Kopi TIMES

Sebuah Negara Yang Absurd, Ahli Jiwa Gabor Mate Melihat Isu Israel-Palestina (4-habis)

Kamis, 06 Maret 2025 - 17:00 | 45.97k
Sunarko, Freelance Writer
Sunarko, Freelance Writer
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, SURABAYAGabor Mate juga mengingatkan tentang absurditas eksistensi negara Israel, yang banyak bergantung dari dukungan serta proteksi negara superpower, khususnya Amerika Serikat (AS).  

Berdiri di geografi Timur Tengah, secara umum Israel disebut tidak mempercayai negara-negara tetangga Arabnya. Meskipun, Israel telah menjalin hubungan diplomatik dengan Yordania, Mesir dan belakangan (sejak tahun 2020) dengan Uni Emirat Arab. 

Advertisement

Belakangan, Arab Saudi juga diberitakan sedang menjajaki hubungan diplomatik dengan Israel untuk kepentingan “yang sama-sama menguntungkan” bagi kedua pihak. 

Secara umum, semua negara tetangganya dipandang Israel dengan kecurigaan tinggi, sebagai dampak dari apa yang disebut Profesor Avi Shlaim siege mentality (mentalitas pengepungan) yang dibawa trauma masa lalunya. Profesor Avi Shlaim adalah salah-satu anggota dari kelompok “New Historians”, yakni sekumpulan sejarawan Yahudi yang menggugat versi resmi sejarah Israel. 

Secara vulgar, dalam pandangan kelompok sayap kanan Israel (yang kini berkuasa), para tetangga Arabnya digambarkan kurang lebih seperti kelanjutan dari watak Nazi-Hitler.

Gabor mengatakan, dukungan AS tidak mungkin gratis. Dukungan itu untuk mengamankan kepentingan nasional AS sendiri daripada semata-mata mendukung keberadaan negara Israel.

Ia menyitir pernyataan yang pernah disampaikan oleh mantan Menteri Luar Negeri AS, Alexander Haig, yakni bahwa ”Israel merupakan kapal induk terbesar AS di Timur Tengah”.

Gabor mengingatkan sejarah selalu berulang. Negara superpower timbul dan tenggelam. Karena itu, menggantungkan eksistensi negara pada kekuatan superpower, apalagi yang jaraknya jauh (sebagaimana Israel menggantungkan diri pada AS yang geografisnya berjauhan) justru sangat rawan. Semestinya Israel berbaikan dengan para tetangganya. 

Sesuai naik-turunnya irama dalam hukum alam “Law of Rhythm” (Hukum Ritme), superpower pun silih berganti, dan keadaan bisa berbalik. Yang dulu di atas bisa kemudian berada di bawah. Dengan kata lain, jika kelak superpower pendukungnya berada di bawah, Israel bisa ikut tenggelam bersamanya. Sejarah sudah membuktikannya. 

Di masa lampau pernah ada superpower seperti Kerajaan Mesir, Kekasairan Romawi, Kerajaan Persia, India, Kerajaan Portugis, Spanyol, Kekaisaran Mongolia, Kesultanan Usmaniyah (Ottoman Empire), Inggris, dan Jepang (yang sempat menguasai Asia Raya), yang kini mereka semua sudah tidak lagi memegang kendali sebagai superpower. Saat ini Amerika Serikat adalah superpower.

“Perubahan bisa terjadi seratus tahun, dua ratus tahun lagi atau kapan, kita tidak tahu. Tetapi, yang pasti selalu superpower itu datang dan pergi. Dengan menggantungkan eksistensi suatu negara pada dukungan superpower, maka Israel akan ikut lenyap jika kekuatan superpower yang melindunginya merosot,” demikian kira-kira pandangan Gabor Mate. 

Peristiwa bagaimana Presiden Donald Trump membuat AS kini justru berbalik arah dalam kebijakannya mengenai Perang Rusia-Ukraina, itu bisa jadi contoh kecil.

Di presiden sebelumnya (Joe Biden) yang baru lengser pada November 2024, AS menjadi pembela kuat Ukraina dalam perangnya melawan Rusia. AS mengirim bantuan persenjataan dan keuangan ke Ukraina hingga senilai miliaran dolar.

Hanya karena pergantian presiden saja, kebijakan AS kini sudah berubah 180 derajat, condong “memberi angin” ke Rusia daripada Ukraina. Bahkan, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky sebagai “beracun” dan bodoh bagi rakyat Ukraina oleh Donald Trump saat keduanya bertemu di Gedung Putih, 28 Februari 2025 lalu.(baca:  https://www.bbc.com/news/articles/c2erwgwy8vgo)

Pola yang sama bisa terjadi pada Israel. Jika kelak AS sudah merasa tidak memiliki kepentingan nasional yang strategis di Timur Tengah, maka Israel bisa ditinggalkan sendirian.

Bukan Peristiwanya, Tapi Luka Batinnya 
Menurut Gabor Mate, trauma bukanlah tentang peristiwa/kejadian yang menimpa. Trauma itu tentang apa yang terjadi dalam batin atau perasaan akibat dari kejadian yang menimpa itu. Dengan kata lain, trauma adalah persepsi atau apa yang dirasakan batin akibat suatu peristiwa/kejadian yang menimpanya. Jadi, trauma bukanlah sekadar kejadian/peristiwa yang menimpa.

Dalam kasus dirinya dititipkan oleh ibunya ke seorang wanita tak dikenal saat terjadi razia oleh Nazi-Hitler, Gabor Mate bilang bahwa jika traumanya adalah tentang peristiwanya, maka peristiwa itu telah terjadi, dan tak bisa diubah lagi. Lukanya sudah berlalu. 
Tapi, karena traumanya adalah bukan tentang peristiwanya, tetapi tentang batin-nya yang terluka akibat peristiwa dia dititipkan ke perempuan asing yang kala itu dirasakannya sebagai “dirinya tidak dicintai dan dibuang” oleh ibunya, maka luka itu masih ada meskipun peristiwanya sudah lewat puluhan tahun.

Dan karena lukanya masih ada, kata Gabor Mate, maka luka atau trauma itu masih bisa disembuhkan. 

Dalam kasus Holocaust yang menimpa kaum Yahudi, peristiwanya sendiri sudah lewat sekitar 80 tahun, sehingga tidak mungkin diutak-atik lagi. Lukanya telah dilalui seturut berlalunya waktu kejadian.

Tapi karena Holocaust itu tentang terlukanya batin atau tentang trauma, maka perasaan terluka itu terus hadir (bahkan sampai nanti) jika luka batin itu belum dibereskan atau disembuhkan. Untuk menyembuhkan luka batin, maka pemaknaan atau interpretasi ulang  atas tragedi itu penting untuk dilakukan, tapi secara utuh dan komprehensif.

Menurut Gabor Mate, langkah awalnya adalah menyadari keberadaan trauma  di ruang batin kita. Kemudian memprosesnya, dengan cara melihat secara utuh, komprehensif dan jernih. Menjadikan luka batin sebagai “bahan bakar” untuk melampiaskan rasa sakit yang pernah diderita, justru sama-sekali tidak menyembuhkan. Itu bahkan menciptakan trauma baru bagi pihak lain.

“Zionisme adalah dendam. Dendam yang dilampiaskan dengan cara yang salah dan terhadap pihak yang salah,” kata Gabor Mate.
Oleh karena itu, menurut Gabor Mate, tahap awal dalam langkah-langkah menyelesaikan trauma setelah menyadarinya, ialah mulai meninjau kembali bahkan mengkritisi narasi-narasi besar yang memenuhi pikiran kita, yang selama ini menjadi pegangan dalam memandang dunia dan kehidupan.

Artinya, untuk menyembuhkan trauma, harus diawali dengan tekad untuk melihat sejarah diri (atau bangsa) secara jujur, utuh dan menyeluruh. Dan kemudian ada keberanian untuk introspeksi, mengambil pelajaran atau hikmah.   Dari situ, pintu menuju kesembuhan trauma menjadi terbuka. 

Menyembuhkan trauma bukan berarti melupakan peristiwanya. Tapi, jika tragedi itu diingat kembali, ia sudah tidak berdampak, tidak lagi terasa menyakitkan di batin. Sebab, si korban trauma sudah memahami secara utuh peristiwa itu, serta mengambil pelajaran dan makna darinya, sehingga bisa menerima tanpa ada lagi gejolak rasa sakit. Tentu saja prosesnya tidak cepat.

Hasil dari perjalanan penyembuhan trauma Holocaust yang dialami Gabor Mate diramu bersama proses intelektualnya. Dia kemudian bagikan dan tularkan, termasuk dalam bentuk buku-buku, yang diantaranya jadi best seller dan terjual jutaan kopi di seluruh dunia. Salah-satunya, buku The Myth of Normal: Trauma, Illness and Healing in a Toxic Culture yang diluncurkan pada 2022. (selesai

*) oleh: Sunarko, Freelance Writer

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES