarah, yakni nafsu-nafsu materi yang rendah dan kasar dalam berbagai macam bentuknya. Kita bisa berkaca bagaimana dalam lima tahun terakhir nafsu akan materi begitu mengendap dalam perpolitikan Indonesia.

Kasus korupsi yang menjerat menteri-menteri di era Jokowi seharusnya menjadi pelajaran bagi Prabowo. Kabinet yang gemuk bukanlah keuntungan praktis dalam mengatur sektor-sektor yang ada, tetapi justru menjadi tantangan nyata karena para "tikus berdasi" memiliki lebih banyak wadah untuk mereka makan.

Sayang sekali, saat HUT ke-17 Partai Gerindra, Prabowo seolah tidak menggubris kritikan tersebut. Ia justru membandingkan negara sebesar Indonesia dengan Timor Leste yang merupakan negara baru berkembang, kemudian diiringi dengan gestur tubuh yang menandakan bahwa ia tidak peduli pada kritikan publik terhadapnya.

Kedua, kaburnya batas antara patut dan tak patut. Pelanggaran batas-batas itu dilakukan dengan cara yang sangat sinis (memandang rendah sesuatu). Ini mengingatkan kita pada tahun 2024 ketika Mahkamah Konstitusi (MK) bertekuk lutut di bawah Jokowi yang menginginkan anaknya mulus melenggang menjadi cawapres mendampingi Prabowo.

Intrik-intrik semacam ini begitu terasa di sekitar kita. Ditambah lagi, selama 100 hari kepemimpinannya, kabinet gemuk yang dipimpin Prabowo menghadapi begitu banyak persoalan. Ia dengan bangga memangkas anggaran-anggaran di sektor penting seperti pendidikan dan kesehatan serta menjadikannya sebagai prioritas pendukung, bukan prioritas utama.

Ketiga, Natsir berkata bahwa akan kaburnya nilai-nilai keadilan yang zakelijk dan objektif sehingga hitam menjadi putih, putih dihitamkan. Prabowo menginginkan pemerataan hak yang sama bagi seluruh anak di Indonesia untuk mendapatkan makan siang gratis.

Namun, ia tidak melihat lebih jauh bahwa akibat kebijakan efisiensi anggaran, banyak pekerja di-PHK. Anak-anak dengan senang menyantap makanan bergizi, tetapi sang ayah pulang dengan wajah muram karena tak tahu lagi harus mencari uang ke mana.

Lagi pula, kebijakan ini diberikan kepada anak-anak sekolah, sedangkan untuk bersekolah saja, si miskin tidak tahu harus mencari uang dari mana.

Kepemimpinan adalah amanah yang besar, bukan sekadar ajang memenuhi ambisi pribadi. Prabowo memiliki kesempatan emas untuk membuktikan bahwa ia bukan hanya sekadar presiden ke-8, tetapi juga pemimpin yang benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat.

Namun, kebijakan-kebijakan awalnya menunjukkan bahwa ia belum mampu melihat permasalahan bangsa secara holistik. Sebuah kebijakan yang tampak baik di permukaan bisa jadi menimbulkan kesenjangan baru jika tidak diiringi dengan solusi menyeluruh.

Sebagai pemimpin, Prabowo seharusnya lebih peka terhadap suara rakyat dan kritikan yang membangun. Ia harus belajar dari kesalahan pemimpin sebelumnya agar tidak terjerumus ke dalam jebakan yang sama.

Momen ini adalah ujian baginya-apakah ia benar-benar akan menjadi pemimpin yang meninggalkan warisan baik bagi negeri ini, atau sekadar bagian dari lingkaran kekuasaan yang terus berulang?

Indonesia butuh pemimpin yang berani mendengar, berani berbenah, dan berani menegakkan keadilan. Seperti yang pernah disampaikan Natsir, jangan sampai batasan antara yang patut dan tak patut semakin kabur, sehingga rakyat hanya menjadi penonton dalam permainan elit politik yang tidak berpihak pada mereka.

***

*) Oleh : Muhammad Zidan Ramdani, Mahasiswa Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES