Kopi TIMES

Megawati dan Politik Kebangsaan di Tengah Krisis Global

Jumat, 11 April 2025 - 09:01 | 41.49k
Shohibul Kafi, S.Fil, Pengurus Wilayah DPD KNPI D.I. Yogyakarta
Shohibul Kafi, S.Fil, Pengurus Wilayah DPD KNPI D.I. Yogyakarta
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Dalam perjalanan bangsa tentu akan menjalani momentum genting yang menjadi ujian terhadap ketangguhan sebuah negara. Hari ini, Indonesia sedang menghadapi situasi semacam itu, dimana badai datang dari dua arah sekaligus, gejolak politik dan kebijakan dalam negeri yang sarat kontroversi, serta tekanan ekonomi global yang semakin menyesakkan. 

Kombinasi keduanya jelas melahirkan tantangan besar bagi stabilitas negara dan kepastian kesejahteraan rakyat. Sejak Pelantikan Presiden Prabowo Subianto, dinamika politik nasional mengalami lonjakan ketegangan. Dalam 150 hari pertama pemerintahannya, publik kerap disuguhkan aneka kebijakan dan peristiwa yang dinilai tak hanya kontroversi akan tetapi juga mengancam prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan. 

Advertisement

Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka sebagaimana kita ketahui adalah produk putusan politik yang melanggar prinsip-prinsip demokrasi yang dijalankan dengan cara nepotisme, hadirnya Anwar Usman sebagai hakim Mahkamah Konstitusi kala pemerintahan Jokowi.

Tak terhenti dari situ, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan Presidential Threshold 0% dan aturan yang memperbolehkan caleg ikut serta pilkada tanpa mengundurkan diri, tentu publik bertanya kemana arah demokrasi kita? 

Lebih lanjut, kita dihadapkan pada masalah-masalah hukum dan tata Kelola yang membingungkann publik, kasus korupsi timah di bangka Belitung dengan angka kerugian hingga Rp.271 Triliun serta dugaan korupsi Rp. 1.000 triliun, yang mempertontonkan betapa rapuhnya sistem pengawasan dan penegakan hukum kita.

Belum lagi terjadi peristiwa kelangkaaan LPG 3 Kg. Dalam waktu yang berkesamaan muncul juga kasus pagar laut, kebijakan Efisiensi anggaran, kebijakan Proyek Ambisiu seperti Danantara senilai Rp.14.000 triliun yang justru menimbulkan kecemasan baru. 

Dalam situasi tersebut gelombang protes mulai bermunculan mengepung Indonesia, timbul Kembali kasus Indonesia Gelab, Issu Kabur Aja dulu dech karena sulitnya mencari kehidupan, tak berhenti dari situ keluar lagi kebijakan RUU TNI dan RUU Polri yang menimbulkan anggapan membuka ruang militerisme dalam kehidupan sipil. 

Bahkan, penahanan Hasto Kristiyanto Sekjend PDI Perjuangan yang sangat politis, dan intimidasi terhadap Media seperti Tempo menandakan kerapuhan demokrasi dalam praktiknya. 

Namun badai tak hanya datang dari dalam negeri saja, dunia global pun sedang tidak baik-baik saja. Pada 2 April 2024, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan kebijakan pajak impor terhadap 187 negara, Indonesia masuk didalamnya dikenakan bea cukai sebesar 32%. Tentu kebijakan ini langsung berdampak dan menekan sektor ekspor nasional. 

Ditengah dua badai besar ini politik internal yang gaduh dan tekanan ekonomi global yang mencekik, Indonesia membutuhkan arah yang jelas. Pemerintah harus menyadari bahwa kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat dan sarat kepentingan elite hanya akan memperdalam krisis kepercayaan publik. Kita membutuhkan kepemimpinan yang tidak reaktif, tetapi reflektif, tidak represif tetapi partisipatif karenanya sejatinya kekuasaan tanpa legitimasi moral hanya akan membangun istana di atas pasir. 

Kini saatnya semua elemen bangsa bersuara dan mengambil peran, karena masa depan Indonesia tidak hanya diserahkan pada dinimika Istana dan ruang siding, ia harus ditentukan oleh nalar publik, kesadaran kolektif, dan keberanian untuk menjaga arah bangsa.

Mencari Cahaya dari Politik Nilai

Dalam konteks tersebutlah, langit Indonesia tampak kelam serta gelab gulita. Kegaduhan demi kegaduhan yang berlangsung tidak hanya mencerminkan krisis tata Kelola, akan tetapi juga krisis nilai. Ketiadaan arah ideologis yang kuat nan kokoh serta absennya keteladanan dalam kepemimpinan menjadi tantangan serius bagi masa depan republik ini. 

Di Tengah situasi seperti ini bangsa ini sangat-sangat membutuhkan mercusuar moral atau virtue moral yang tidak goyah oleh beragam angin kepentingan. Dalam pergolakan politik nasional yang seolah kehilangan Kompas moral, kekuasaan tampak lebih mengedepankan kalkulasi pragmatis ketimbang sebuah komitmen terhadap nilai-nilai luhur bangsa.

Dalam keadaan ini, dirasa perlu untuk kembali pada sosok-sosok yang tetap konsisten menjaga api ideologi dan nilai-nilai kebangsaan, salah satunya ialah Megawati Soekarnoputri. Sebagai ketua Umum PDI Perjuangan dan Presiden Ke-5 Republik Indonesia.

Megawati tak hanya figure politik, melainkan juga sebagai simbol dari kesinambungan sejarah perjuangan nasional Indonesia. Ia tumbuh dari Rahim revolusi, dibesarkan oleh Bung Karno Sang Proklamator dan Ideolog Bangsa. 

Dalam tiap-tiap putusan politiknya Megawati selalu dan selalu menekankan pentingnya Ideologi, (Istiqomah) Konsisten, dan keberpihakan terhadap wong cilik (Marhain).

Setelah wafatnya Gus Dur, rasa-rasanya hanya Megawati salah satu tokoh politik yang masih mengkampanyekan bahwa jalan politik adalah jalan pengabdian terhadap bangsa dan negara diatas yang paling tinggi adalah kemanusian. 

Dalam berbagai pidatonya ia selalu mengingatkan para kader serta elite politik untuk tidak melupakan Sejarah dan pentingnya menjaga kedaulatan bangsa ditengah gempuran neoliberalisme dan oligarki politik. 

Bahkan ia tidak segan-segan mengkritik pemerintah walaupun partainya berada dikekuasaan, ia menolak segala bentuk pembajakan demokrasi oleh siapapun termasuk Jokowi mantan Kader yang meninginkan tiga periode atas kegagalan tersebut Jokowi melangsungkan penobatan putra sulungnya menjadi Calon Wakil Presiden meski melanggar konstitusi dan sikap tegas Megawati yang berujung pada pemecatan Jokowi dan keluarganya. 

PDIP dan Bayang-Bayang Ujian Sejarah

Pesan nilai yang terus dijaga Megawati tentu semakin relevan saat PDI Perjuangan berada di persimpangan menjelang Konggres. Politik nilai akan diuji tak hanya oleh kekuatan eksternal, melainkan juga oleh pilihan-pilihan internal partainya sendiri, meski sudah banyak opini yang berkembang para pengurus partai meminta agar Megawati Kembali menjadi Ketua Umum. 

Namun, terlepas dari itu semua, kehendak zaman atas modernisasi dan dalam bayang-bayang manipulasi akan menekankan sebuah pertanyaan apakah partai akan setia pada garis perjuangan ideologi atau berpotensi tergelincir kedalam arus oportunisme politik.

Besar kemungkinan PDI Perjuangan mampu melewati ujian tersebut, justru yang menjadi catatan penting ialah kemampuan PDI Perjuangan dalam menghadapi serangan dari luar atau istilah awut-awut yang kerap dikumandangkan jelang penahanan Hasto Kristiyanto Sekjend PDI Perjuangan.

Meski Megawati pernah melewati fase terberat sepanjang Sejarah yakni melewati zaman orde baru atau istilah prahara PDI Ke PDI Perjuangan Dimana Megawati berhadapan dengan kekuasaan dominan orde baru kala itu denga segala jerih payah Megawati berhasil memenangkan kekuatan penguasa Soeharto kala itu, dan menghantarkan babak baru Reformasi 1998. 

Sejalan dengan proses pemecatan Jokowi dan keluarganya, potensi keinginan Jokowi untuk mengabil alih PDI Perjuangan sangat ketara, bagaimana tidak selama Jokowi Menjadi Presiden sudah banyak melakukan operasi politik meski tak semuanya berhasil. 

Misalnya Demokrat, Golkar, PPP dan terakhir PSI dan akhir-akhir ini terkuak dari pernyataan Sesepuh NU dan Mantan Ketua Umum PBNU K.H. Said Aqil Sirajd adanya Campur Tangan Jokowi dalam suksesi Muktamar di Lampung yang menyebabkan keterbelahan PBNU, peristiwa tersebut seperti zaman Gus Dur Muktamar 1984 kuatnya intervensi Soeharto namun dengan kecerdikan Gus Dur berhasil mengelabuhi Soeharto kala itu. 

Pertemuan Megawati–Prabowo: Langkah Strategis Menjaga Republik

Dalam bayang-bayang konggres itulah muncul dinamika baru dalam lanskap nasional, sebuah pertemuan Megawati dan Prabowo, banyak yang bertanya-tanya ke mana arah pertemuan ini akan membawa republik? Timbul dalam benah hati publik serta para pengamat politik apakah ini akan berbentuk rekonsiliasi, konsolidasi, atau kompromi? 

Tak dapat disangkal issu pertemuan Megawati dan Prabowo telah lama berguling dan baru kemarin terlaksana. Pasca pertemuan tersebut banyak menimbulkan reaksi serta tafsir politik, satu sisi pertemuan itu bisa dimaknai sebagai bentuk kompromi untuk menjaga stabilitas nasional serta adanya persoalan krisis global. Disisi yang lain publik khawatir bilamana pertemuan tersebut merupakan sinyal dari kooptasi atau normalisasi atas segala kebijakan kontroversi pemerintah. 

Jika kita menilik lebih jauh, Megawati bukanlah tokoh yang mudah tunduk pada tekanan kekuasaan. Ia adalah tokoh yang telah berulang kali menempatkan prinsip di atas kpentingan sesaat sebutlah seorang Ideolog, dalam konteks ini, pertemuan dengan Prabowo dapat dibaca sebagai Langkah strategis untuk menjaga stabilitas politik nasional dan khususnya dalam menghadapi krisis global serta Upaya menjaga Republik dari potensi keterpurukan, disintegrasi, serta Upaya memulihkan demokrasi yang telah terkoyak-koyak oleh rezim Jokowi.

Sejarah telah mencatat bahwa Megawati adalah tokoh yang konsisten menjaga jarak dengan kekuasaan yang menyimpang seperti dalam melawan rezim orde baru, melawan kehendak Jokowi kendatipun berdampak merugikan partainya sendiri. 

Maka jika ia memilih untuk berdialog itu artinya demi Republik bukan demi kekuasaan dalam bentuk pembagian Mentri misalnya namun sikap jelas dan tegas disampaikan PDI Perjuangan Mitra Pemerintah berposisi Oposisi bernalar Pembangunan Negeri.  

Megawati dan Jalan Pulang Demokrasi

Akhirnya kita sampai pada ujung kegelisahan kegundahgulaaan pikiran, timbul sebuah pertanyaan utama, kemana arah demokrasi kita akan dibawa? Tentu jawaban dari pertanyaan tersebut tak mampu dilepaskan dari suara-suara moral yang masih berani berdiri. 

Disinilah Megawati Kembali menjadi penting bukan lantaran kekuasaan yang ia miliki, melainkan karena kejujuran Sejarah yang ia pegang secara teguh nan kuat. 

Senada dengan pertanyaan diatas, Pengamat Intelijen dan Geopolitik, Amir Hamzah dalam acara Rakyat Bersuara dengan Tajuk Tema “Dihantam Luar-Dalam, Indonesia Haru Apa?” 

Pada 8 April 2025 menyampaikan bahwa Beban Berat Presiden Prabowo Subianto dikarenakan warisan dosa-dosa dari Rezim Jokowi, pertama Korupsi merajela, kedua Penyalahgunaan Wewenang Kekuasaan, Ketiga Pembohongan Publik, Keempat Pelanggaran Konstitusi.

Lebih lanjut, situasi demokrasi kita sedang dalam persimpangan jalan, setelah dua decade reformasi kita mengalami kemunduran dalam multi aspek, pelemahan oposisi, Kooptasi Lembaga hukum, Praktik Suap, kompetisi non kompetitif, anti kritik, maraknya politik uang dalam ajang pileg dan pilkada serta minimnya ruang bagi Masyarakat sipil untuk berpartisipasi, jalan demokrasi kita terasa menyimpang jauh dari semangat awal reformasi. 

Dalam situasi ini Megawati hadir sebagai suara yang mengingatkan bangsa untuk tidak lupa jalan pulang. Demokrasi bukan hanya procedural electoral, akan tetapi juga soal keadilan sosial, kedaulatan rakyat, serta kebebasan sipil. Ia menolak demokrasi yang hanya dikuasai elite dan menyerukan agar rakyat Kembali menjadi pusat dalam pengambilan kebijakan. 

Tentu megawati tak hanya berlari kencang demi kekuasaan, usianya telah matang, pengalamannya telah teruji, tapi justru karena itu, ia menjadi sebuah symbol dari komitmen pada demokrasi sejati. Ketika banyak elite tergoda untuk menggadaikan prinsip demi kekuasaan, megawati tetap menjadi penjaga gawang nilai-nilai kebangsaan Indonesia. 

Ditengah badai global dan kerusakan tatanan nasional, megawati menunjuhkan bahwa masih ada jalan untuk pulang, jalan itu adalah Pancasila, jalan kerakyatan, jalan demokrasi yang sejati. Maka tepatlah jika kita menyebutnya Penjaga Api Republik. (*)

***

*) Oleh : Shohibul Kafi, S.Fil, Pengurus Wilayah DPD KNPI D.I. Yogyakarta.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES