Kopi TIMES

Palu Keadilan

Senin, 17 Februari 2025 - 17:00 | 58.24k
Anshori, Direktur Pusat Study Hukum dan Sosial Lamongan serta Dosen Fakultas Hukum Universitas Billfath Lamongan.
Anshori, Direktur Pusat Study Hukum dan Sosial Lamongan serta Dosen Fakultas Hukum Universitas Billfath Lamongan.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, LAMONGAN – Gibran Khalil Gibran yang populer dengan nama Kahlil Gibran, penyair kelahiran lebanon (1883), dalam perenungan mendalamnya terhadap harapan ditegakkanya hukum dan keadilan dengan baik.

Apabila seseorang akan menjatuhkan hukuman, atas nama sang hukum, demi tegaknya keadilan. Dia ayunkan kapak ke arah pohon yang dihinggapi setan, biarlah dia melihat dahulu akar pohon itu.

Advertisement

Di sinilah akan didapatkannya akar-akar kebaikan, akar-akar keburukan, akar yang mengandung kemungkinan harapan, dan akar yang sia-sia hanya berisi kemandulan. Semua terayam dalam jalinan mesra di jantung bumi yang diam.

Keadilan sering kali disimbolkan oleh seorang wanita dengan penutup mata yang memegang timbangan dan pedang, melambangkan ketidakberpihakan, keseimbangan, dan penegakan hukum. Namun, apa yang terjadi ketika alat yang dimaksudkan untuk menegakkan keadilan “palu hakim patah”.

Metafora ini menggambarkan kegagalan dalam sistem peradilan, di mana korupsi, bias, dan ketidakefisienan merusak fondasi utama keadilan dan hukum. Di banyak masyarakat, ketika keadilan gagal, konsekuensinya bisa sangat serius, menyebabkan hilangnya kepercayaan (Publik distrast), kerusuhan sosial, dan degradasi nilai-nilai moral.

Sistem peradilan dimaksudkan untuk melindungi yang tidak bersalah dan menghukum yang bersalah. Namun, ketika ideal ini dikompromikan, retakan mulai muncul. Salah satu alasan utama kegagalan keadilan adalah terjadinya perselingkuhan antara penegak keadilan dengan kepentingan kekuasaan.

Di banyak bagian dunia, suap, nepotisme, dan campur tangan politik telah mengubah pengadilan menjadi arena di mana orang kaya dan berkuasa memanipulasi sistem demi keuntungan mereka, sementara yang terpinggirkan menderita dalam diam.

Dalam kasus di mana independensi peradilan dikompromikan, putusan dapat didikte oleh pengaruh eksternal daripada berdasarkan fakta dan bukti. Hal ini mengakibatkan salah vonis dan pembebasan para penjahat yang, karena kekayaan atau koneksi politik mereka, lolos dari keadilan.

Kejadian seperti ini melemahkan kepercayaan publik terhadap peradilan, membuat orang bertanya-tanya apakah sistem hukum benar-benar tidak memihak.

Konsekuensi dari Sistem Peradilan yang Rusak

Ketika palu keadilan patah, masyarakat membayar harga yang mahal. Salah satu dampak yang paling langsung adalah meningkatnya aksi main hakim sendiri. Jika masyarakat merasa bahwa pengadilan tidak dapat memberikan keadilan.

Mereka mungkin mengambil hukum ke tangan mereka sendiri. Hal ini mengarah pada keadilan massa, pembunuhan di luar hukum, dan siklus kekerasan di mana balas dendam menggantikan proses hukum.

Selain itu, sistem peradilan yang disfungsional menciptakan budaya impunitas. Ketika para pelaku kejahatan tahu bahwa mereka dapat menghindari hukuman, tingkat kejahatan meningkat.

Politisi korup terus menjarah sumber daya negara, pelanggaran hak asasi manusia tidak dihukum, dan kesenjangan antara si kaya dan si miskin semakin lebar. Sistem hukum, alih-alih menjadi mercusuar keadilan, justru menjadi alat penindasan.

Konsekuensi serius lainnya adalah erosi demokrasi. Sistem peradilan yang adil adalah pilar masyarakat demokratis. Ketika sistem ini runtuh, otoritarianisme sering kali menyusul.

Pemimpin yang seharusnya bertanggung jawab atas tindakan mereka tidak menghadapi konsekuensi, dan suara-suara yang berbeda pendapat dibungkam melalui manipulasi hukum.

Negara-negara dengan sistem peradilan yang lemah sering mengalami ketidakstabilan politik, karena masyarakat kehilangan kepercayaan pada jalur hukum untuk mendapatkan keadilan dan beralih ke protes serta ketidakpatuhan sipil.

Meskipun tantangan terhadap keadilan sangat besar, mengembalikan integritasnya bukanlah hal yang mustahil. Langkah pertama adalah memastikan independensi peradilan.

Hakim dan pejabat hukum harus bebas dari pengaruh politik dan finansial. Mekanisme harus diterapkan untuk mencegah campur tangan dari pemerintah, perusahaan, dan individu berkuasa.

Reformasi penting lainnya adalah transparansi. Proses pengadilan harus terbuka untuk pengawasan publik guna memastikan akuntabilitas. Pengangkatan hakim dan pejabat penegak hukum harus didasarkan pada meritokrasi, bukan hubungan pribadi atau politik. Implementasi sistem manajemen kasus digital juga dapat mengurangi peluang manipulasi dan korupsi.

Pendidikan hukum dan kesadaran juga merupakan kunci. Banyak orang, terutama di negara berkembang, tidak sepenuhnya memahami hak mereka atau cara kerja sistem peradilan.

Program literasi hukum dapat memberdayakan warga negara untuk menuntut keadilan dan meminta pertanggungjawaban pihak berwenang. Organisasi masyarakat sipil dan lembaga pemantau independen memainkan peran penting dalam memantau kinerja peradilan dan mengungkap korupsi.

Lebih jauh lagi, reformasi peradilan harus mencakup langkah-langkah anti-korupsi yang ketat. Negara dengan tingkat korupsi peradilan yang tinggi harus membentuk badan independen untuk menyelidiki dan menuntut pelanggaran hukum.

Undang-undang perlindungan pelapor dapat mendorong individu untuk melaporkan korupsi tanpa takut akan pembalasan. Teknologi juga dapat menjadi faktor kunci dalam memulihkan keadilan.

Sidang pengadilan online, pelacakan bukti digital, dan penelitian hukum berbasis kecerdasan buatan dapat meminimalkan kesalahan manusia dan bias dalam sistem. Teknologi blockchain, misalnya, dapat digunakan untuk mengamankan dokumen hukum, sehingga lebih sulit untuk memanipulasi bukti.

Palu yang patah bukan berarti keadilan telah mati, itu berarti tindakan mendesak diperlukan untuk memulihkan kekuatannya. Pemerintah, praktisi hukum, dan masyarakat sipil harus bekerja sama untuk menutup celah dalam sistem peradilan.

Supremasi hukum harus ditegakkan, dan tidak ada seorang pun yang boleh berada di atasnya. Sejarah telah menunjukkan bahwa masyarakat yang gagal menegakkan keadilan pada akhirnya menghadapi kehancuran sosial.

Kisah peradaban yang runtuh mengingatkan kita bahwa ketika ketidakadilan menjadi norma, kebencian tumbuh, dan struktur masyarakat menjadi rapuh. Oleh karena itu, adalah tanggung jawab kolektif kita untuk menuntut dan mempertahankan keadilan.

Palu itu tidak boleh tetap patah. Ia harus diperbaiki dan digunakan dengan integritas, memastikan bahwa keadilan melayani semua orang, bukan hanya segelintir yang berkuasa. Hanya dengan begitu kita dapat benar-benar mengklaim hidup dalam masyarakat yang adil dan berkeadilan.

***

*) Oleh : Anshori, Direktur Pusat Study Hukum dan Sosial Lamongan serta Dosen Fakultas Hukum Universitas Billfath Lamongan.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

 

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES