Kopi TIMES

Trauma Itu Bisa Diwariskan Antargenerasi: Ahli Jiwa Gabor Mate Melihat Isu Israel-Palestina (2)

Selasa, 04 Maret 2025 - 10:14 | 77.66k
Sunarko, Freelance Writer.
Sunarko, Freelance Writer.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Sebagai ahli jiwa dengan pengalaman puluhan tahun memimpin klinik psikiatri, Dr. Gabor Mate mengingatkan bahwa trauma bisa diwariskan. Jadi, bukan hanya penyakit fisik yang secara genetika bisa diwariskan ke anak-keturunan; kondisi psikis seperti trauma juga bisa diturunkan oleh generasi pendahulu ke generasi berikutnya. Itulah yang disebut intergenerational trauma atau trauma antargenerasi. 

Pernyataan psikiater ternama asal Kanada ini sebetulnya hanya menggarisbawahi saja hasil sejumlah penelitian ilmiah, yang telah diungkapkan sebelumnya oleh para pakar lain, diantaranya ahli biologi molekuler Dr. Bruce H. Lipton, dan ahli kedokteran fungsional Dr. Will Cole.

Advertisement

Namun, Gabor Mate perlu menegaskan perihal intergenerational trauma ini dalam melihat konflik Israel-Palestina agar bisa diambil pelajaran, sehingga diharapkan konflik tersebut tidak berlanjut turun-temurun lintas generasi. Trauma membuat pengidapnya memiliki persepsi yang jungkir balik (perceptual distortion) terhadap realitas kehidupannya.

Penelitian Gabor Maté tentang trauma dan dampaknya  memang telah menciptakan perspektifnya yang unik dalam melihat konflik Israel-Palestina. 

Sebagai ahli jiwa sekaligus seorang Yahudi yang mengalami sendiri tragedi Holocaust yang merenggut nyawa jutaan Yahudi di Eropa (termasuk anggota keluarga besar Gabor Mate sendiri), Gabor Mate dinilai bisa utuh dan seimbang ketika mengamati konflik Israel-Palestina. 

Apalagi, Gabor Mate melakukan analisis atas konflik tersebut dari sudut ilmu kejiwaan. Berbeda dari banyak analisis lain yang biasanya melihat isu Israel-Palestina dari kacamata ilmu politik dan sejarah.

Pembantaian massal orang Yahudi atau Holocaust dilakukan oleh pasukan Nazi-Hitler selama Perang Dunia II.
Menurut Gabor Mate, trauma mempengaruhi bagian-bagian di otak seperti amigdala (disebut juga sebagai “pusat rasa takut” atau fear center) dan korteks prefrontal --yang fungsinya meregulasi emosi dan pengambilan keputusan. 

Pengalaman traumatik bisa mengubah secara fundamental cara seseorang memproses dan menafsirkan dunia serta kehidupannya. Trauma membuat jaringan syarafi (neural network) dan sistem kognitif di otak jadi seperti “terakit ulang” (rewired), sehingga pengidap trauma menjadi hipersensitif terhadap bahaya, meskipun bahaya itu sesungguhnya cuma dalam persepsinya saja, tidak nyata.

Gabor Mate mengungkapkan, trauma bukanlah gangguan yang semata dialami oleh individu. Peristiwa traumatik juga bisa dialami secara massal oleh suatu kelompok atau bangsa. Itu seperti yang terjadi pada kaum Yahudi yang mengalami Holocaust selama Perang Dunia II.

Secara garis besar, dalam konteks kelompok/kolektif, trauma antargenerasi bisa diilustrasikan dengan pola kira-kira sebagai berikut: 

“Kelompok A mengalami peristiwa traumatik. Karena dampak trauma itu, kelompok A kemudian membuat proteksi diri berlebihan (overproteksi) agar peristiwa traumatik yang sama tak menimpanya lagi. Overproteksi berasal dari persepsi yang distortif terhadap realitas, lantaran trauma membuat fungsi normal otak jadi terimbas. Akibat distorsi persepsi kelompok A itu, dalam pikirannya sekelompok kucing jadi terlihat seperti sekelompok macan; sehingga sekelompok kucing itu harus dilawan bahkan dibasmi. Sisa-sisa kelompok kucing yang jadi sasaran/korban kelompok A, akhirnya mengalami trauma juga. Mereka pun jadi memiliki persepsi yang bias pula terhadap realitas, dan tinggal menunggu momen serta konsolidasi kekuatan untuk kelompok kucing itu membalas kelompok A.”

Gabor Mate mengingatkan, betapa mengerikan dampak dari memori trauma yang tidak dibereskan, karena ia akan melahirkan trauma-trauma lain yang tak berkeputusan (lingkaran setan). Dan, kata dia, trauma Yahudi-Israel akibat Holocaust yang belum tersembuhkan itu, kini justru menciptakan trauma baru pada bangsa Palestina. Itulah intergenerational trauma.    

Ia lantas mengutip hasil survei di Journal of World Psychiatry pada 2005 yang menyebutkan bahwa sekitar 90 persen warga Palestina di Gaza, termasuk anak-anak, mengalami trauma berat. Pada anak-anak, trauma itu ditandai dengan gejala-gejala seperti sering mimpi buruk, sering ngompol saat tidur malam, dan berperilaku agresif.

Kondisi psikologis yang sangat menekan warga Gaza ini, kata Gabor Mate, memudahkan terjadinya radikalisasi rakyat Palestina dalam gerakan atau perjuangan mereka menentang pendudukan Israel.

“Survei tahun 2005 itu sebelum Hamas berkuasa di Gaza,” kata Gabor Mate dalam wawancara From Holocaust to Gaza: Dr. Gabor Mate on The Impact of Trauma bersama Christian Amanpour pada 29 Januari 2025 lalu.(lihat: https://www.youtube.com/watch?v=wlf3pxwInSk). 

Intinya, Gabor Mate menegaskan bahwa anak-anak muda atau remaja Palestina yang kemudian jadi martir dalam melawan Israel, itu bukan lantaran mereka telah dicuci otaknya oleh para ideolog agama. 

Radikalisasi terjadi akibat psikis mereka yang trauma berat, karena dibesarkan dalam lingkungan yang sangat getir dan menekan di bawah penindasan Israel. Agama hanya memberi konteks kesakralan pada sikap dan langkah mereka. 

Oleh karena itu, dalam kasus di Palestina, argumentasinya jangan dibalik, dengan mengatakan bahwa agama-lah yang membuat mereka radikal dan siap jadi martir.

Gabor Mate mengungkap pula hasil survei terbaru mengenai dampak trauma di zona-zona perang (termasuk Gaza), yang diadakan Desember tahun 2023 –berarti setelah serangan kelompok Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023. 
Disebutkan, sebanyak 96 persen anak-anak Palestina di Gaza berpikir bahwa kematian mereka sangat dekat (imminent).
“Dan, 73 persen dari mereka menunjukkan gejala-gejala agresifitas. Dengan kata lain, apa yang dihasilkan oleh survei tahun 2005, sekitar 20 tahun kemudian kondisinya malah memburuk di sana,” ungkap Gabor Mate. 

Yang disayangkan, seperti biasa, Israel selalu menuding para martir itu sebagai teroris. Ini mengisyaratkan bahwa Israel hipersensitif dan overvigilance –dua diantara beberapa tanda belum beresnya trauma,  yang membuat persepsi terdistorsi.  
Hipersensitivitas itu juga terlihat dari bagaimana tanggapan Israel terhadap serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, yang menewaskan  1.200-an orang. 

Tak lama setelah peristiwa, pemerintah Israel mengatakan bahwa serangan tersebut merupakan yang terburuk terhadap kaum Yahudi sejak usai Perang Dunia II. Merenggut paling banyak nyawa orang Yahudi setelah tragedi Holocaust. 

“Jadi, Israel menyebut itu sebagai serangan terhadap Yahudi. Padahal, Hamas kemudian memberikan penjelasan tentang alasan mereka melakukan serangan itu. Dan saya harus katakan, alasan itu masuk. Ini bukan berarti saya bermaksud membenarkan tindakan Hamas membunuhi warga sipil. Sama sekali tidak,” kata Gabor Mate.

“Disebutkan, alasan mereka bukanlah untuk membunuh orang Yahudi. Tujuan Hamas adalah mencari sandera (Israel) untuk ditukar dengan tahanan mereka, walaupun saya tidak mengatakan bahwa Hamas berhak menciduk warga sipil. Alasan kedua, untuk menyerang tentara Israel yang mereka lakukan secara terang-terangan, serta untuk menyadarkan dunia yang telah mengabaikan penderitaan Palestina selama beberapa dekade ini,” ungkap Gabor Mate seperti dikutip dari wawancara The Impact of Trauma in the Gaza by Gabor Mate pada 16 Februari 2024. (baca:  https://escribana.org/about-trauma-in-the-gaza-by-gabor-mate/?utm_source

Diberitakan, sekitar sepertiga korban tewas dalam serangan Hamas tersebut adalah aparat keamanan, termasuk tentara Israel (IDF) –yang selama ini menjadi eksekutor garis depan kebijakan Israel di wilayah pendudukan  Palestina.
Jadi, para pemuda Hamas yang menerobos ke Israel dan melakukan serangan pada 7 Oktober itu, siapa mereka? 

“Mereka adalah anak-anak Palestina yang tumbuh dewasa dengan  trauma berat. Apakah kita terkejut bahwa beberapa dari mereka melakukan serangan (7 Oktober) itu? Saya bukan bermaksud untuk membenarkan, tetapi untuk memahami. Jadi, apa yang bakal terjadi kelak pada generasi anak-anak Gaza saat ini, yang mana lebih dari 20.000 anak kini jadi yatim atau yatim piatu akibat serangan balasan Israel terhadap Hamas?” ujar Gabor Mate.

Gabor Mate teringat dengan ucapan salah-satu pendiri Hamas (Abdel Aziz al-Rantisi), seorang dokter spesialis anak yang akhirnya tewas dibunuh tentara Israel. Ucapannya menyiratkan betapa trauma telah melahirkan kebencian mendalam.

“Suatu kali dia pernah mengatakan ‘mereka (Israel) telah menanamkan kebencian ke hati kami’. Kebencian itu tertanam, karena saat usianya 8 tahun, ia menyaksikan bagaimana pamannya dibunuh di depan matanya oleh pasukan Israel ketika dilakukan razia warga sipil,” tutur Gabor Mate.

Gabor Mate kembali mengingatkan, betapa mengerikan dampak dari trauma yang tidak dibereskan. 
Awalnya adalah bangsa Yahudi yang traumatik akibat Holocaust. Trauma itu mendorong mereka memaksakan negara tersendiri untuk bangsa Yahudi. Dengan dukungan negara-negara besar pemenang Perang Dunia II, kemudian berdirilah negara Israel pada 1948 di wilayah Palestina --yang disebut Israel sebagai tanah leluhur yang “telah dijanjikan Tuhan” sesuai klaim kitab suci Yahudi (biblical claim). 

Berdirinya negara Israel berdampak terusirnya secara masif warga Palestina dari wilayahnya, yang membuat mereka menggendong trauma berat.  Karena terus berlarut-larut, menurut Gabor Mate, konflik Israel-Palestina tidak bisa diselesaikan oleh hanya melibatkan kedua belah pihak.

Mengutip ucapan dari Eckhart Tolle, seorang spiritualis kelahiran Jerman, Gabor Mate menyebut Israel dan Palestina sama-sama dalam kondisi “emotionally charged” (sarat dengan beban emosional), sehingga sulit diharapkan muncul inisiatif perdamaian secara sukarela dari mereka sendiri.

Harus ada pihak ketiga yang menengahi, dan tidak partisan. Harapan itu ditumpukan pada negara-negara besar seperti Inggris dan Amerika Serikat (AS) dengan menyertakan PBB.
AS dan Inggris nyatanya memang telah berusaha menjadi broker perdamaian, termasuk juga Rusia dan Uni Eropa. Namun, mereka menemui kegagalan, karena posisinya dituding berpihak ke Israel.

“Sebetulnya jika ada kesungguhan untuk tidak berpihak dari Israel’s Big Brothers, yakni AS dan Inggris, perdamaian bisa terwujud,” kata Gabor Mate, yang menyebut AS dan Inggris sebagai saudara-saudara tua Israel.

Kepada jurnalis Inggris, Piers Morgan, dalam acara Piers Morgan Uncensored pada 23 November 2023, Gabor Mate mengungkapkan bahwa dirinya menangis setiap hari selama dua minggu setelah berkunjung ke Gaza dan melihat keadaan masyarakat di sana. Sepertinya, Gabor Mate seakan ditarik ke masa lalu, membayangkan keadaan yang sama yang dialami warga Yahudi ketika di bawah penindasan Nazi-Hitler.

"Piers, Anda harus pergi ke Gaza dan melihat keadaannya langsung sebagaimana saya. Anda bakal menangis setiap hari selama dua minggu seperti saya,” kata Gabor Mate ke Piers Morgan. Lihat wawancara penuhnya di sini:  https://www.youtube.com/watch?v=ph9XF39yjgU.(bersambung)

Referensi:
•    https://www.psychologytoday.com/intl/blog/modern-day-slavery/202101/not-all-trauma-is-the-same
•    https://www.psychologytoday.com/intl/blog/the-mindful-self-express/202106/understanding-the-trauma-brain
•    https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC5353053/
•    www.drgabormate.com

 

*) oleh: Sunarko, Freelance Writer.

 

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES