
TIMESINDONESIA, PROBOLINGGO – Di era Society 5.0, perkembangan teknologi digital telah mengubah berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam ranah keagamaan dan dakwah. Masyarakat kini mengakses informasi keagamaan tidak hanya melalui pengajian langsung di masjid atau pesantren, tetapi juga melalui berbagai platform digital seperti YouTube, Instagram, TikTok, dan podcast. Hal ini menunjukkan adanya perubahan besar dalam pola penyampaian dakwah.
Dengan adanya digitalisasi dakwah, muncul berbagai tantangan sosial. Salah satunya adalah maraknya informasi keagamaan yang tidak terverifikasi, yang dapat memunculkan misinterpretasi dalam memahami ajaran Islam.
Advertisement
Banyak individu yang mengaku sebagai dai tetapi kurang memiliki kapasitas keilmuan yang memadai. Sehingga berpotensi menyebarkan informasi yang kurang akurat atau bahkan menyesatkan.
Selain itu, masyarakat juga dihadapkan pada tantangan literasi digital yang masih rendah. Banyak umat Muslim yang belum terbiasa memilah dan memverifikasi informasi keagamaan yang mereka konsumsi di internet.
Fenomena ini diperparah oleh keberadaan algoritma media sosial yang cenderung menampilkan konten berdasarkan popularitas, bukan keakuratan atau kedalaman kajian ilmiah.
Meski begitu, digitalisasi dakwah juga membawa peluang besar bagi perkembangan Islam. Umat Muslim kini dapat mengakses ceramah dan kajian dari ulama-ulama terkemuka di seluruh dunia hanya dalam hitungan detik.
Selain itu, platform digital memungkinkan penyebaran nilai-nilai Islam yang moderat dan inklusif, serta memberikan ruang bagi diskusi dan interaksi yang lebih luas.
Dalam kajian literatur, konsep dakwah virtual dan literasi digital dapat dianalisis melalui beberapa teori yang relevan. Salah satunya adalah teori komunikasi digital yang dikemukakan oleh Marshall McLuhan dalam konsep "the medium is the message".
McLuhan menyatakan bahwa media yang digunakan dalam komunikasi memiliki pengaruh besar terhadap bagaimana pesan diterima dan dipahami. Dalam konteks dakwah digital, pemilihan platform dan metode penyampaian pesan sangat menentukan efektivitas dakwah itu sendiri.
Selain itu, dalam teori literasi digital, Paul Gilster mendefinisikan literasi digital sebagai kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi dari berbagai sumber digital secara efektif. Dalam dakwah, literasi digital sangat diperlukan agar masyarakat dapat memilah mana konten keagamaan yang sahih dan mana yang tidak.
Dari perspektif Islam, dakwah digital dapat dikaitkan dengan konsep tabligh dan amar ma’ruf nahi munkar. Dalam kitab-kitab klasik Islam, para ulama menyebutkan bahwa penyampaian dakwah harus dilakukan dengan hikmah, nasihat yang baik, dan diskusi yang bijaksana (QS. An-Nahl: 125). Sehingga dalam era digital ini, penyampaian dakwah harus tetap mempertahankan prinsip hikmah dan kesantunan, tanpa kehilangan esensi dari ajaran Islam.
Beberapa tokoh Islam kontemporer telah menyoroti pentingnya pemanfaatan teknologi dalam dakwah. Salah satunya adalah Yusuf Al-Qaradawi, seorang ulama terkenal yang menekankan bahwa dakwah harus berkembang sesuai dengan zaman.
Menurutnya, media sosial dan platform digital dapat menjadi alat efektif dalam menyebarkan pesan Islam, asalkan digunakan dengan tanggung jawab dan ilmu yang cukup.
Di Indonesia, KH. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) juga sering menekankan pentingnya dakwah yang mengedepankan kelembutan dan toleransi. Dalam beberapa wawancaranya, beliau menyatakan bahwa media sosial bisa menjadi ladang dakwah yang subur jika digunakan untuk menyebarkan kebaikan, bukan untuk menyulut perpecahan.
Selain itu, Habib Ali Al-Jifri, seorang ulama dari Timur Tengah, menyatakan bahwa tantangan dakwah di era digital adalah menjaga esensi ajaran Islam agar tidak terdistorsi oleh tren media sosial. Dakwah harus tetap berlandaskan ilmu dan dilakukan oleh mereka yang memiliki kapasitas keilmuan yang memadai.
Di berbagai negara Muslim, dakwah digital telah diimplementasikan dengan berbagai strategi. Di Indonesia, lembaga seperti NU Online dan Muhammadiyah TV telah memanfaatkan teknologi untuk menyebarkan ajaran Islam yang moderat dan inklusif. Mereka aktif dalam membuat konten berbasis video, podcast, dan artikel yang mudah diakses oleh masyarakat luas.
Di kalangan akademisi, banyak pesantren dan universitas Islam mulai mengadopsi sistem pembelajaran berbasis digital untuk meningkatkan pemahaman agama bagi santri dan mahasiswa. Salah satu contohnya adalah Universitas Islam Indonesia yang mengadakan kuliah online interaktif tentang studi Islam.
Selain itu, beberapa individu juga telah sukses dalam dakwah digital. Gus Miftah, Gus Iqdam, dan Habib Husein Ja’far Al Hadar adalah contoh dai yang memanfaatkan media sosial untuk menyampaikan pesan Islam dengan gaya yang sesuai dengan karakteristik generasi milenial dan Gen Z.
Salah satu contoh aktual dari keberhasilan dakwah digital adalah meningkatnya jumlah kajian online selama bulan Ramadan. Kajian-kajian daring seperti yang dilakukan oleh Ustaz Hanan Attaki melalui Instagram dan YouTube berhasil menarik jutaan penonton.
Selain itu, kampanye digital bertema Islam moderat juga mulai bermunculan, seperti gerakan #NgajiYuk yang mengajak anak muda untuk kembali mencintai kajian Islam dengan cara yang menyenangkan. Gerakan ini didukung oleh berbagai influencer Muslim dan berhasil mendapatkan perhatian besar di media sosial.
Namun, ada pula tantangan dalam dakwah digital, seperti fenomena “ustaz instan” yang hanya mengandalkan popularitas tanpa memiliki dasar ilmu agama yang kuat. Hal ini sempat menjadi perdebatan di kalangan akademisi dan ulama tentang bagaimana mengontrol konten dakwah agar tetap sesuai dengan ajaran Islam yang sebenarnya.
Dakwah virtual di era Society 5.0 menawarkan berbagai peluang dan tantangan. Dari sisi positif, digitalisasi dakwah memungkinkan penyebaran ajaran Islam yang lebih luas, meningkatkan literasi keagamaan, dan menjangkau audiens yang lebih beragam. Di sisi lain, rendahnya literasi digital masyarakat berisiko menimbulkan penyebaran informasi keagamaan yang tidak akurat.
Oleh karena itu, penting bagi dai dan masyarakat Muslim secara umum untuk meningkatkan kemampuan literasi digital agar dapat memilah informasi keagamaan yang sahih. Pemerintah, lembaga keagamaan, dan akademisi juga perlu berkolaborasi dalam menyediakan platform dakwah yang berkualitas dan terpercaya.
Dengan memanfaatkan teknologi secara bijak, dakwah virtual dapat menjadi instrumen penting dalam membangun peradaban Islam yang lebih inklusif dan berwawasan luas, sesuai dengan semangat Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
***
*) Oleh : Wahdana Nafisatuz Zahra, Siswi Madrasah Aliyah Nurul Jadid Program Peminatan Keagamaan (MANJ PK), Editor Majalah KHARISMA, dan Pewarta nuruljadid.net.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |