
TIMESINDONESIA, KALIMANTAN TIMUR – Dalam era digital, cara masyarakat menyampaikan aspirasi mengalami perubahan signifikan. Jika sebelumnya unjuk rasa identik dengan mobilisasi massa di ruang publik, kini media digital menjadi alternatif yang lebih efisien dan efektif.
Kemajuan teknologi komunikasi memungkinkan individu dan kelompok untuk berdiskusi, menggalang dukungan, serta menyampaikan gagasan tanpa harus selalu mengadakan aksi fisik yang memerlukan biaya besar.
Advertisement
Unjuk rasa merupakan bentuk partisipasi aktif masyarakat dalam sistem demokrasi. Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) pernah menyampaikan bahwa media digital telah menjadi alat yang sangat efektif dalam menyampaikan pendapat secara luas dan cepat.
"Kita harus memanfaatkan teknologi sebagai sarana demokrasi yang lebih inklusif, transparan, dan efisien," ujarnya dalam salah satu forum diskusi tentang digitalisasi komunikasi publik.
Unjuk rasa konvensional sering kali membutuhkan anggaran besar untuk perizinan, transportasi, logistik, dan keamanan. Menurut Menteri Keuangan, efisiensi dalam berbagai aspek, termasuk dalam penyampaian aspirasi, perlu diperhatikan agar sumber daya dapat dialokasikan secara lebih produktif.
"Di era digital, kita memiliki berbagai alternatif dalam menyampaikan pendapat tanpa mengeluarkan biaya yang besar. Ini adalah peluang yang perlu dimanfaatkan dengan bijak," katanya dalam sebuah seminar tentang kebijakan publik.
Dengan media digital, unjuk rasa dapat dilakukan tanpa memerlukan biaya besar untuk mobilisasi massa. Kampanye melalui media sosial, petisi daring, atau diskusi virtual dapat mengurangi kebutuhan akan perlengkapan fisik serta biaya perjalanan, sehingga anggaran dapat dialokasikan untuk kegiatan lain yang mendukung gerakan secara lebih berkelanjutan.
Menteri Sosial pernah menggarisbawahi pentingnya penggunaan media sosial dalam gerakan sosial dan demokrasi. "Media digital memungkinkan aspirasi masyarakat menjangkau para pengambil kebijakan dengan lebih cepat dan luas, bahkan hingga ke tingkat internasional," ungkapnya dalam sebuah wawancara.
Berbeda dengan unjuk rasa konvensional yang terbatas pada satu lokasi, media digital memungkinkan informasi untuk menyebar dengan cepat ke berbagai wilayah. Dengan strategi komunikasi yang tepat, pesan yang ingin disampaikan dapat diterima oleh lebih banyak orang, termasuk pemangku kebijakan.
Tidak semua orang memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam unjuk rasa fisik karena keterbatasan waktu, jarak, atau kondisi tertentu. Dengan adanya media digital, siapa pun dapat terlibat dalam diskusi atau mendukung suatu gerakan tanpa harus hadir secara langsung di lokasi aksi.
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menegaskan bahwa demokrasi harus bersifat inklusif, dan media digital dapat membantu kelompok-kelompok yang sulit hadir secara fisik tetap berpartisipasi dalam menyuarakan pendapat mereka.
Media digital memungkinkan interaksi langsung antara peserta aksi dengan masyarakat luas. Melalui fitur komentar, diskusi daring, dan siaran langsung, pesan dapat disampaikan secara transparan dan terbuka.
Hal ini juga memungkinkan adanya dialog yang lebih konstruktif antara berbagai pihak untuk mencari solusi atas permasalahan yang diangkat.
Penggunaan media digital dalam unjuk rasa juga memiliki tantangan. Salah satunya adalah risiko penyebaran informasi yang kurang akurat atau bahkan hoaks. Menteri Komunikasi dan Informatika menekankan pentingnya literasi digital dalam mengelola informasi.
"Kita perlu membangun kesadaran publik tentang pentingnya menyaring informasi agar aspirasi yang disampaikan tetap berbasis data yang valid," jelasnya dalam sebuah diskusi tentang keamanan informasi.
Tidak semua platform digital memberikan kebebasan yang sama dalam menyampaikan pendapat. Beberapa media sosial memiliki kebijakan tertentu yang dapat membatasi atau menyaring konten tertentu.
Oleh karena itu, pemilihan platform yang sesuai serta strategi komunikasi yang bijak menjadi hal yang perlu diperhatikan agar pesan dapat tersampaikan dengan efektif.
Pemanfaatan media digital dalam unjuk rasa merupakan langkah inovatif yang dapat meningkatkan efisiensi anggaran sekaligus memperluas jangkauan aspirasi masyarakat.
Dengan pendekatan yang tepat, media digital dapat menjadi sarana yang efektif dalam membangun kesadaran publik serta mendorong dialog yang konstruktif dengan pemangku kepentingan.
Dalam penggunaannya, penting untuk tetap mengedepankan etika komunikasi serta memastikan bahwa informasi yang disampaikan berbasis fakta. Seperti yang disampaikan Menteri Dalam Negeri, "Kebebasan berpendapat harus diiringi dengan tanggung jawab. Teknologi seharusnya digunakan untuk membangun peradaban yang lebih baik, bukan untuk menyebarkan kebingungan."
Gerakan digital tidak hanya menjadi sarana ekspresi, tetapi juga menjadi bagian dari upaya membangun masyarakat yang lebih demokratis, inklusif, dan berorientasi pada solusi.
***
*) Oleh : Rosyid Nurrohman, S.M., M.AB., Dosen Prodi Administrasi Bisnis Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mulawarman Kalimantan Timur.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |