Kopi TIMES

Tafsir Sosial atas Nikah Batin Walid

Minggu, 20 April 2025 - 08:02 | 70.49k
Ulyan Nasri, Penulis Buku, Author Artikel Bereputasi, Editor Buku, Ketua LPPM dan Dosen Tetap Institut Agama Islam Hamzanwadi NW Lombok Timur
Ulyan Nasri, Penulis Buku, Author Artikel Bereputasi, Editor Buku, Ketua LPPM dan Dosen Tetap Institut Agama Islam Hamzanwadi NW Lombok Timur
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, LOMBOK TIMUR – Tatkala layar kaca dan lini masa bersatu menyulut wacana, sosok Walid mencuat, menembus kesadaran kolektif dengan getir dan teka-teki. Di tengah pusaran algoritma dan gelombang viralitas, muncullah nama yang menjelma bayang-bayang gelap spiritualitas: Walid. 

Ia Bukanlah sekadar tokoh fiktif, Walid dari serial Bidaah menjelma menjadi simbol kritik tajam terhadap wajah keagamaan yang penuh ilusi. Ia bukan sekadar karakteria adalah peringatan. 

Advertisement

Serial Bidaah yang mulai tayang sejak 6 Maret 2025 ini memang mengguncang. Bukan hanya karena akting Faizal Hussein yang memukau sebagai Walid, tapi karena narasinya membedah luka lama umat: penyimpangan agama yang dikemas dalam kemasan kesalehan. 

Walid, sang pemimpin kultus keagamaan Jihad Ummah, menciptakan distorsi spiritual melalui nikah batin, sebuah praktik yang katanya sakral tapi sejatinya menyimpang dari Syariat yang murni.

Agama Dibungkus Nafsu: Ketika Syariat Dikhianati oleh Syahwat

Nikah batin dalam serial ini bukanlah refleksi dari nilai-nilai Islam. Ia bukan bentuk ibadah, melainkan bentuk kekerasan simbolik yang membungkus syahwat dengan selimut dalil. 

Walid mengklaim dirinya sebagai Imam Mahdi sebuah gelar suci yang di tangan para sufi dan ulama sejati, menjadi simbol keadilan dan pembebasan. Tapi di tangan Walid, gelar ini menjadi senjata psikologis, membius para perempuan muda yang rapuh, lalu menyentuh mereka bukan dengan kasih sayang, tapi dengan tipu daya.

Kalimat-kalimat seperti, Pejamkan mata, bayangkan muka Walid atau Walid nak Dewi boleh? terdengar ringan di telinga, tapi dalam konteks spiritual, ia adalah jeritan batin dari realitas yang disesatkan. 

Serial ini menyuguhkan kritik keras: bahwa seringkali, dalam dunia nyata, kebenaran agama bisa dipelintir oleh mereka yang pandai bersilat lidahdan umat, yang haus pegangan, bisa saja jatuh ke pelukan mereka tanpa sadar.

Bidaah: Antara Realita dan Representasi

Dari sudut pandang akademik, serial Bidaah bisa dibaca sebagai bentuk kritik sosial-religius yang canggih. Ia mengangkat isu kontemporer: eksploitasi agama oleh figur kharismatik. Ini bukan tema baru dalam literatur klasik Islam, para ulama telah mewanti-wanti munculnya golongan zindiq bersorban.

Mereka yang menyusup ke ruang keagamaan dengan agenda personal. Dalam istilah Imam al-Ghazali, mereka adalah ahl al-dunya bi libas al-din pencinta dunia yang menyamar sebagai pencinta Tuhan.

Secara sosiologis, Bidaah menyentuh fenomena sektarianisme dan cult of personality. Ia memperlihatkan betapa tipisnya batas antara ustaz kharismatik dan pemimpin kultus.

Dalam era media sosial, di mana retorika lebih diutamakan daripada isi, Walid menjadi contoh sempurna bagaimana citra bisa menipu.

Ketika Layar Kaca Menjadi Cermin

Kritik puitis yang muncul dari serial ini justru bukan dari naskah atau visualnya, tapi dari reaksi publik. Meme tentang Walid yang menyebar seperti virus, bukan sekadar lelucon. Ia adalah cara masyarakat kita menyikapi trauma dengan humor. 

Tapi jangan salah: di balik tawa, ada ketakutan kolektif. Ada kesadaran bahwa Walid bisa saja ada di sekitar kita. Ia bisa berpakaian sopan, berbicara lembut, mengutip ayat, tapi menyimpan niat yang bertentangan dengan ruh Syariat.

Serial Bidaah bukan sekadar tontonan. Ia adalah bahan renungan. Ia mengajarkan bahwa keimanan harus disertai dengan ilmu, bahwa spiritualitas harus berpijak pada akal sehat dan keberanian untuk bertanya.

Islam bukan agama yang membungkam, tapi yang mengajak berpikir. Ketika seorang guru menyuruh jangan tanya, cukup patuh, maka di situlah alarm harus berbunyi.

Doa dan Duka

Di akhir episodedan akhir refleksi ini kita hanya bisa berharap satu hal: semoga umat tak lagi tertipu oleh kilau palsu. Semoga setiap Walid yang muncul, bisa dikenali sebelum ia mencuri jiwa dan akal kita. 

Semoga syariat tetap suci, tidak ternoda oleh hasrat yang menyaru dalam jubah suci. Karena agama bukan panggung untuk memainkan peran. Ia adalah jalan pulang bagi jiwa yang lelahbukan jebakan bagi hati yang percaya.

***

*) Oleh : Ulyan Nasri, Penulis Buku, Author Artikel Bereputasi, Editor Buku, Ketua LPPM dan Dosen Tetap Institut Agama Islam Hamzanwadi NW Lombok Timur.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

 

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES