Kopi TIMES

Prabowo Akui Komunikasi Pemerintah Kepada Publik Masih Buruk, Inilah Urgensinya

Kamis, 17 April 2025 - 13:32 | 28.19k
Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini mengakui sesuatu yang selama ini kita semua rasakan tetapi jarang diungkapkan secara gamblang: komunikasi pemerintah masih buruk. Ini bukan sekadar kritik biasa, melainkan pengakuan resmi dari pucuk pimpinan tertinggi negeri ini. Namun, pertanyaannya bukan lagi "apakah komunikasi pemerintah buruk?" melainkan "mengapa kita membiarkannya terus terjadi, padahal dampaknya merusak demokrasi, ekonomi, dan kepercayaan publik?"

Komunikasi pemerintah yang buruk bukan sekadar soal press release yang kaku atau konferensi pers yang membosankan. Ini adalah persoalan fundamental dalam tata kelola negara. Ketika kebijakan tidak disampaikan dengan jelas, transparan, dan persuasif, yang terjadi adalah salah paham massal. Ambil contoh kebijakan kenaikan harga BBM atau pencabutan subsidi listrik. Jika pemerintah gagal menjelaskan alasan, dampak, dan mitigasinya, yang muncul bukan penerimaan, melainkan kemarahan publik. Demo di mana-mana, sentimen anti-pemerintah menguat, dan pada akhirnya, program yang sebenarnya penting justru gagal karena penolakan masyarakat.

Advertisement

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Lalu, mengapa komunikasi pemerintah harus baik? Pertama, karena demokrasi dibangun atas dasar kepercayaan. Rakyat punya hak tahu apa yang dilakukan pemimpinnya, mengapa suatu kebijakan dibuat, dan bagaimana dampaknya bagi hidup mereka. Jika informasi disampaikan setengah-setengah, penuh jargon teknis, atau bahkan kontradiktif, yang terjadi adalah krisis legitimasi. Masyarakat akan mempertanyakan: "Apa yang sebenarnya disembunyikan pemerintah?" Dan sekali kepercayaan hilang, mengembalikannya jauh lebih sulit.

Kedua, komunikasi yang buruk merugikan perekonomian. Pasar modal, nilai tukar, dan iklim investasi sangat dipengaruhi oleh bagaimana pemerintah menyampaikan kebijakan ekonominya. Ketika pernyataan pejabat berubah-ubah atau tidak jelas, pelaku usaha kebingungan. Investor asing berpikir seribu kali sebelum menanamkan modal di negara yang kebijakannya tidak pasti. Lihat saja bagaimana sentimen negatif bisa membuat IHSG anjlok atau rupiah melemah hanya karena satu pernyataan kontroversial dari pejabat.

Ketiga, komunikasi yang buruk memicu disinformasi. Di era media sosial, jika pemerintah tidak mengambil peran sebagai sumber informasi utama yang cepat, akurat, dan mudah dipahami, yang akan mengisi ruang kosong itu adalah hoaks dan narasi manipulatif. Kasus vaksinasi COVID-19 adalah contoh nyata. Karena pemerintah gagal mengkomunikasikan pentingnya vaksin dengan efektif, isu-isu konspirasi merajalela, dan akhirnya ribuan orang menolak divaksin—dengan konsekuensi kesehatan yang fatal.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Presiden Prabowo menyadari masalah ini, tapi pengakuan saja tidak cukup. Yang diperlukan sekarang adalah revolusi komunikasi pemerintah. Pertama, setiap kebijakan harus disampaikan dengan bahasa yang manusiawi, bukan birokratis. Masyarakat butuh penjelasan yang mudah dicerna, bukan sekadar copy-paste dari draft Perpres. Kedua, konsistensi adalah kunci. Jangan sampai satu menteri bilang A, menteri lain bilang B, dan presiden sendiri mengatakan C. Ketiga, pemerintah harus proaktif menjangkau publik, bukan menunggu krisis terjadi. Media sosial, podcast, atau bahkan ruang-ruang diskusi informal harus dimanfaatkan untuk membangun narasi yang jelas.

Jika tidak, konsekuensinya sudah jelas: kebijakan bagus akan ditolak, program penting gagal diimplementasikan, dan kepercayaan publik terus terkikis. Komunikasi bukan sekadar urusan humas, melainkan nyawa dari pemerintahan yang efektif. Prabowo punya pilihan: membiarkan masalah ini terus menjadi borok demokrasi, atau memimpin perubahan untuk membangun cara berkomunikasi yang lebih terbuka, cerdas, dan manusiawi. ***

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*) Penulis: Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES