Kopi TIMES

Diplomasi Lelucon

Rabu, 09 April 2025 - 15:14 | 54.13k
Agustinus Hary Setyawan, S.Pd., MA., Dosen UMBY Yogyakarta.
Agustinus Hary Setyawan, S.Pd., MA., Dosen UMBY Yogyakarta.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Pengiriman kepala babi ke kantor redaksi Tempo bikin heboh. Bukan cuma karena bentuknya yang nyeleneh, tapi juga karena pernyataan Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, yang menanggapinya dengan santai: "Sudah dimasak saja." 

Ucapan ini pun langsung menuai reaksi keras. Ada yang menilai sebagai ketidakempatian, ada pula yang mencoba memahami niat di baliknya. Yuk, kita bedah lebih lanjut dengan kacamata linguistik dan analisis wacana kritis.

Advertisement

Ketika Kata-Kata Memiliki Kekuatan

Dalam analisis wacana kritis, setiap pernyataan pejabat publik bukan sekadar rangkaian kata. Ada makna, konteks, dan dampak yang menyertainya. Pernyataan Hasan Nasbi bisa dilihat dari dua sisi. Dari satu sisi, masyarakat yang marah menganggap ucapannya sebagai bentuk meremehkan teror terhadap pers. Tapi dari sisi Hasan sendiri, ini adalah cara untuk mengabaikan efek teror, agar tujuan peneror tak tercapai. 

Namun, masalahnya, publik tak selalu menangkap maksud si pembicara. Dalam komunikasi, ada konsep ‘persepsi publik’-dan di sinilah letak kontroversinya. Di tengah kekhawatiran atas kebebasan pers, komentar yang terdengar santai bisa dianggap sebagai bentuk ketidakseriusan.

Dari sudut pandang linguistik, ujaran Hasan Nasbi dapat dikaji menggunakan teori pragmatik. Dalam konteks ini, pernyataan "sudah dimasak saja" bisa dikategorikan sebagai ‘tindak tutur ilokusi’ yakni ujaran yang bertujuan untuk mempengaruhi cara pandang penerima pesan. 

Hasan tampaknya ingin menormalisasi situasi dengan menggeser makna kepala babi dari simbol ancaman menjadi sekadar benda biasa yang bisa diolah. Namun, pragmatik juga mengajarkan bahwa makna ujaran sangat bergantung pada konteks sosialnya. Dalam kondisi tegang seperti ini, efek pernyataan justru bertolak belakang dari maksud awalnya.

Humor atau Ketidakpekaan?

Pernyataan "sudah dimasak saja" memang bisa dimaknai sebagai cara Hasan untuk membalikkan ancaman. Dalam bahasa, ada strategi yang disebut ‘Humor sebagai Strategi kesantunan positif yang dapat mengurangi ancaman terhadap muka (face-threatening act), di mana sesuatu yang awalnya menakutkan justru dijadikan bahan bercanda agar efeknya berkurang.  

Dari perspektif analisis wacana kritis, fenomena ini juga bisa dikaitkan dengan konsep ‘intertekstualitas’, yakni bagaimana suatu ujaran terhubung dengan ujaran lain dalam suatu konteks sosial. Hasan mengklaim mengutip dari unggahan Francisca, namun dalam wacana publik, pernyataan itu diambil terpisah dari sumber aslinya dan ditafsirkan sebagai sikap meremehkan ancaman. Ini menunjukkan bagaimana makna bisa berubah tergantung pada bagaimana sebuah ujaran dipahami dalam konteks yang lebih luas. 

Di tengah suasana serius, lelucon yang tak pada tempatnya justru bisa memperkeruh keadaan. Ucapan santai dari seorang pejabat bisa berujung pada kesalahpahaman massal, terutama jika berhubungan dengan isu sensitif seperti kebebasan pers.

Simbolisme di Balik Kepala Babi

Dalam semiotika, simbol selalu punya makna yang lebih dalam dari sekadar bentuknya. Kepala babi bisa bermakna penghinaan, ancaman, atau strategi psikologis untuk menakut-nakuti. Artinya, tanggapan terhadapnya juga harus melihat konteks budaya dan sosial. 

Ketika Hasan mencoba menormalisasi situasi dengan menyarankan memasaknya, bisa jadi niatnya untuk melemahkan efek teror. Tapi, publik justru menangkapnya sebagai pengabaian ancaman. Dan di sinilah pentingnya pemilihan kata dalam komunikasi politik—salah sedikit, efeknya bisa berantakan.

Dari perspektif linguistik, kepala babi juga bisa dikaji sebagai metafora dalam wacana politik. Dalam banyak kebudayaan, babi sering diasosiasikan dengan sesuatu yang kotor atau tidak diinginkan, sehingga pengirim paket kepala babi ingin menyampaikan pesan penghinaan atau ancaman. Dalam analisis wacana kritis, simbol semacam ini memiliki ‘daya ilokusi’ yang kuat—yakni mampu menimbulkan efek psikologis tertentu bagi penerima pesan.

Kasus ini mengajarkan bahwa komunikasi bukan hanya soal apa yang dikatakan, tetapi juga bagaimana itu ditangkap. Hasan mungkin ingin meredam efek teror, tetapi publik melihatnya sebagai bentuk pengabaian terhadap kebebasan pers. Ini menunjukkan bahwa dalam komunikasi publik, pemilihan kata harus mempertimbangkan konteks, audiens, dan potensi dampaknya.

***

*) Oleh : Agustinus Hary Setyawan, S.Pd., MA., Dosen UMBY Yogyakarta. 

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES