Kopi TIMES

Yahudi Harus Jujur Melihat Sejarah: Ahli Jiwa Gabor Mate tentang Konflk Israel-Palestina (3)

Rabu, 05 Maret 2025 - 11:44 | 42.04k
Sunarko, Freelance Writer
Sunarko, Freelance Writer
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Dilahirkan di Budapest (ibukota Hungaria, Eropa Timur) dari ibu dan bapak Yahudi pada 6 Januari 1944, Gabor Mate beserta keluarga besarnya merupakan korban Holocaust. 

Kakek dan nenek Gabor Mate dari pihak ibunya meninggal di kamp konsentrasi Nazi-Hitler di Auschwitz; bibinya juga diambil pasukan Hitler dan tidak diketahui nasibnya hingga kini. 

Advertisement

Ayah Gabor pun dibawa Nazi menjalani kerja paksa selama 14 bulan, yang sempat membuat ibunda Gabor Mate putus asa dan hendak bunuh diri, karena nyaris kehilangan seluruh keluarga. Namun, demi mempertimbangkan nasib Gabor Mate bayi, sang ibu akhirnya pilih bertahan. 

Meskipun Gabor Mate dan ibunya akhirnya survive dari kekejaman Nazi, saat usianya baru sekitar 1 tahun, Gabor Mate sempat dititipkan oleh ibunya ke seorang perempuan tak dikenal guna menyelamatkan nyawanya dari perburuan oleh pasukan Nazi. 

Perpisahan terpaksa dari ibunya dan tragedi Holocaust telah menggoreskan trauma pada diri Gabor Mate. Demikian dalam dampak trauma itu sehingga membentuk sikap dan perilaku Gabor dewasa, sampai suatu kali dia menyadari dan berhasil mengatasi luka batinnya yang mengerikan itu.

Yang mengesankan, meskipun menjadi korban Holocaust, Gabor Mate dan keluarganya pada akhirnya menentang Zionisme. 

“Saat itu, saya anggap gerakan Zionisme adalah jawaban sempurna atas sejarah mengerikan yang dialami warga Yahudi di Eropa Timur. Gerakan Zionisme ini jadi semacam penebusan untuk meraih kembali martabat dan kekuasaan Yahudi sekaligus penegasan identitas dan kebanggaan Yahudi,” demikian ungkap Gabor Mate dalam wawancara dengan Al Jazeera English (lihat:  https://www.youtube.com/watch?v=aakyE1Ulci8) 

Bagaimana Gabor Mate berproses dari semula sempat jadi aktivis gerakan Zionisme hingga akhirnya menentang Zionisme, pada dasarnya adalah kisah perjalanan dirinya sendiri dalam menyembuhkan luka traumatiknya.

Dalam konteks perubahan dirinya sehingga jadi bangkit dari trauma, Gabor Mate mengawalinya dengan  mempertanyakan narasi-narasi arus utama (mainstream narratives) dalam sejarah Israel yang sebelumnya ia terima begitu saja tanpa mengkritisinya. Ia juga mulai menggugat klaim Zionisme tentang kaitannya dengan nilai-nilai ajaran Yahudi. 

Jujur Melihat Sejarah

Ia menekankan, dalam menyelesaikan trauma, penting sekali untuk melihat sejarah atau pengalaman masa lalu secara jujur. Salah-satunya dengan melihatnya secara utuh dari dua sisi. 

Dalam hal konflik Israel-Palestina, harus ada keberanian dari Israel untuk melihat versi dan pengalaman Palestina, dan bukan hanya membenarkan versi serta pengalaman historisnya sendiri.

Narasi-narasi tentang latar belakang berdirinya negara Israel dan gerakan Zionisme yang selama ini jadi pegangan resmi pemerintah Israel dan diserap dalam buku-buku pelajaran sejarah di sekolah-sekolah Israel, menurut Gabor Mate, justru melanggengkan trauma. Bukan menyelesaikannya.

“Mayoritas rakyat Israel tidak sadar sejarah, tidak tahu penderitaan rakyat Palestina. Mereka tidak tahu tentang apa yang sebenarnya terjadi dalam Perang 1948 (yang di Israel disebut sebagai Perang Kemerdekaan),” demikian kata Gabor Mate dalam wawancara dengan Piers Morgan, jurnalis Inggris, dalam Piers Morgan Uncensored.

“Saya pernah beberapa kali ke Israel, berbicara dengan orang-orang; mereka tidak tahu apa yang terjadi beberapa mil jauhnya dari tempat mereka sedang nongkrong di Tel Aviv (ibukota Israel) sambil minum kopi. Mereka tidak tahu bagaimana kehidupan orang-orang (Palestina) yang berada di bawah pendudukan.”

Gabor Mate terutama mulai tergerak belajar sejarah Yahudi dan hubungan Arab-Israel secara utuh tatkala meletus Perang Israel-Arab 1967. Saat itu bersamaan dengan ramainya demo-demo anti Perang Vietnam di AS dan negara-negara Barat.

Gabor Mate termasuk yang aktif berdemo menentang Perang Vietnam. Namun dia kemudian berpikir,  bagaimana bisa dia menentang motif ekspansionistik AS dalam Perang Vietnam; sedangkan watak ekspansionistik yang sama dari Israel dalam Perang Israel-Arab 1967, dia diamkan saja.     
Awalnya, ia berpandangan bahwa Zionisme identik dengan ke-Yahudi-an. Bahkan, ia sempat gabung dengan gerakan Zionisme di Kanada, yakni Habonim, dan menjadi pemimpin propaganda gerakan tersebut. Namun akhirnya, ia tiba pada kesimpulan bahwa Zionisme tidak bisa lagi didukungnya.

“Tidak pernah dibenarkan identifikasi Zionisme dengan ke-Yahudi-an. Zionisme telah merusak jiwa Yahudi. Di tanah yang direbut oleh Zionis itu ada orang-orang lain yang memiliki hubungan dengan tanah tersebut, namun mereka akhirnya justru mengungsi karena ditindas dan ditolak hak-haknya di sana oleh Zionis agar mencapai tujuannya,” tutur Gabor Mate. (baca: www.drgabormate.com)

Seperti diketahui, Zionisme adalah sebuah gerakan kontroversial yang mencita-citakan berdirinya negara Yahudi di “tanah yang dijanjikan Tuhan” berdasarkan klaim kitab suci mereka (biblical right).

Perubahan orientasi Gabor Mate ini sempat memunculkan perdebatan yang tegang dengan pihak keluarga, termasuk ayahnya yang seorang tokoh Zionis di Kanada. Ayah Gabor pernah dibawa ke kamp kerja paksa Nazi-Hitler selama 14 bulan. 

Namun, lambat laun Gabor Mate akhirnya bisa meyakinkan mereka bahwa Zionisme adalah pandangan yang keliru, dan mereka pun mengikuti jejak Gabor.

Gabor Mate banyak melahap karya-karya ilmiah dari para ahli sejarah terkemuka tentang konflik Israel-Palestina. Salah-satunya, karya-karya dari kelompok intelektual “orang dalam” Yahudi sendiri yang disebut sebagai “New Historians” (Sejarawan Baru). Kelompok “New Historians” ini mulai muncul di tahun 80-an, dan langsung membuat guncang dunia historiografi tentang Israel. 

Karya-karya “New Historians” ini diperhitungkan di dunia akademik Barat, karena mereka adalah para profesor sejarah dan sosiologi sejarah lulusan universitas top dunia. Antara lain Universitas Harvard, Universitas Oxford, dan Universitas Cambridge. Bahkan dari salah-satu universitas top di Israel sendiri, yakni Hebrew University di Yerusalem, yang didirikan oleh Albert Einstein.

Di antara anggota “New Historians” juga ada yang pernah bertugas di Pasukan Pertahanan Israel (Israel Defence Forces/IDF), sehingga mereka bisa melihat langsung bagaimana dampak kebijakan Israel di lapangan. Sayang, di Israel sendiri pandangan “New Historians” ini tak bergema dan terpinggirkan.

Tebang Pilih

Kelompok “New Historians” sama sekali tidak menyangkal adanya tragedi Holocaust. Namun, mereka mengritik keras bagaimana sejarah Holocaust digunakan secara tebang pilih dalam politik Israel untuk membenarkan pendudukan dan tindakan keras militer Israel terhadap Palestina. 

Para sejarawan revisionis ini dengan tegas menyatakan, konflik Israel-Palestina berawal dari ambisi para Zionis. Bibitnya terlihat dari munculnya Deklarasi Balfour pada 1917, yang berisi komitmen Inggris (sebagai superpower dunia kala itu) kepada para tokoh gerakan Zionisme internasional untuk menjanjikan tanah Palestina sebagai bakal wilayah negara Yahudi masa depan. Tidak ada lagi negara Palestina.  

“The New Historians” juga membantah bahwa tragedi al-Nakba adalah cerita yang dibuat-buat. Al-Nakba adalah pengusiran ratusan ribu warga Palestina dari tanah mereka saat negara Israel dideklarasikan pada 1948, karena wilayah mereka dicaplok sebagai wilayah negara yang baru lahir itu.
Sejarah resmi versi Israel selama ini menyatakan, tidak ada al-Nakba.

Menurut versi Israel, warga Palestina pergi meninggalkan wilayahnya atas kemauan sendiri untuk menghindari perang antara pasukan Israel melawan pasukan bangsa Arab yang bersimpati terhadap nasib Palestina.

Dengan mengungkapkan data-data baru, termasuk dari dokumen-dokumen pemerintah Israel yang sebelumnya dirahasiakan (declassified documents), para sejarawan revisionis itu menyodorkan argumentasi akademik bahwa al-Nakba adalah bagian yang tak bisa dipisahkan dari munculnya negara Israel.

“Bagaimana migrasi besar-besaran sampai ratusan ribu orang itu disebut sebagai sukarela atau atas kehendak sendiri. Mereka jelas diusir atau melarikan diri untuk menghindari ancaman,” kata Gabor Mate. 

Salah-satu karya “New Hostorians” yang dengan keras membongkar  manuver Gerakan Zionisme dalam mempersiapkan berdirinya negara Israel adalah buku The Ethnic Cleansing of Palestine, yang ditulis oleh Profesor Ilan Pappe. Akibat karya akademiknya itu, Pappe mengalami intimidasi, sehingga terpaksa meninggalkan Israel dan kini mengajar di Inggris.

Dalam bukunya, Ilan Pappe menyebutkan, antara tahun 1947 dan 1949, sebanyak lebih dari 400 desa Palestina dihancurkan secara sengaja oleh orang-orang Yahudi/Israel. Banyak warga sipil dibantai, dan sekitar satu juta, pria, wanita serta anak-anak diusir dari rumah-rumah mereka di bawah todongan senjata. 

Sejumlah Resolusi PBB tentang “Right of Return”, yakni hak orang Palestina untuk kembali ke wilayahnya, menguatkan argumentasi para “New Historians” bahwa pengusiran tersebut memang nyata, sekaligus menganulir sejarah resmi Israel bahwa al-Nakba tidak pernah ada.

Selama ini, dengan dukungan kuat terutama dari superpower AS, Israel tidak pernah melaksanakan sejumlah Resolusi PBB tentang hak-hak Palestina itu.

Persoalan sejarah tentang bagaimana melihat Perang 1948 memang menjadi titik sentral dalam isu Israel-Palestina. Israel selama ini menyebut Perang 1948 sebagai perang kemerdekaan yang penuh heroisme, sehingga hari kemenangannya dalam perang itu dijadikan sebagai hari kemerdekaan Israel.

Sedangkan Palestina menyebut Perang 1948 sebagai awal dari al-Nakba atau malapetaka –semacam Holocaust versi Palestina. 

Perang 1948 menghadapkan pasukan Israel dengan milisi Palestina dan pasukan dari negara-negara Arab tetangga Israel yang bersimpati terhadap nasib orang Palestina.
Versi standar sejarah Israel menyebutkan, pasukan pihak Arab lah yang memulai Perang 1948. Namun, berdasarkan penelitian “New Historians” terungkap bahwa permulaan perang itu kompleks, didahului oleh konflik-konflik tingkat komunal. Terutama setelah makin jelas bahwa gerakan Zionisme internasional betul-betul ingin mewujudkan negara Israel di wilayah Palestina sejak Deklarasi Balfour 1917.

Menurut “New Historians”, pihak Israel yang justru melakukan manuver preemtif (preemptive actions), maksudnya justru Israel yang mendahului memicu perang supaya tidak didahului oleh negara-negara Arab (yang saat itu sebetulnya juga masih baru merdeka) yang pro-Palestina. Atau setidaknya, disebutkan bahwa Israel melakukan provokasi lebih dulu.

Disebutkan, langkah preemtif dilakukan Israel karena dia memiliki kecurigaan yang melampaui batas terhadap bangsa Arab tetangganya. Kecurigaan berlebihan Isrel itu kian menegaskan bahwa trauma Holocaust sangat berpengaruh dalam mendefinisikan dan membentuk pandangan hidup serta tindakan Israel. 

Sebetulnya, tujuan para sejarawan “New Historians” ini ingin menyodorkan perspektif yang berimbang dan utuh tentang konflik Israel-Palestina, sehingga diharapkan kedua pihak (Israel dan Palestina) terdorong menuju perdamaian.

Namun betapa traumatiknya Israel, sehingga kritik-kritik yang obyektif dari para intelektual dan akademisi Yahudi sendiri dinilainya sebagai sentimen Antisemitisme, yang itu bisa berkonsekuensi dihukum.
Antisemitisme adalah prasangka buruk, kebencian, atau diskriminasi terhadap orang Yahudi sebagai kelompok etnis, agama, atau ras. (bersambung)

*) oleh: Sunarko, Freelance Writer.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES