Kopi TIMES

Rupiah di Ambang 17.000: Bukan Cuma Angka, Tapi Bencana yang Diam-Diam Menghancurkan!

Kamis, 17 April 2025 - 22:13 | 12.69k
Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – Nilai tukar rupiah terus merosot, mendekati angka psikologis 17.000 per dolar AS. Bagi sebagian orang, ini mungkin hanya deretan angka di layar ponsel, tapi bagi yang paham, ini adalah alarm darurat. Penyebab pelemahan rupiah tidak sederhana: defisit neraca perdagangan, ketidakpastian global, dan tingginya suku bunga AS membuat dolar mengalir deras keluar dari pasar emerging markets seperti Indonesia. Ditambah lagi, ketergantungan impor yang tinggi membuat Indonesia seperti pasien yang terus menerus transfusi darah, tetapi luka di badannya tak kunjung menutup.

Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah sikap sebagian masyarakat yang menganggap ini hal biasa. "Ah, dulu juga pernah melemah, nanti akan membaik sendiri," begitu mungkin anggapan mereka. Padahal, pelemahan rupiah bukan sekadar angka—ia adalah racun lambat yang perlahan menggerogoti daya beli, menghancurkan usaha kecil, dan memperlebar jurang kemiskinan. Jika Anda masih berpikir ini tidak berdampak pada hidup Anda, bersiaplah untuk kenyataan pahit: Anda salah besar.

Advertisement

Pertama, mari bicara tentang harga barang sehari-hari. Indonesia masih bergantung pada impor untuk banyak kebutuhan dasar, mulai dari bahan pangan seperti gandum dan kedelai hingga bahan baku industri seperti mesin dan elektronik. Ketika rupiah melemah, harga impor otomatis melambung. Efeknya? Harga mi instan, tepung, bahkan suku cadang motor yang Anda kendarai akan naik. Bagi yang berpenghasilan tetap, ini berarti uang belanja bulanan tiba-tiba tidak cukup lagi. Anda mungkin mengira kenaikan harga hanya sementara, tapi sejarah membuktikan: begitu harga naik, ia jarang turun kembali ke level sebelumnya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Kedua, pelemahan rupiah adalah pukulan telak bagi usaha kecil dan menengah (UKM). Bayangkan seorang pengusaha konveksi yang harus mengimpor kain dari luar negeri karena bahan lokal tidak memenuhi standar. Dengan rupiah yang melemah, biaya produksinya melonjak. Jika dia menaikkan harga jual, konsumen akan lari ke produk lebih murah—seringkali impor dari China yang harganya lebih kompetitif. Akhirnya, usahanya terancam bangkrut. Bagi yang bekerja di sektor ini, PHK adalah ancaman nyata. Jadi, ketika Anda membaca berita tentang gelombang pemutusan hubungan kerja, ingatlah: itu bukan hanya statistik, tapi potret nyata keluarga yang tiba-tiba kehilangan pencari nafkah.

Ketiga, daya saing Indonesia di kancah global semakin terpuruk. Investor asing akan berpikir dua kali untuk menanamkan modal di sini jika nilai rupiah terus tidak stabil. Alih-alih menciptakan lapangan kerja, kita justru melihat pabrik-pabrik baru lebih memilih Vietnam atau Thailand sebagai basis produksi. Dampaknya? Generasi muda akan semakin sulit mendapatkan pekerjaan berkualitas. Upah stagnan, sementara biaya hidup melambung—itu adalah resep sempurna untuk ledakan kemiskinan baru.

Bagi yang masih beranggapan "Saya tidak berutang dolar, jadi tidak masalah," ini saatnya membuka mata. Utang negara dalam valuta asing akan membengkak ketika dikonversi ke rupiah. Pemerintah harus mencetak lebih banyak uang atau memotong anggaran untuk membayar utang. Jika mencetak uang, inflasi akan makin menggila. Jika memotong anggaran, program subsidi dan bantuan sosial—yang jadi penyangga masyarakat miskin—bisa dikurangi. Artinya, baik langsung maupun tidak langsung, Anda akan merasakan dampaknya.

Lalu, apa solusinya? Menyalahkan pemerintah saja tidak cukup. Ini adalah krisis yang membutuhkan kesadaran kolektif. Mulailah dengan hal kecil: beli produk lokal, kurangi gaya hidup konsumtif berbasis impor, dan tekan pemimpin politik untuk membuat kebijakan yang pro-industri dalam negeri. Jika tidak, bersiaplah menghadapi masa depan di mana rupiah 17.000 bukan lagi berita mengejutkan, tapi standar baru yang membuat hidup kita semua lebih sulit.

Pelemahan rupiah bukan hanya urusan ekonom atau pengusaha—ia adalah bom waktu yang bisa meledak kapan saja di depan mata kita. Jika tetap diam dan bersikap biasa saja, sama saja dengan membiarkan diri sendiri perlahan tenggelam dalam kubangan krisis. Sudah waktunya sadar: rupiah yang lemah adalah ancaman nyata bagi masa depan bangsa. Dan pertanyaannya sekarang—apakah Anda akan terus diam, atau mulai peduli sebelum semuanya terlambat? ***

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*) Penulis: Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES