Resuffle Kementerian Pendidikan Tinggi: Antara Harapan dan Skeptisisme

TIMESINDONESIA, MALANG – Resuffle terbaru dalam Kementerian Pendidikan Tinggi dan Riset kembali menjadi sorotan. Dengan dilantiknya menteri baru, harapan akan reformasi di sektor pendidikan tinggi kembali mencuat. Pergantian ini bukan sekadar pergantian figur, tetapi juga menjadi momentum bagi perbaikan sistem yang selama ini dinilai masih memiliki banyak persoalan mendasar.
Namun, seperti halnya setiap perubahan dalam kabinet, resuffle ini juga tidak lepas dari pro dan kontra yang mencerminkan perbedaan kepentingan serta harapan terhadap kebijakan yang akan datang.
Advertisement
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi pendidikan tinggi di Indonesia adalah relevansi kurikulum dengan kebutuhan dunia kerja. Banyak lulusan perguruan tinggi yang kesulitan mendapatkan pekerjaan karena keterampilan yang diperoleh selama masa studi tidak sejalan dengan tuntutan industri. Transformasi pendidikan tinggi yang lebih adaptif terhadap perkembangan zaman menjadi tuntutan yang tidak bisa ditunda. Menteri baru harus mampu menjembatani kesenjangan ini dengan merancang kebijakan yang lebih proaktif dalam menghubungkan institusi pendidikan dengan dunia industri.
Selain itu, akses terhadap pendidikan tinggi yang berkualitas masih menjadi masalah utama. Biaya kuliah yang tinggi, kurangnya pemerataan fasilitas, serta minimnya kesempatan bagi mahasiswa dari latar belakang ekonomi menengah ke bawah menjadi penghambat utama. Reformasi dalam skema pembiayaan pendidikan, termasuk beasiswa dan pinjaman pendidikan yang lebih mudah diakses, harus menjadi prioritas utama. Menteri yang baru tidak bisa hanya melanjutkan kebijakan lama tanpa adanya inovasi yang lebih berpihak pada mahasiswa dan dosen yang berjuang di tengah keterbatasan sumber daya.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Di sisi lain, kualitas tenaga pengajar juga menjadi isu penting. Banyak perguruan tinggi masih mengalami kekurangan dosen berkualitas, terutama dalam bidang sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM). Peningkatan kompetensi dan kesejahteraan dosen harus mendapat perhatian serius agar proses belajar mengajar bisa berjalan optimal. Tanpa adanya perbaikan dalam aspek ini, sulit untuk berharap pendidikan tinggi di Indonesia bisa bersaing di tingkat global.
Tidak hanya itu, birokrasi dalam pengelolaan pendidikan tinggi juga sering kali menjadi penghambat utama dalam proses reformasi. Sistem yang berbelit-belit, ketidakefisienan dalam pengelolaan anggaran, serta praktik korupsi di sejumlah perguruan tinggi telah menjadi momok yang terus menghantui sektor ini. Menteri yang baru harus memiliki keberanian untuk melakukan gebrakan, termasuk menata ulang sistem pengawasan dan tata kelola perguruan tinggi agar lebih transparan dan akuntabel.
Namun, tidak semua pihak menyambut baik pergantian ini. Sebagian pihak menilai bahwa resuffle hanya akan menjadi perubahan kosmetik tanpa adanya perbaikan signifikan. Mereka meragukan apakah menteri baru benar-benar memiliki visi yang jelas atau sekadar menjadi alat politik dari kepentingan tertentu. Jika hanya menjadi perpanjangan tangan kekuatan politik tertentu, maka reformasi pendidikan tinggi yang diharapkan akan sulit terwujud.
Sebaliknya, ada pula kelompok yang optimis dengan pergantian ini. Mereka melihat bahwa resuffle dapat menjadi kesempatan untuk membenahi kebijakan yang selama ini stagnan dan kurang efektif. Menteri baru diharapkan bisa lebih responsif terhadap kritik serta membuka ruang dialog yang lebih luas dengan akademisi, mahasiswa, dan pemangku kepentingan lainnya. Jika menteri baru memiliki keberanian untuk melakukan reformasi yang menyeluruh, maka pendidikan tinggi di Indonesia memiliki peluang besar untuk bertransformasi ke arah yang lebih baik.
Pada akhirnya, keberhasilan atau kegagalan menteri baru akan sangat ditentukan oleh kebijakan yang diambil dalam beberapa bulan ke depan. Jika hanya terjebak dalam retorika tanpa langkah konkret, maka resuffle ini tidak akan membawa perubahan yang berarti. Namun, jika mampu menghadirkan kebijakan yang progresif dan berorientasi pada kepentingan mahasiswa serta dosen, maka inilah saatnya bagi pendidikan tinggi di Indonesia untuk benar-benar mengalami perbaikan yang selama ini dinantikan. ***
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
*) Penulis: Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Dhina Chahyanti |
Publisher | : Rochmat Shobirin |