
TIMESINDONESIA, MALANG – Penerjemahan buku-buku Yunani, khususnya, ke dalam bahasa Arab adalah berawal dari ketertarikan umat Islam terhadap kebudayaan Yunani. Meski kegiatan penerjemahan sudah dimulai sejak masa Bani Umayyah, upaya besar-besaran untuk menerjemahkan manuskrip-manuskrip berbahasa asing, terutama bahasa Yunani dan Persia ke dalam bahasa Arab mengalami masa keemasan pada masa Bani Abbasiyah. Para ilmuwan diutus ke daerah Bizantium untuk mencari naskah-naskah Yunani dalam berbagai bidang ilmu, terutama filsafat dan kedokteran.
Masa kekhalifahan Bani Abbasiyah dikenal sebagai salah satu era keemasan dalam sejarah Islam, terutama karena kontribusinya terhadap ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan peradaban. Salah satu pencapaian monumental dari periode ini adalah gerakan penerjemahan yang menjadi jembatan penting dalam transmisi ilmu pengetahuan dari peradaban kuno ke dunia Islam, dan selanjutnya ke peradaban Barat. Gerakan penerjemahan ini dimulai secara intensif pada abad ke-8 hingga abad ke-10 M di bawah kepemimpinan para khalifah Bani Abbasiyah, khususnya Al-Ma'mun, yang sangat mendukung ilmu pengetahuan.
Advertisement
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Pada masa ini, Baitul Hikmah yang didirikan di Baghdad menjadi pusat aktivitas intelektual, di mana para sarjana dari berbagai latar belakang agama dan budaya berkumpul untuk menerjemahkan, mengkaji, dan mengembangkan teks-teks dari Yunani, Persia, India, dan peradaban lainnya. Karya-karya besar dari tokoh-tokoh seperti Aristoteles, Plato, Galen, dan Ptolemy diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, sering kali dengan tambahan komentar dan inovasi baru yang relevan dengan konteks zaman. Proses penerjemahan ini tidak hanya melibatkan penerjemahan kata-per-kata, tetapi juga adaptasi dan pengintegrasian ide-ide tersebut ke dalam kerangka pemikiran Islam.
Pelopor gerakan penerjemahan pada awal pemerintahan Bani Abbasiyah adalah khalifah al-Manshur yang juga membangun ibu kota Baghdad. Dia mempekerjakan orang-orang Persia yang baru masuk Islam seperti Nawbaht, Thrahim al-Fazari dan Ali ibn Isa untuk menerjemahkan karya-karya berbahasa Persia dalam bidang astrologi (ilmu perbintangan) yang sangat berguna bagi kafilah dagang baik melalui darat maupun laut.
Selain itu, para ilmuwan Muslim seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina, dan Al-Khwarizmi tidak hanya menerjemahkan, tetapi juga memperluas pengetahuan dengan menyumbangkan teori-teori orisinil di bidang filsafat, kedokteran, matematika, astronomi, dan ilmu lainnya. Gerakan penerjemahan ini menjadi salah satu alasan utama mengapa ilmu pengetahuan berkembang pesat di dunia Islam pada masa itu. Lebih jauh lagi, usaha ini juga menjadi fondasi bagi kebangkitan ilmu pengetahuan di Eropa ketika karya-karya ini diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Latin pada abad pertengahan. Peran gerakan penerjemahan pada masa Bani Abbasiyah menunjukkan betapa pentingnya upaya lintas budaya dan lintas ilmu untuk kemajuan peradaban manusia secara keseluruhan.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Buku tentang ketatanegaraan dan politik serta moral seperti Kalila wa Dimna dan Shindhind dalam bahasa Persia diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Selain itu, manuskrip berbahasa Yunani, seperti Logika karya Aristoteles, Almagest karya Ptolemy, Arithmetic karya Nicomachus dan Gerasa, Geometri karya Euclid juga diterjemahkan. Manuskrip-manuskrip lain baik yang berbahasa Yunani Klasik, Yunani Bizantium, Bahasa Pahlavi (Persia Pertengahan), Bahasa Neo-Persia dan bahasa Syiria juga diterjemahkan. 27 Demikian gerakan penerjemahan mencapai puncaknya pada masa al-Ma'mun (813-833 M.), yaitu pada waktu orang-orang Islam telah menerjemahkan buku-buku Yunani, Persia, dan India ke dalam bahasa mereka.
Karena para khalifah sangat menganggap penting terhadap usaha ini, maka didirikanlah lembaga khusus untuk penerjemahan para sarjana dan dokter, sehingga mereka dapat menguasai dasar-dasar ilmu pengetahuan orang Yunani dan percobaan-percobaan yang ditambahkan padanya dari pemikiran-pemikiran Persia dan India.
Tidak dapat dielakkan lagi bahwa penerjemahan karya-karya pemikiran Yunani telah menyebabkan semaraknya dunia pendidikan Islami di masa klasik, walaupun pendidikan di masa klasik tidak sekompleks pendidikan modern. Pendidikan Islami di masa klasik dapat dikatakan maju, bahkan dianggap telah mencapai masa keemasan dalam sepanjang sejarah. Dengan demikian, kegiatan penerjemahan karya-karya asing merupakan salah satu upaya agar pendidikan Islami maju dan berkembang. Karya-karya hasil terjemahan inilah yang menggugah rasa ketertarikan umat Islam untuk mempelajarinya dengan mengambil hal-hal yang sesuai dengan ajaran Islam dangerakan penerjemahan ini mencerminkan visi intelektual Bani Abbasiyah yang sangat maju. Khalifah-khalifah pada masa itu tidak hanya berperan sebagai pemimpin politik, tetapi juga sebagai patron bagi ilmu pengetahuan dan budaya. Mereka mengalokasikan anggaran besar untuk mendukung para sarjana, membangun pusat-pusat ilmu pengetahuan, dan memastikan karya-karya penting diterjemahkan agar dapat diakses lebih luas.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
*) Penulis: Dr. Kukuh Santoso, M.Pd, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam Malang (UNISMA).
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Dhina Chahyanti |
Publisher | : Rochmat Shobirin |