Kopi TIMES

Revitalisasi LHKPN

Selasa, 11 Maret 2025 - 13:53 | 20.48k
Nicholas Martua Siagian, Direktur Eksekutif Asah Kebijakan Indonesia dan Penyuluh Anti korupsi Ahli Muda Tersertifikasi LSP KPK.
Nicholas Martua Siagian, Direktur Eksekutif Asah Kebijakan Indonesia dan Penyuluh Anti korupsi Ahli Muda Tersertifikasi LSP KPK.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Salah satu pilar utama dalam menciptakan pemerintahan yang baik, akuntabel, dan terpercaya adalah transparansi dalam penyelenggaraan negara. Transparansi membantu mengurangi Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

Jika proses pemerintahan dapat dilihat oleh publik, pejabat publik akan lebih berhati-hati dalam menjalankan tugasnya karena mereka tahu bahwa mereka diawasi, sehingga menghasilkan lingkungan di mana kepentingan umum adalah tujuan utama dari penyelenggaraan pemerintahan.

Advertisement

Salah satu undang-undang yang berperan penting yang lahir dari buah reformasi adalah UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN. UU tersebut mewajibkan setiap penyelenggara negara untuk bertindak jujur, transparan, dan tidak melakukan penyalahgunaan wewenang untuk keuntungan pribadi atau kelompok tertentu.

Bahkan buah reformasi yang saat ini masih terus dilaksanakan adalah adanya ketentuan mengenai kewajiban melaporkan harta kekayaan para penyelenggara negara, yang harus dilakukan secara berkala melalui Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa tidak ada aset yang diperoleh secara tidak sah selama masa jabatan atau penugasan.

Saat ini, KPK menjadi lembaga yang bertanggung jawab untuk mengelola LHKPN dan melakukan verifikasi atas laporan harta kekayaan pejabat negara. Dengan keberadaan independensi KPK, kewenangan dalam melakukan pelaporan dan pemeriksaan harta kekayaan penyelenggara negara harapannya dapat dilakukan lebih baik dari sebelumnya.

Meski demikian, pelaporan dan pemeriksaan harta kekayaan penyelenggara negara juga mengalami tantangan dalam pelaksanaan di lapangan.

Kenyataanya, angka kepatuhan tersebut tidak sejalan dengan indeks lainnya. Seharunys angka kepatuhan LHKPN akan sejalan hasilnya dengan indeks lainnya seperti, Indeks Persepsi Korupsi (IPK), jumlah Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh KPK, hasil Monitoring Centre For Prevention (MCP) daerah, atau hasil Survei Penilaian Integritas (SPI), maupun indeks lainnya yang menunjukkan reformasi birokrasi dan pencegahan korupsi.

Baru-baru ini, dirilis oleh Harian Kompas pada 6 Maret 2025, sebanyak 108.869 penyelenggara negara belum menyampaikan laporan harta kekayaan penyelenggara negara atau LHKPN untuk periode 2024.

Komitmen anti korupsi para penyelenggara negara di lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, hingga badan usaha milik negara dan daerah yang belum melaporkan harta kekayaannya itu pun dipertanyakan.

Deputi Pencegahan dan Monitoring Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pahala Nainggolan berdasarkan pemeriksaan dan penelitian terhadap LHKPN 1.665 penyelenggara negara pada tahun 2021 menyatakan bahwa sebanyak 95 persen data laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) yang diterima Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak akurat dengan kekayaan semestinya.

Penelitian tersebut juga diperkuat dengan kenyataan yang terjadi di tahun sebelumnya, dimana berawal dari klarifikasi Rafael Alun Trisambodo mengenai Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) miliknya, hingga tidak selaras dengan penghasilannya sebagai penyelenggara negara yang laporkan.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seharusnya tidak hanya melihat kepatuhan penyelenggara negara dalam melaporkan harta kekayaannya, namun perlu mengidentifikasi keakuratan data yang dilaporkan, apakah ada kemungkinan harta yang disembunyikan, dipindahtangankan, atau bahkan dimanipulasi demi mengelabui aparat dalam melakukan pemeriksaan.

Sebagai contoh, dari negara tetangga yang memiliki tingkat pemberantasan korupsi sangat baik, yaitu Singapura. Negara tersebut merupakan contoh sukses dalam memberantas korupsi melalui kombinasi transparansi dan penegakan hukum yang tegas. Laporan harta kekayaan di Singapura diawasi oleh Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB), lembaga anti-korupsi yang sangat dihormati.

Setiap pejabat publik wajib melaporkan kekayaan mereka, termasuk aset di luar negeri. CPIB memiliki kewenangan penuh untuk menyelidiki dan menindaklanjuti laporan yang mencurigakan. Sanksi yang berat, seperti denda besar dan hukuman penjara, membuat pejabat berpikir dua kali untuk melakukan korupsi.

Oleh karena itu, berkaca dari negara lain, perlu dilakukan perbaikan yang serius terhadap LHKPN, adapun rekomendasi perbaikan yang diharapkan adalah perlunya sinkronisasi dengan lembaga keuangan.

Sistem LHKPN dapat disinkronkan dengan data keuangan seperti pajak, perbankan, dan properti, sehingga dapat mempercepat verifikasi data kekayaan, dan mengurangi manipulasi. Selain itu, perlu ada sanksi yang lebih ketat untuk ketidakpatuhan dan ketidakakuratan, termasuk denda yang lebih besar atau potensi diskualifikasi dari jabatan publik.

***

*) Oleh : Nicholas Martua Siagian, Direktur Eksekutif Asah Kebijakan Indonesia dan Penyuluh Anti korupsi Ahli Muda Tersertifikasi LSP KPK.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES