
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Tulisan ini bermaksud merespon tulisan Yusuf Arifai, Dosen Ma'had Aly Al-Tarmasi Pacitan, yang tayang di media TIMES Indonesia pada Jumat, 28 Februari 2025, dengan judul: Ancaman Radikalisme dan Kebangkitan Eks HTI di Tengah Krisis Kebijakan Prabowo-Gibran.
"Radikalisme ini seperti rumput liar. Dicabut, tumbuh lagi. Dibabat, menjalar lebih lebat. Sejak Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dibubarkan pada 2017, banyak yang mengira urusan beres. Kenyataannya, virus ideologis ini tidak pernah benar-benar hilang. Ia hanya berubah bentuk, menyusup ke sudut-sudut yang lebih dalam, mengintai momentum."
Advertisement
"Kini, ketika pemerintahan Prabowo-Gibran baru akan berjalan, kelompok-kelompok eks-HTI mulai terlihat kembali. Bukan dalam bentuk organisasi resmi-sebab legalitasnya sudah dirampas negara-tetapi sebagai gerakan bawah tanah yang cerdik memanfaatkan celah. Mereka mendompleng keresahan publik, terutama di tengah gonjang-ganjing kebijakan ekonomi dan politik yang tak menentu."
"Ancaman radikalisme di Indonesia hari ini bukan sekadar isu keamanan, tetapi persoalan bangsa. Jika tidak ditangani dengan cermat, kita akan melihat siklus yang sama berulang: radikalisme tumbuh, pemerintah panik, tindakan represif diambil, lalu radikalisme muncul dengan wajah baru yang lebih kuat."
"Pemerintahan Prabowo-Gibran, dengan segala tantangan dan krisisnya, harus memahami bahwa menghadapi eks-HTI bukan sekadar perkara melarang, tetapi juga membangun narasi tandingan yang lebih kuat."
Demikian poin-poin penting dalam tulisan Yusuf Arifai. Pada intinya, tulisan tersebut mendesak agar Prabowo Subianto melakukan langkah serius dalam menyelesaikan berbagai krisis yang terjadi, karena jika tidak, virus ideologi HTI akan sangat mudah menjalar ke berbagai elemen masyarakat.
Dalam beberapa dekade, topik HTI memang laris manis diberbagai forum. Kelompok ini semacam menjadi musuh bersama yang harus dimusnahkan dari bumi Indonesia. Jangankan idenya, jika bisa para penganutnya harus keluar dari Indonesia karena dinilai telah mencederai Pancasila, sebagai falsafah yang telah menjadi kesepakatan bersama.
Pertanyaannya adalah, benarkah HTI semenakutkan itu bagi kita? Dengan sangat ekstrim saya mempertanyakan hal sebaliknya, untuk apa kita takut pada ideologi HTI?
Bisakah kita melihat realitas bahwa ideologi ini hanya mimpi di siang bolong untuk diimplementasikan sebagai kerangka dalam membangun satu negara. Faktanya, tak ada satu pun negara di dunia yang berhasil menjadi negara maju nan menjelma adidaya karena sebab menganut sistem ini.
Saya sebut mimpi di siang bolong tersebut karena misalnya, meminjam penjelasan mantan Menkopolhukam Mahfud MD (2025), adalah haram hukumnya mendirikan negara seperti Nabi Muhammad Saw. Dikatakan haram, karena negara di periode Nabi itu Kepala Negaranya adalah Nabi, hukumnya langsung dari Nabi, hakimnya pun Nabi sendiri.
Artinya, dari legislatif, eksekutif dan yudikatif berada di tangan preogratif Nabi. Lalu, siapa sekarang yang mau menjadi Nabi? Jika tetap ngotot pada sistem HTI, maka harus terlebih dahulu mencari Nabi baru agar bisa bertindak seperti Nabi Muhammad Saw tersebut.
Jadi, jika kelompok HTI ini bertujuan untuk membangun kembali sistem khilafah Islam yang pernah ada di masa lalu, dengan syariah sebagai dasar pemerintahan, lalu ambisinya ingin mengembalikan kejayaan Islam yang pernah ada di masa lalu, itu tidak akan mungkin terwujudkan sampai kapanpun.
Pun kata Ahmad Syafii Maarif (1935-2022), dalam bukunya: Mencari Autentitas dalam Dinamika Zaman, jika kita berkonsultasi dengan Al-Qur'an dan literatur Islam klasik, termasuk Piagam Madinah, istilah negara Islam (al-dawlah al-Islamiyyah) tidak kita jumpai. Jika memang demikian kenyataannya, mengapa sebagian umat Islam bersikukuh untuk menciptakan negara yang diberi nama negara Islam?
Tokoh Muhammadiyah ini menyebut, sebagai suatu ijtihad politik-kalau itu memang sebuah ijtihad-sebenarnya tidak ada yang salah dalam usaha semacam ini. Ia menyebut bahwa dirinya cenderung pada pendapat bahwa munculnya gagasan tentang negara Islam lebih banyak disebabkan oleh sikap reaktif umat terhadap perkembangan politik abad XX, bukan oleh kesungguhan mereka untuk menciptakan sebuah tatanan kehidupan Islami yang komprehensif, utuh, dan substansial. Mereka lebih tertarik pada bentuk dan merek daripada pada substansi dan isi.
Pancasila Belum Final
Saya ingin kembali pada pertanyaan saya di atas, untuk apa kita takut pada ideologi HTI? Toh, pada kenyataan selama bertahun-tahun mereka tidak juga berhasil membuktikanya.
Bahkan, untuk sekedar memaparkan secara akademik pun tentang sistem yang mereka perjuangkan tersebut, mereka tidak pernah mau melakukannya. Hemat saya, tak perlu risau, apalagi dengan cara-cara berlebihan dalam merespon akan tumbuhnya ideologi HTI tersebut.
Karena yakinlah, ideologi ini akan tiarap dengan sendirinya tanpa harus diterjang sana-sini, sebab ruang relevansinya sudah tidak ada. Apalagi di Bumi Katulistiwa ini yang kini rakyatnya sudah dalam tatanan rasionalitas yang cukup tinggi.
Pun hemat saya, generasi kita ini sudah tak lagi relevan kita bicara berbusa-busa mengenai hal tersebut. Cukup kita pada fokus atas keresahan kita pada pemegang kebijakan yang hingga kini tak kunjung menunaikan pesan-pesan Pancasila. Bahkan acap kali menghinakannya.
Ketimpangan dan ketidakadilan kekuasaan jelas lebih menakutkan dari sekedar bicara ideologi HTI. Sebab itu, adalah kewajiban semua insan Indonesia harus memperjuangkannya karena ini telah bicara nasib jutaan masyarakat.
Yang paling urgent menjadi diskursus adalah bahwa Pancasila belum final. Sebab itu hanya akan menjadi falsafah manis tiada arti jika rezim demi rezim sebagai regulator tidak melanjutkannya sebagai pembuktian pada kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kita ambil contoh misalnya, sila ke dua yang bunyinya: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, dan sila kelima: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Jika kita kritisi, dimana saat ini kita bisa mencari sebuah keadilan dan keberadaban itu di Indonesia? Tidak ada dan tak akan ditemukan.
Bahkan, jika kita mau jujur, kita tengah melawan penjajahan di rumah kita sendiri. Lengah sedikit, rakyat kehilangan tanahnya karena harus dirampas secara paksa oleh oligarki atas nama Proyek Strategis Nasional (PSN).
Lengah sedikit, tiba-tiba laut rakyat Indonesia terbit Hak Guna Bangunan (HGB). Ternyata secara sembunyi-sembunyi telah dijual oleh pemangku kebijakan.
Masyarakat kini tengah resah dengan semua janji-janji lima tahunan, namun tak ada pembuktian apapun. Nampaknya, jika ini berlarut, rakyat akan muak dan bukan tidak mungkin suatu saat mereka mengambil cara dan jalannya sendiri.
Saya ingin mengakhiri tulisan ini begini: mari kita, khususnya generasi muda untuk fokus berbicara fakta dan substitusi yang sedang terjadi. Tinggalkan pembahasan HTI, karena itu telah basi dan segera mati.
***
*) Oleh: Moh Ramli, Penulis Buku Tragedi Demokrasi.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi TIMES Indonesia.
_______
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sholihin Nur |