Dari Ormas ke Oligarki Preman: Jangan Hanya Mengeluh, Bertindaklah!

TIMESINDONESIA, PACITAN – Membaca tulisan M. Ramli berjudul "Ketika Negara Kalah dengan Ormas", ada rasa geram, ada pula rasa getir yang menyeruak. Geram, karena fenomena premanisme berkedok ormas bukan lagi sekadar isu pinggiran, tetapi sudah menjadi momok di negeri ini.
Getir memang, karena kenyataan yang dihadirkan dalam tulisan tersebut bukan sekadar fiksi, melainkan refleksi pahit dari realitas yang harus kita telan sehari-hari.
Advertisement
Dari preman pasar hingga preman berbaju organisasi, dari pungli parkir liar hingga iuran ‘keamanan’, semuanya hadir dalam skema yang sistematis, nyaris tak tersentuh hukum.
M. Ramli yang juga berasal dari pulau garam itu menyoroti bagaimana ormas-ormas ini memalak pelaku usaha, memaksa pedagang kecil menyisihkan penghasilannya demi ‘ketenangan’ yang absurd. Mirisnya, negara yang seharusnya hadir sebagai pelindung justru tampak gagap, kalau bukan malah berkompromi.
Sudah bukan rahasia bahwa premanisme dan pungli terjadi di berbagai sektor. Para pedagang kaki lima di ibu kota, tukang bakso keliling, hingga pemilik toko mebel besar-semuanya menjadi korban. Ada ‘jatah preman’ yang harus dibayar, ada ‘uang keamanan’ yang wajib disetor. Celakanya, jika mereka melawan, teror menanti di depan pintu.
Namun, yang lebih ironis dari semua itu bukanlah aksi ormas preman, melainkan respons negara yang lemah. Di atas kertas, kita memiliki perangkat hukum yang jelas. Undang-Undang Dasar 1945, seperti yang dikutip M. Ramli, mengatur hak rakyat atas keamanan.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga sudah menegaskan bahwa pemerasan dan pengancaman adalah tindak pidana. Lantas, kenapa praktik ini terus berlanjut?
Jawabannya sederhana: karena ada pembiaran. Negara seolah hanya tegas kepada kelompok tertentu, tetapi lunak kepada kelompok lain. FPI dan HTI bisa dibubarkan dalam hitungan hari, tetapi ormas-ormas ‘busung lapar’ yang nyata-nyata meresahkan justru dibiarkan.
Fenomena ini mengingatkan kita pada pepatah lama: Siapa yang berani melawan, dihancurkan. Siapa yang bisa diajak kompromi, dipelihara. Apakah ini yang sedang terjadi?
Jika ditelusuri lebih dalam, aksi-aksi premanisme ini bukan sekadar inisiatif individu. Ia adalah bagian dari sistem yang lebih besar, yang mengakar dan berjejaring dengan kepentingan-kepentingan politik.
Di banyak daerah, ormas menjadi ‘alat’ untuk mengamankan kepentingan tertentu, entah itu proyek pemerintah, pemilihan kepala daerah, atau sekadar menjaga eksistensi elite lokal.
Bagaimana ormas bisa tumbuh subur hingga sulit disentuh hukum? Salah satu jawabannya ada pada relasi mereka dengan penguasa. Ada simbiosis mutualisme yang terbentuk: ormas menyediakan ‘massa’ dan pengaruh, sementara negara menutup mata terhadap sepak terjang mereka.
Pada titik ini, kita tidak lagi berbicara tentang premanisme biasa, tetapi oligarki preman. Mereka bukan sekadar pemalak jalanan, melainkan kelompok yang memiliki kuasa untuk menekan, menakut-nakuti, bahkan mengatur kebijakan.
Solusi: Negara Harus Tegas, Rakyat Harus Berani
Lalu, apa yang bisa dilakukan? Apakah kita hanya bisa mengeluh?
Tentu tidak. Negara harus kembali kepada fungsinya: sebagai pelindung rakyat, bukan pelindung preman.
Pertama, pemerintah harus segera menertibkan ormas yang menyimpang dari fungsi sosialnya. Jika ada organisasi yang kerjaannya hanya memalak, mengintimidasi, dan membuat rakyat takut, bubarkan saja! Kita tidak butuh organisasi semacam itu dalam masyarakat yang beradab.
Kedua, aparat penegak hukum harus berdiri tegak. Jangan biarkan polisi hanya menjadi penonton. Jangan sampai ada kasus laporan pungli yang berakhir dengan intimidasi balik kepada pelapor. Jika aparat tidak bisa dipercaya, lalu kepada siapa lagi rakyat mengadu?
Ketiga, rakyat harus berani melawan. Jangan takut untuk bersuara. Jika semua pedagang, buruh, dan pelaku usaha bersatu, para preman ini tidak akan punya tempat. Mereka hanya bisa beroperasi jika kita diam dan tunduk.
M. Ramli benar ketika mengatakan bahwa kita butuh tindakan konkret. Tapi lebih dari itu, kita butuh keberanian, baik dari negara maupun rakyatnya. Jika kita terus menerus diam, maka ‘negara kalah dengan ormas’ bukan lagi sekadar opini, melainkan kenyataan pahit yang harus kita terima seumur hidup.
Apakah kita mau membiarkan itu terjadi? (*)
***
*) Oleh : Yusuf Arifai, Dosen Ma'had Aly Al-Tarmasi Pacitan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |