
TIMESINDONESIA, PADANG – Di tengah gelombang perubahan yang cepat, dunia kita tak lagi sama. Disrupsi digital telah mengubah lanskap ekonomi, sosial, bahkan pola pikir masyarakat. Kita hidup di zaman ketika gelar akademik tak lagi menjadi penentu utama keberhasilan. Ijazah tetap penting, namun bukan segalanya.
Bila dahulu seseorang berlomba-lomba menamatkan pendidikan tinggi demi meraih pekerjaan impian, kini realitas berkata lain. Dunia kerja tak lagi memberi jaminan pada siapa pun hanya karena ia bergelar sarjana atau magister. Yang kini dicari adalah keterampilan relevan, kemampuan berpikir kritis, dan kecepatan beradaptasi dalam menghadapi kompleksitas zaman.
Advertisement
Disrupsi yang lahir dari kemajuan teknologi informasi menciptakan berbagai profesi baru yang tak tercantum dalam silabus universitas mana pun satu dekade silam. Influencer, data analyst, UX designer, cloud architect, digital marketer, dan content creator hanyalah segelintir dari pekerjaan masa kini yang lebih menuntut portofolio ketimbang ijazah.
Seseorang yang belajar secara otodidak melalui internet, mengikuti kursus daring, atau belajar langsung dari pengalaman lapangan bisa lebih kompetitif dibanding lulusan perguruan tinggi dengan nilai akademik gemilang, tetapi tanpa problem-solving skills.
Fenomena ini kian terasa di industri teknologi dan kreatif. Perusahaan-perusahaan raksasa seperti Google, Apple, dan Tesla bahkan secara terbuka menyatakan bahwa mereka tak lagi mensyaratkan gelar akademik tertentu dalam proses rekrutmen. Sebaliknya, mereka memprioritaskan pengalaman praktis, inovasi yang pernah dihasilkan, serta kemampuan bekerja dalam tim lintas disiplin.
Kendati demikian, bukan berarti pendidikan formal kehilangan arti. Universitas tetap berperan sebagai ruang penting untuk membentuk karakter intelektual, membangun jejaring sosial, dan mengasah kemampuan berpikir mendalam.
Pendidikan tinggi juga menjadi pintu gerbang untuk memahami dasar-dasar keilmuan yang kokoh. Namun, yang perlu digarisbawahi: dunia kini bergerak jauh lebih cepat daripada sistem pendidikan itu sendiri. Apa yang diajarkan hari ini, bisa jadi tak lagi relevan besok pagi.
Maka, ijazah hanyalah tanda koma, bukan titik. Dunia kerja yang cair menuntut kita untuk terus belajar, memperbarui kompetensi, dan membuka diri pada hal-hal baru. Lifelong learning bukan sekadar jargon, tetapi kebutuhan nyata agar kita tidak tertinggal oleh zaman. Di tengah arus disrupsi, kemampuan untuk belajar ulang dan tak berhenti berinovasi menjadi nilai utama.
Bagi para pencari kerja, ini kabar baik sekaligus tantangan. Kabar baiknya, pintu kesempatan terbuka lebih lebar—tidak lagi terbatas oleh latar belakang pendidikan formal.
Tantangannya, kita tak bisa lagi bersandar pada status sebagai “lulusan universitas”. Dunia tidak menunggu siapa yang punya gelar, tetapi siapa yang bisa menjawab persoalan.
Bangsa ini pun harus mulai menata ulang cara pandangnya terhadap pendidikan. Bahwa tujuan sekolah dan kuliah bukanlah sekadar memperoleh ijazah, tetapi mengembangkan potensi diri agar mampu bertahan dan berkembang dalam dunia yang terus berubah.
Kurikulum perlu memberi ruang lebih besar pada kreativitas, kolaborasi, dan pengembangan soft skills. Sekolah dan kampus harus menjadi ekosistem pembelajar yang fleksibel, bukan sekadar pabrik ijazah.
Karena pada akhirnya, bukan ijazah yang mengangkat seseorang, melainkan kompetensinya. Bukan gelar yang membuka jalan hidup, melainkan ketekunan, ketangguhan, dan semangat untuk terus belajar. Di era disrupsi ini, hanya mereka yang tangkas dan terbuka terhadap perubahan yang akan bertahan-dengan atau tanpa ijazah.
***
*) Oleh : Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |