Kopi TIMES

9 Ramadan yang Berkah dalam Bingkai NKRI

Minggu, 09 Maret 2025 - 15:15 | 42.44k
Mohamad Sinal.
Mohamad Sinal.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – Sejarah telah mencatat, di tengah pekatnya penjajahan dan derasnya arus penderitaan, bangsa ini menemukan secercah cahaya di bulan suci. Hari itu, 17 Agustus 1945, bertepatan dengan 9 Ramadan 1364 H, menjadi titik balik bagi bangsa Indonesia. Saksi, bagaimana Ramadan turut mewarnai detik-detik kelahiran sebuah negeri merdeka.

Kala itu, pagi yang khidmat diselimuti embusan angin yang membawa harapan. Dalam suasana yang masih beraroma perjuangan, para pendiri bangsa berkumpul dengan hati yang mantap. Menahan dahaga dan lapar, namun tetap teguh dalam tekad: “Merdeka!”.

Advertisement

Dalam pandangan D. Zawawi Imron, mereka sedang berpuasa berlatih kepada Allah. Dalam. bentuk latihan spiritual dan penguatan hubungan dengan Sang Pencipta.  Demi nusa dan bangsa yang dicintainya.

Oleh sebab itu, kita kenang mereka. Kita doakan mereka, karena kita berhutang kepada mereka. Sebagai bentuk penghormatan atas segala pengorbanannya. Sebagai bentuk penghargaan atas semua jasa-jasanya. Bung Karno berseru, "JAS MERAH"(Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah).

9 Ramadan: Sang Saka Merah Putih Perlahan Dinaikkan

Adzan Subuh telah berlalu, mentari perlahan merangkak naik. Di sebuah rumah di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Soekarno dan Hatta tengah bersiap. Wajah mereka memancarkan kelelahan, bukan sekadar kurang tidur, tetapi karena beban sejarah yang mereka pikul.

Sehari sebelumnya, mereka telah melewati berbagai perdebatan dan tekanan. Baik dari kalangan pemuda yang mendesak segera diproklamasikan kemerdekaan, maupun dari pihak-pihak yang masih ragu terhadap langkah besar ini. Namun, pada pagi 9 Ramadhan yang berkah, segala kebimbangan sirna.

Mereka telah mantap melangkah. Di halaman rumah yang sederhana, para tokoh bangsa berdiri berjejer. Sebagian dengan wajah yang kaku menahan letih, sebagian tampak haru dan tak sabar menantikan detik-detik bersejarah.

Mereka yang hadir kala itu bukan sekadar menyaksikan lahirnya sebuah negara. Namun, mereka juga merasakan bagaimana ujian fisik dan spiritual berpadu dalam satu nafas perjuangan. Dalam kondisi berpuasa, tubuh mereka mungkin terasa lemah, tetapi semangat yang membara menyalakan api keberanian.

Puasa yang mereka jalani bukan sekadar menahan diri dari makan dan minum. Puasa tersebut, menjadi latihan kesabaran, ketahanan, dan ketulusan dalam berjuang. Demi bangsa dan anak cucu pada masa mendatang.

Ketika Soekarno, dengan suara beratnya yang khas, mengucapkan kata-kata proklamasi, udara pagi terasa berhenti sejenak. Setiap kata yang terucap bukan hanya menandai kemerdekaan dari penjajahan fisik. Semua menjadi simbol kemenangan atas perjuangan batin yang panjang.

Kata-kata itu mengalir, menggetarkan hati setiap jiwa yang hadir. Lalu, di tengah terik matahari yang mulai menyengat, Sang Saka Merah Putih perlahan dinaikkan. Berkibar dengan gagah di langit Jakarta.

Di bawahnya, para pejuang bangsa menengadahkan kepala, meresapi makna kebebasan yang kini telah nyata. Bagi mereka yang berada di luar lokasi proklamasi, kabar ini menyebar bagaikan angin yang membawa kesejukan. Di berbagai pelosok negeri, rakyat yang sedang menjalani ibadah puasa tersentak mendengar kabar gembira ini.

Ada yang sujud syukur, ada yang menitikkan air mata. Ada yang menatap ke langit, merasakan betapa panjangnya jalan yang telah ditempuh untuk mencapai hari ini. Mereka memahami bahwa kemerdekaan ini adalah buah dari darah, keringat, dan doa yang telah dipanjatkan selama bertahun-tahun.

9 Ramadan: Simbol Keheningan Jiwa yang Penuh Ketulusan.

Di bulan yang suci ini, seakan ada berkah tersendiri bagi negeri yang telah sekian lama lahir. Ramadan adalah bulan perjuangan, bukan sekadar menahan lapar dan dahaga. Bulan melawan hawa nafsu dan mengasah keteguhan hati.

Para pendiri bangsa telah menunjukkan bahwa perjuangan sejati bukan hanya dilakukan dengan senjata, tetapi juga dengan pengorbanan yang ikhlas. Mereka, dalam keadaan letih dan haus, tetap berjuang hingga titik akhir. Akhirnya, takdir memberikan kemenangan bagi bangsa ini.

Kini, setiap kali 17 Agustus kembali menjelang, kita mengenang hari bersejarah itu dengan penuh rasa syukur. Kita mengenang mereka yang telah mengorbankan segalanya agar generasi setelahnya dapat hidup dalam kebebasan.

Oleh sebab itu, kita berhutang budi pada mereka yang berpuasa dalam perjuangan. Yang menahan dahaga demi melihat Merah Putih berkibar. Sejarah mencatat, bahwa kemerdekaan ini tidak hanya diproklamirkan dalam kata-kata, tetapi dalam keheningan jiwa yang penuh ketulusan.

Hari ini,  kita sebagai bangsa telah menikmati kemerdekaan selama puluhan tahun. Namun, apakah kita telah menjaga amanah yang diwariskan oleh para pendahulu? Apakah telah mengisi kemerdekaan ini dengan kerja keras dan keikhlasan?

Kemerdekaan bukanlah hadiah yang bisa dinikmati tanpa usaha, tetapi sebuah tanggung jawab yang harus terus dijaga. Dengan semangat pantang menyerah sebagaimana mereka yang berjuang dalam keadaan berpuasa. Dengan penuh kesabaran sebagaimana mereka berjuang dalam keadaan haus dan lapar.

Kini, dahaga perjuangan pada 9 Ramadhan 1364 Hijriah itu telah menjadi sejarah. Namun, semangatnya tidak boleh padam. Seperti halnya mereka yang menahan lapar demi sebuah kemerdekaan. Kita pun harus berjuang demi masa depan.

Sebab, merdeka bukan hanya tentang bebas dari penjajahan, tetapi bagaimana kita terus berjuang menjadi bangsa yang bermartabat, mandiri, dan berdaulat. Sejarah telah mencatat, dan kitalah penjaga catatan itu. Semoga semangat 17 Agustus yang jatuh di bulan suci Ramadhan ini terus mengalir dalam darah kita. Membawa kita pada perjuangan yang lebih besar: membangun Indonesia yang lebih baik. Merdeka!

***

*) Oleh: Mohamad Sinal, Corporate Legal Consultant, ahli bahasa hukum, founder Pena Hukum Nusantara (PHN), dan dosen Polinema.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES