
TIMESINDONESIA, MALANG – Menghidupkan Kembali kesadaran berfikir, Terutama di era Gen-Z yang ada di Indonesia saat ini, merupakan Langkah penting dalam menghadapi segala problematika zaman yang serba digital, termasuk fenomena brain rot yang kian meningkat.
Istilah brain rot muncul pertama kali dalam karya Henry David Thoreau salah satu tokoh Transendentalisme asal Amerika Serikat pada tahun 1854 dalam bukunya yang berjudul Walden, or Life in the Woods, di mana Thoreau menggambarkan dampak negatif dari kehidupan yang menurunkan nilai kesadaran seseorang karena terlalu fokus pada rutinitas yang tidak bermakna.
Advertisement
Namun kata ini Kembali populer pada tahun 2023, terutama di kalangan remaja, sebagai respon terhadap Perasaan kebosanan, Social Media Fatigue, hingga kecanduan teknologi yang semakin meningkat secara signifikan di era Gen-Z saat ini.
Kondisi Brain rot atau pembusukan otak ini pada dasarnya, merujuk pada keadaan mental yang terdistorsi akibat terlalu banyak atau berlebihan dalam mengkonsumsi informasi yang tidak bermakna, yang kerap kali terjadi dalam dunia digital yang penuh dengan berita sosial, hiburan tanpa henti, hingga berbagai konten yang kurang konstruktif.
Di era ini, Gen-Z yang tumbuh besar dengan kemudahan akses ke internet maupun media sosial, sangat rentan terhadap fenomena ini. Dampaknya dapat kita lihat mulai dari penurunan kemampuan fokus, kecenderungan rasa ingin selalu terlibat dalam faktor perbandingan sosial, atau bahkan sampai memunculkan rasa kecemasan dan depresi tekanan sosial yang diciptakan oleh dunia maya.
Dalam hal ini, Kesadaran merupakan kunci utama untuk memulihkan Kembali Kesehatan mental sebagai Upaya pencegahan terjadinya brain rot. Menghidupkan Kembali kesadaran disini bukan hanya tentang mengembangkan pemahaman menjadi lebih peka terhadap dunia sekitar.
Lebih dari itu, meningkatnya kesadaran akan membantu seseorang lebih mengenal dan memahami dirinya sendiri, hubungan sosial, serta meningkatkan rasa simpati dan empati terhadap orang lain.
Langkah awal dalam menghidupkan kembali kesadaran bisa dimulai dengan menciptakan ruang komunikasi sekitar kita yang mendorong untuk refleksi diri, interaksi yang lebih intens serta mendalam, sebagai Upaya pengurangan kebingisingan digital yang merusak.
Langkah pertama untuk menghidupkan kembali kesadaran di kalangan Gen-Z, yakni dengan menciptakan lingkungan yang mendukung untuk pemulihan mental.
Hal ini bisa dilakukan dengan aktivitas yang memperkuat tubuh dan pikiran, seperti olahraga, eksplor alam, hingga membuat kelompok kecil sharing interaktif yang merangsang pemikiran dalam menentukan tujuan hidup.
Langkah awal ini dapat membantu Gen-Z untuk terhubung lebih kuat dengan kenyataan, mengurangi ketergantungan terhadap dunia digital, serta memiliki pola hidup yang lebih terarah.
Kedua, menciptakan Gerakan meraih mimpi atau cita-cita. Gerakan meraih mimpi atau cita-cita dapat menjadi formulasi yang tidak hanya sebatas nilai edukasi, namun ini bisa menjadi Langkah kongkrit yang efektif serta solutif dalam mengurangi penggunaan teknologi yang berlebihan.
Ketika ada satu kelompok atau komunitas, khususnya di kalangan remaja, yang membantu mereka fokus pada pencapaian cita-cita, maka dengan ini mereka akan lebih termotivasi untuk mengelola waktu dan energi dengan bijak.
Dengan menetapkan tujuan hidup yang jelas, mereka bisa lebih disiplin dalam memilih aktivitas yang mendukung impian mereka dan mengurangi waktu yang terbuang di media sosial atau aplikasi hiburan. Teknologi, meski disisi lain memiliki manfaat, namun teknologi juga bisa menjadi distraksi besar yang menghambat produktivitas di kalangan remaja.
Gerakan ini mengajarkan bahwa mimpi yang besar memerlukan komitmen untuk menjaga fokus, mengatur Batasan penggunaan teknologi, dan perlu adanya kelompok untuk saling memotivasi serta menguatkan kepercayaan diri antar individu.
Dengan demikian, melalui gerakan meraih mimpi, kita bisa menciptakan keseimbangan dalam penggunaan teknologi, sehingga dapat menjaga stabilitas nilai produktif dan lebih dekat dengan tujuan hidup yang lebih bermakna.
Ketiga, membangun komunitas Gerakan sosial kemasyarakatan. Tindak lanjut dari gerakan meraih mimpi melalui pengurangan penggunaan teknologi dapat diperkuat dengan mengajak mereka terlibat dalam gerakan sosial kemasyarakatan.
Dengan melebur langsung kedalam kegiatan sosial, mereka tidak hanya sebatas mengembangkan jaringan, tetapi juga belajar tentang pentingnya kepedulian terhadap masyarakat.
Gerakan ini memberikan peluang remaja untuk bekerja sama dengan berbagai pihak dalam proyek-proyek kemanusiaan, seperti program pendidikan untuk anak-anak kurang mampu, pelestarian lingkungan, atau pemberdayaan komunitas.
Melalui keterlibatan Gerakan ini, remaja akan lebih peka terhadap masalah sosial dan merasakan langsung dampak dari tindakan mereka. Hal ini akan menanamkan rasa simpati dan empati, sekaligus mengajarkan pentingnya saling peduli.
Lebih dari itu, mereka juga akan belajar bagaiman cara membangun keterampilan sosial yang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari, seperti komunikasi, kepemimpinan, dan kerja sama tim.
Gerakan sosial ini juga dapat mengurangi ketergantungan terhadap teknologi, karena mereka akan diarahkan lebih fokus pada kegiatan yang lebih produktif serta memberi dampak positif bagi masyarakat, dan ini akan membantu mereka memperkuat rasa tanggung jawab sosial, khususnya dikalangan remaja.
Namun Kembali lagi, semua ini akan tercapai, harus melalui kesadaran diri yang lebih mendalam, yang memberikan kemungkinkan kepada Gen-Z untuk dapat melihat dunia dengan perspektif yang lebih objektif dan fokus. Dengan memahami sejarah istilah "brain rot" dan bagaimana hal itu berkembang, agar kaum remaja dapat lebih bijak dalam menghadapinya.
Menyadari dengan penuh bahwa dunia digital bisa membawa dampak negatif, hingga kita merasa perlu menciptakan adanya lingkungan yang lebih sadar untuk menangani fenomena ini, baik itu dalam hubungan sosial, penggunaan teknologi, maupun cara kita menghargai waktu dan kualitas hidup.
Kesadaran ini, jika diterapkan dengan konsisten, dapat menjadi antidot yang solutif untuk menghadapi fenomena brain rot serta membawa generasi muda Indonesia menuju kehidupan yang lebih bermakna dan produktif.
***
*) Oleh : Muhammad Fatih Abdillah, Mahasiswa Universitas Islam Malang dan Kader PMII Rayon Sunan Bonang.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |