Koperasi Desa Merah Putih, Potensi Disharmonisasi Anggaran

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Baru-baru ini, muncul wacana pembentukan Koperasi Desa Merah Putih oleh Presiden Prabowo Subianto bersama Menko Bidang Pangan Zulkifli Hasan, Menteri Koperasi Budie Ari Setiadi dan Menteri Desa PDT Yandri Susanto. Inisiatif ini diklaim bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan desa dengan menjadikan koperasi sebagai motor penggerak ekonomi desa.
Namun, kebijakan ini berpotensi menimbulkan polemik, terutama terkait dengan alokasi dana desa yang notabene merupakan ranah kewenangan Kemendes PDT, yang tentunya sangat berisiko menimbulkan disharmonisasi dalam tata kelola keuangan desa.
Advertisement
Koperasi dan Upaya Sentralisasi Kebijakan Ekonomi Desa
Koperasi Desa sejatinya memiliki peran penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama dalam mengelola sumber daya lokal secara kolektif. Namun, muncul pertanyaan mendasar: mengapa Kemendes PDT ingin membentuk koperasi secara terpusat?
Padahal, Desa-desa sudah memiliki Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang bertugas mengelola usaha desa. Jika Koperasi Merah Putih diwajibkan di setiap Desa, bukankah itu justru memperumit struktur ekonomi lokal?
Lebih lanjut, ada potensi bahwa koperasi ini bisa menjadi alat baru bagi pemerintah untuk mengontrol ekonomi Desa secara lebih terpusat. Padahal, semangat dana desa sejak awal adalah desentralisasi, memberikan keleluasaan bagi Desa untuk mengatur pembangunan dan ekonomi mereka sendiri.
Dengan adanya koperasi bentukan pemerintah, desa bisa kehilangan otonomi dalam mengelola anggaran dan pengembangan usaha lokal.
Potensi Konflik dan Kriminalisasi dengan Dana Desa
Dana desa yang dialokasikan dari APBN sejatinya ditujukan untuk pembangunan infrastruktur, pemberdayaan masyarakat, dan pengembangan ekonomi lokal melalui BUMDes. Namun, jika ada kebijakan yang mengarahkan dana desa ke Koperasi Merah Putih, maka ada risiko tumpang tindih kebijakan.
Pertama, bisa terjadi pengalihan anggaran secara terselubung. Apakah nantinya dana desa akan diwajibkan untuk masuk ke koperasi ini? Jika ya, maka ada potensi konflik kepentingan, terutama jika koperasi ini justru dikendalikan oleh pihak-pihak tertentu, bukan oleh masyarakat desa secara mandiri.
Kedua, bisa timbul persaingan tidak sehat antara Koperasi Merah Putih dengan BUMDes. Seharusnya, dana desa digunakan untuk memperkuat ekonomi desa yang sudah ada, bukan malah menciptakan entitas baru yang berisiko memunculkan segregasi menggeser keberadaan usaha desa yang sudah berjalan.
Jika pemerintah tetap ingin ngotot menjalankan program ini, maka harus ada jaminan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaannya. Salah satu masalah terbesar dalam kebijakan dana desa selama ini adalah potensi penyalahgunaan anggaran, baik dalam bentuk korupsi maupun ketidakefektifan penggunaan dana.
Jika Koperasi Merah Putih menjadi entitas baru yang mendapatkan aliran dana desa, bagaimana mekanisme pengawasannya? Siapa yang bertanggung jawab atas pengelolaan dan distribusi keuntungan koperasi ini?
Lebih jauh lagi, desa-desa harus tetap diberikan keleluasaan dalam menentukan apakah mereka ingin bergabung dengan koperasi tersebut atau tidak. Pemaksaan kebijakan top-down justru bertentangan dengan semangat Undang-Undang Desa yang menempatkan desa sebagai subjek pembangunan.
Kegagapan Membaca Realitas Ekonomi Pedesaan
Gagasan membangun koperasi sebagai motor penggerak ekonomi desa bukanlah hal yang buruk, tetapi harus dilakukan dengan pendekatan yang lebih demokratis dan berbasis kebutuhan desa. Jangan sampai, Koperasi Desa Merah Putih justru seakan menunjukan gagapnya Kementerian Desa PDT.
Lebih celakanya lagi kalau sampai menjadi beban baru bagi desa dan mengacaukan tata kelola dana desa yang sudah ada. Sebelum kebijakan ini diterapkan, pemerintah harus memastikan bahwa skema ini benar-benar membawa manfaat bagi desa, bukan sekadar proyek politik atau ekonomi semata.
***
*) Oleh : Mohammad Iqbal Rizal Nadif, Magister Ilmu Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada dan Pengurus Bidang Kaderisasi Nasional PB PMII.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |