
TIMESINDONESIA, TANGERANG – Setiap tahun, Hari Raya Idulfitri hadir sebagai penanda kemenangan spiritual bagi umat Muslim di seluruh dunia. Namun di Indonesia, Lebaran tak hanya soal ibadah dan doa-ia adalah momen budaya, sosial, dan bahkan ekonomi yang sangat besar.
Salah satu ritual yang tak pernah lekang oleh zaman adalah mudik, atau pulang kampung. Tak peduli seberapa jauh kota tempat seseorang merantau, ada satu tarikan emosional yang memanggilnya kembali ke akar: desa, keluarga, dan kampung halaman.
Advertisement
Mudik bukan semata tradisi, melainkan juga gerakan sosial masif yang memindahkan jutaan manusia sekaligus uang ke daerah. Ia memantik kembali kehidupan di desa-desa yang sebelumnya berjalan datar. Jalanan kembali ramai, pasar bergairah, dan rumah-rumah yang biasanya senyap kini dipenuhi tawa dan peluk hangat keluarga.
Idulfitri membawa keajaiban tersendiri. Dalam waktu singkat, ia menyatukan ragam dimensi kehidupan: spiritualitas, kekeluargaan, ekonomi, dan budaya. Dan dari semua itu, yang paling menonjol adalah bagaimana kampung halaman berubah menjadi pusat denyut kehidupan yang menyala-meski hanya sesaat dalam setahun.
Arus Mudik: Perpindahan Manusia dan Uang
Pada musim mudik Lebaran 2024, Kementerian Perhubungan mencatat lebih dari 190 juta orang melakukan perjalanan ke kampung halaman. Angka ini naik signifikan dari tahun-tahun sebelumnya, menandakan betapa kuatnya daya tarik kampung sebagai tempat kembali.
Tak hanya orang, arus kendaraan pribadi meningkat tajam, terutama dari wilayah Jabodetabek menuju Pulau Jawa bagian tengah dan timur, serta Sumatera bagian selatan.
Tetapi berdasarkan Survei Potensi Pergerakan Nasional yang dilakukan oleh Kementerian Perhubungan (Kemenhub), diperkirakan jumlah pemudik pada Idul Fitri 1446 H atau Lebaran 2025 mencapai 146,48 juta orang, atau sekitar 52 persen dari total populasi Indonesia. Angka ini menunjukkan penurunan sebesar 24 persen dibandingkan proyeksi pemudik pada Lebaran 2024 (Primantoro, 2025).
Jika dilihat dari sisi ekonomi, mudik adalah fenomena yang sangat berdampak. Setiap pemudik membawa serta dana yang akan dibelanjakan di kampung: dari bahan makanan, pakaian, oleh-oleh, hingga amplop untuk keponakan.
Menurut data dari Bank Indonesia, selama Ramadan dan Idulfitri 2024, terjadi perputaran uang sebesar Rp 197,6 triliun, dengan sebagian besar mengalir ke sektor konsumsi rumah tangga dan UMKM di daerah.
Dibandingkan dengan Tahun 2024, perputaran uang saat Lebaran 2025 diperkirakan turun 12,28 persen (Primantoro, 2025).
Penurunan pemudik dilihat dari berbagai fenomena yaitu libuan natal, tahun baru dan lebaran berdekatan, sehingga yang liburan natal dan tahun baru tidak merencanakan lagi untuk pulang kampung, maraknya PHK, terjadi penurunan daya beli dan juga banyak Masyarakat yang menabugn untuk keperluan anak sekolah serta cuaca yang tidak menentu.
Bagi desa-desa, kedatangan pemudik menjadi semacam booster ekonomi tahunan. Warung kelontong yang biasanya sepi jadi kebanjiran pembeli. Pedagang sayur dadakan bermunculan. Penjual es kelapa, gorengan, hingga mainan anak-anak mendadak ramai. Suasana seperti pasar malam kecil bisa dirasakan di setiap gang.
Testimoni dari pedagang sale pisang NU EDOL Wanareja, seorang pedagang jajanan pasar di Cilacap, Jawa Tengah, menggambarkan hal itu. “Kalau nggak Lebaran, tidak seramai ini. Tapi pas musim mudik, bisa berlipat-lipat penjualan dalam seharinya. Semua beli buat suguhan tamu atau buat makan keluarga besar dan oleh-oleh.”
Lebaran adalah momen di mana desa bukan lagi tempat yang tertinggal. Ia menjadi poros baru yang berdenyut, menghidupkan ekonomi dan mengisi kembali makna sosial dari kebersamaan. Di sinilah kita melihat bahwa kampung bukan sekadar tempat tinggal, tapi juga ruang harapan dan pertemuan.
Ekonomi Bergairah Mulai Pasar Tradisional, UMKM, dan Konsumsi Lokal
Salah satu sektor yang paling merasakan dampak positif dari Lebaran adalah UMKM dan pasar tradisional. Para pemudik yang kembali ke kampung membawa serta gaya hidup konsumsi khas kota, tapi dengan semangat lokalitas yang kuat. Mereka membelanjakan uang untuk produk-produk buatan tetangga, kerabat, bahkan teman masa kecil yang kini membuka usaha rumahan.
Di banyak desa, terlihat geliat ekonomi kecil-kecilan yang muncul mendadak. Ibu-ibu membuka jasa pesanan kue kering dan ketupat. Anak-anak muda berjualan kopi kekinian dengan stand sederhana di depan rumah. Bahkan tak sedikit yang memanfaatkan garasi untuk menjual pakaian, sepatu, hingga cinderamata.
Dari sisi statistik, BPS mencatat bahwa konsumsi rumah tangga tumbuh 5,1% pada kuartal II tahun 2024, yang sebagian besar didorong oleh momen Ramadan dan Lebaran. Aktivitas belanja kebutuhan pangan, pakaian, transportasi, dan rekreasi lokal menjadi pendorong utama. Ini sekaligus menegaskan bahwa ekonomi Indonesia di bulan Syawal bukan hanya soal perayaan, tapi juga produktivitas.
Para pedagang pasar kios pakaian di pasar-pasar tradisional sangat berharap omzetnya naik tiga kali lipat selama Lebaran. Orang-orang yang pulang kampung pasti mampir beli baju buat anak atau oleh-oleh. Kadang bukan karena butuh, tapi karena ingin membahagiakan orang tua dan saudara di rumah.
Namun, fenomena ini bukan tanpa catatan. Di satu sisi, konsumsi meningkat dan ekonomi menggeliat. Tapi di sisi lain, kita perlu mengingat bahwa tak semua orang punya kemampuan yang sama untuk merayakan. Di tengah euforia berbelanja, penting juga untuk menanamkan nilai kesederhanaan dan kepedulian. Agar Lebaran tidak menjadi ajang pamer, melainkan ajang berbagi.
Kita bisa belajar dari beberapa komunitas desa yang mulai menyuarakan gerakan Lebaran Bersahaja. Salah satunya dilakukan oleh Mahasiswa FEB UNPAM yang mengadakan Bazar Murah Lebaran, agar warga yang kurang mampu juga bisa membeli kebutuhan pakaian dengan harga terjangkau. Ini menunjukkan bahwa ekonomi Lebaran bisa tumbuh tanpa harus meninggalkan siapa pun di belakang.
Dari Dapur Hingga Warung-Tradisi Kuliner yang Menghidupkan
Lebaran dan makanan adalah dua hal yang tak terpisahkan. Dari Sabang sampai Merauke, tiap kampung punya cita rasa khas yang disajikan di meja makan pada hari kemenangan. Di balik sajian itu, bukan hanya aroma yang menggoda, tapi juga denyut ekonomi yang mengalir dari dapur ke meja, dari rumah ke warung.
Siapa yang tak kenal opor ayam, rendang, sambal goreng kentang ati, ketupat, dan kue-kue kering seperti nastar dan kastengel? Bagi banyak keluarga di kampung, membuat makanan Lebaran adalah bagian dari tradisi sekaligus usaha. Menjelang Idulfitri, ibu-ibu rumah tangga biasanya membuka layanan pesan makanan khas Lebaran untuk para pemudik yang tak sempat memasak.
Menurut survei Lembaga Demografi UI tahun 2024, lebih dari 62% pemudik memesan makanan siap saji saat Lebaran, baik dari kerabat maupun pelaku usaha lokal. Ini menunjukkan potensi besar dari ekonomi kuliner berbasis rumah tangga yang mekar setiap Syawal tiba.
Cerita menarik datang dari peternak Sapi Pak Atung, Jawa Tengah. Ia dikenal sebagai peternak sapi dan menyediakan pemotongan daging sapi setiap lebaran. Dalam sehari, ia bisa memotong Sapi untuk dipesan tetangganya yang mudik empat sampai dengan lima ekor Sapi. “Dulu cuma peternak biasa, sekarang malah jadi usaha tahunan.
Selain itu, jajanan pasar dan kue-kue kering menjadi ladang rezeki baru. Banyak anak muda desa yang mulai menjual produk buatan sendiri secara daring menjelang Lebaran, memanfaatkan grup WhatsApp RT atau media sosial. Ini menjadi bentuk ekonomi digital sederhana yang menghubungkan nostalgia dengan transaksi masa kini.
Dari sudut kuliner, kita melihat bahwa Lebaran adalah momentum pemberdayaan ekonomi perempuan dan UMKM rumahan. Saat dapur-dapur kampung menyala, bukan hanya perut yang kenyang, tapi juga banyak harapan yang menyala di tungku-tungku kecil rumah rakyat.
Pariwisata dan Silaturahmi yang Tumbuh
Tak hanya soal makan dan belanja, Lebaran juga membawa berkah bagi sektor wisata lokal yang kini semakin menggeliat. Banyak desa yang mulai memoles potensi wisata mereka: air terjun kecil yang dulunya tersembunyi kini dilengkapi tangga dan spot foto, sawah disulap menjadi taman edukasi, dan rumah-rumah tua direnovasi jadi homestay sederhana. Fenomena ini sejalan dengan meningkatnya minat wisatawan lokal terhadap tempat-tempat yang “alami, sejuk, dan otentik”.
Bagi pemudik, mengunjungi tempat wisata lokal menjadi bentuk rekreasi yang hemat dan berkesan. Banyak yang menjadikan momen ini sebagai ajang berbagi cerita, menikmati masa kecil yang dulu mereka tinggalkan. Sering kali, reuni sekolah atau kumpul keluarga besar juga digelar di lokasi wisata alam, mempertemukan banyak wajah lama dalam suasana akrab.
Reuni sekolah, khususnya, menjadi bagian menarik dari budaya Lebaran di kampung. Baik itu alumni SD, SMP, maupun SMA, semua berlomba membuat pertemuan. Tak hanya mempererat silaturahmi, acara ini turut mendorong ekonomi lokal. Pesanan makanan meningkat, tempat sewa tenda dan sound system kebanjiran job, bahkan pemilik rumah bisa menyewakan halamannya untuk parkir.
Cerita dari Kecamatan Dayeuhluhur, Cilacap misalnya, menunjukkan bagaimana reuni sekolah yang digelar ditempat wisata Sungai Cidayeuh yang mengusung tema Kembali ke alam dengan membawa keluarganya masing-masing meskipun hanya sekelompok kecil yang hadir kata Pak Trio, ketua panitia reuni angkatan 1995.
Fenomena ini menunjukkan bahwa pariwisata dan silaturahmi tak bisa dipisahkan. Di tangan yang tepat, dua hal ini bisa membentuk ekosistem ekonomi desa yang tumbuh dari nilai-nilai kebersamaan.
Mobil Plat Jabodetabek dan Jalanan yang Berubah Wajah
Salah satu pemandangan yang selalu hadir setiap Lebaran di kampung adalah menjamurnya mobil pribadi dengan plat B (Jakarta), F (Bogor), D (Bandung), hingga BE (Lampung) di jalan-jalan desa. Mobil-mobil ini, sebagian besar milik para perantau yang mudik, membanjiri jalur kecil yang biasanya lengang. Jalanan tanah mendadak dipadati kendaraan SUV dan MPV, menciptakan suasana “kota kecil musiman”.
Di satu sisi, pemandangan ini menimbulkan kebanggaan. Pemilik rumah merasa senang karena anak atau saudaranya “berhasil” dan bisa pulang membawa kendaraan sendiri. “Halaman rumah saya penuh mobil, jadi rame. Alhamdulillah anak-anaknya semua bisa pulang,” ujar Pak Iman, warga desa di Kuningan.
Namun di sisi lain, tak sedikit yang mulai merasa bahwa fenomena ini mulai bergeser ke arah pamer dan kompetisi status. Beberapa pemudik datang bukan hanya untuk bersilaturahmi, tapi juga menunjukkan kendaraan, pakaian, atau bahkan gadget terbaru. Di titik ini, nilai Lebaran sebagai momen kesederhanaan mulai memudar, digantikan gaya hidup konsumtif dan simbolik.
Idulfitri semestinya menjadi momentum untuk merajut kesetaraan sosial. Jika Lebaran hanya menjadi ajang pamer simbol kemewahan, kita justru menciptakan jurang baru di tengah masyarakat desa yang masih bergelut dengan keterbatasan.
Refleksi ini penting untuk terus digaungkan. Sebab di balik senyum dan tawa, ada banyak hati yang mungkin merasa tersisih karena tidak mampu “mengimbangi” gaya hidup urban yang dibawa para pemudik. Lebaran seharusnya menjadi momen menyatukan, bukan membedakan.
Untuk mengatasi ini, beberapa tokoh desa sebaiknya mulai membuat inisiatif “Lebaran Ramah Sosial” dengan mengimbau warganya untuk mengutamakan kebersamaan, bukan kemewahan. Misalnya, dengan menyepakati Lebaran tanpa harus serba baru, atau dengan membuat acara makan bersama di balai desa agar semua warga bisa menikmati momen kebersamaan tanpa beban ekonomi.
Fenomena mobil pemudik di desa memang tak bisa dihindari. Tapi dengan narasi dan kesadaran kolektif yang tepat, kita bisa mengubahnya dari simbol status menjadi simbol silaturahmi—dari sekadar kendaraan menjadi jembatan kehangatan.
Panen Raya Dimulai Rezeki dari Tanah, Berkah Idul Fitri
Idul Fitri tahun ini bertepatan dengan panen raya di berbagai daerah pertanian di Indonesia, terutama di Jawa. Momen ini menghadirkan berkah berlipat ganda: selain merayakan kemenangan spiritual, petani juga merayakan hasil jerih payah selama berbulan-bulan mengolah sawah dan ladang.
Di desa-desa seperti Cilacap, Ciamis, hingga Jawa Timur, tanaman padi mulai menguning. Gabah mengisi karung-karung, motor hingga truk kecil hilir mudik mengangkut hasil panen.
Pemudik yang sebelumnya bekerja di kantor-kantor kota besar pun, untuk sesaat, kembali menjadi anak desa: ikut turun ke sawah, membantu memotong padi, memanggul karung, atau sekadar menemani orang tua mereka di ladang sambil bernostalgia dan membawa makan siang nasi liwet.
Bagi banyak keluarga, momen ini bukan hanya urusan ekonomi, tetapi juga emosional. Ia menjadi pengikat identitas antara yang merantau dan yang tinggal. Ikatan dengan tanah leluhur kembali terasa nyata. Banyak pemuda kota yang mengaku, momen panen saat Lebaran membuat mereka merenung: “Sebanyak apapun gaji saya di kota, orang tua saya tetap menanam harapan dari sawah ini,” ucap Casto, pemudik dari Tangerang yang pulang ke Cilacap.
Di sisi ekonomi, panen raya saat Lebaran memberi dorongan signifikan. Harga gabah cenderung stabil karena tingginya permintaan, dan perputaran uang di sektor pertanian meningkat. Petani pun punya modal lebih untuk keperluan sekolah anak, memperbaiki rumah, atau sekadar menyimpan tabungan.
Pada tahun 2024, produksi padi di Indonesia mencapai 53,14 juta ton gabah kering giling (GKG), menurut Badan Pusat Statistik (BPS). Angka ini mengalami penurunan 1,55 persen dibandingkan tahun 2023 yang sebesar 53,98 juta ton GKG, di mana sebagian besar dihasilkan oleh lahan-lahan sawah rakyat. Ini menunjukkan bahwa sektor pertanian tetap menjadi tulang punggung desa, bahkan saat Idulfitri datang dengan gegap gempita modernitas.
Di tengah berbagai perayaan konsumtif, panen raya menjadi penyeimbang, bahwa ada rezeki yang datang tanpa gegap gempita, tapi melalui kesabaran, keringat, dan ketekunan. Bahwa Lebaran bukan hanya milik yang pulang dari kota, tapi juga mereka yang tinggal dan menjaga tanah.
Amplop Lebaran adalah Antara Tradisi dan Keseimbangan Sosial
Siapa tak kenal amplop Lebaran? Sejak dulu, tradisi membagikan uang kepada anak-anak kecil menjadi bagian tak terpisahkan dari suasana Idulfitri. Anak-anak berjejer rapi, mengucap salam, mencium tangan orang dewasa, lalu menerima amplop kecil berisi uang—baik seribuan, lima ribuan, hingga ratusan ribu. Bagi mereka, ini bukan soal nominal, tapi kenangan dan kebahagiaan.
Namun di era sekarang, tradisi ini mulai memunculkan dilema baru. Sebagian orang merasa tekanan sosial karena “standar” isi amplop terus meningkat. Apalagi ketika anak-anak mulai membandingkan: “Dari Om A dapat segini, dari Tante itu lebih besar.” Akibatnya, semangat berbagi yang ikhlas dan sederhana mulai bergeser ke arah persaingan tidak sehat.
Sebagian tokoh masyarakat mulai mengingatkan bahwa pemberian tidak boleh menjadi beban. Pemuka agama, misalnya, mengimbau warganya agar memberi sesuai kemampuan dan mengajak anak-anak menghargai berapapun jumlahnya. “Nilainya kecil pun asal ikhlas, itu lebih baik daripada besar tapi penuh beban,” ujarnya dalam pengajian menjelang Lebaran.
Kementerian Sosial bahkan merilis panduan etika sosial dalam perayaan Idulfitri, termasuk soal pemberian amplop. Salah satu poinnya menekankan pentingnya membangun kesadaran bahwa tradisi ini harus inklusif dan tidak memunculkan rasa malu bagi yang kurang mampu.
Sebagian keluarga kreatif menyikapi ini dengan cara unik yaitu mengganti amplop uang dengan hadiah kecil, seperti mainan edukatif, buku cerita, atau makanan ringan. Dengan begitu, anak-anak tetap merasakan kebahagiaan, tanpa tekanan nilai uang yang terus membesar.
Amplop Lebaran, jika dikelola dengan bijak, tetap bisa menjadi medium pembelajaran. Ia mengajarkan anak-anak tentang berbagi, menghormati yang lebih tua, dan merayakan kemenangan spiritual dengan keceriaan sederhana.
Solidaritas Sosial dan Kearifan Lokal untuk Menjaga Jiwa Lebaran
Di tengah dinamika ekonomi dan sosial yang begitu ramai, Idulfitri tetap menjadi momen kebersamaan yang sangat kuat di tingkat akar rumput. Di desa-desa, semangat gotong royong dan solidaritas sosial terasa sangat hidup. Mereka yang memiliki lebih tak segan berbagi kepada tetangga, baik dalam bentuk makanan, pakaian, hingga bantuan keuangan.
Salah satu contoh nyata adalah tradisi pembagian zakat di Jawa Tengah, di mana keluarga mampu menyalurkan zakat dan sedekah dalam bentuk sembako kepada warga sekitar secara kolektif.
Bahkan, sebagian warga yang tinggal di kota berinisiatif menggalang dana dari sesama perantau untuk dibagikan ke kampung asal mereka dalam bentuk bantuan pendidikan, perbaikan masjid, atau modal usaha kecil. Inilah bukti bahwa Lebaran bukan hanya perayaan personal, tetapi juga penguat jaringan sosial dan solidaritas.
Nilai-nilai kearifan lokal ini semakin penting di tengah masyarakat yang mulai terfragmentasi oleh konsumsi dan gaya hidup individual. Lebaran mengingatkan bahwa kita bukan hanya makhluk spiritual, tapi juga sosial. Bahwa kemenangan sejati bukan hanya dari berpuasa, tapi juga dari kemampuan berbagi.
Lebaran sebagai Cermin Ekonomi dan Nilai Kehidupan
Lebaran bukan sekadar ritual keagamaan. Ia adalah cerminan tentang siapa kita, dari mana kita datang, dan ke mana kita kembali. Dalam hiruk pikuk mudik, transaksi pasar, reuni sekolah, makanan khas, hingga deretan mobil di halaman rumah, kita melihat potret masyarakat Indonesia yang bergerak.
Namun, di balik itu semua, kita juga diajak untuk merenung. Apa yang kita bawa saat pulang ke kampung? Apakah hanya kendaraan mewah dan tas belanja, atau juga ketulusan, kepedulian, dan semangat berbagi?
Idulfitri, dengan seluruh dinamikanya, memperlihatkan bahwa ekonomi dan budaya bisa tumbuh bersama. Bahwa geliat pasar tak harus menghapus nilai kesederhanaan. Bahwa wisata dan reuni bisa selaras dengan solidaritas dan cinta tanah air. Bahwa perputaran uang tidak harus meninggalkan mereka yang berjalan lebih lambat.
Sebagaimana digambarkan oleh ekonom Faisal Basri, “Ekonomi yang baik adalah ekonomi yang tumbuh dari bawah, yang menyentuh kehidupan rakyat sehari-hari. Lebaran memberi kita gambaran ekonomi mikro yang sangat nyata—di warung, di dapur, di sawah, di pelataran masjid.”
Maka, ketika kita merayakan Lebaran, sejatinya kita sedang merayakan kehidupan: dengan seluruh keringat petani, semangat ibu rumah tangga, senyum anak kecil, hingga pelukan hangat antar saudara. Semua itu menyatu dalam gema takbir yang tak hanya menggema di langit, tapi juga di hati kita semua.
"Selamat Idulfitri. Mari kita kembali—bukan sekadar ke kampung halaman, tetapi juga ke akar nilai-nilai luhur dan jati diri bangsa yang sarat kasih sayang serta semangat kebersamaan."
***
*) Oleh : Dr. Anah Furyanah, S.E., M.M., Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Pamulang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sholihin Nur |