Kopi TIMES

Misi Besar Indonesia di Balik Diplomasi Prabowo

Minggu, 20 April 2025 - 09:55 | 23.74k
Abdullah Fakih Hilmi AH, S.AP., Akademisi dan Wirausahawan
Abdullah Fakih Hilmi AH, S.AP., Akademisi dan Wirausahawan
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Kunjungan luar negeri Prabowo Subianto ke berbagai negara pasca-kemenangannya dalam Pilpres 2024 bukan sekadar safari politik biasa. Di balik deretan pertemuan diplomatik, tersirat pesan strategis tentang arah baru kebijakan luar negeri Indonesia dalam lima tahun ke depan. 

Prabowo tak hanya memperkenalkan dirinya sebagai presiden terpilih, tapi juga membawa sinyal bahwa Indonesia ingin tampil lebih aktif dan percaya diri di panggung global.

Advertisement

Langkah pertama yang menjadi sorotan adalah kunjungan ke Tiongkok. Dalam pertemuan dengan Presiden Xi Jinping, Prabowo mempertegas pentingnya hubungan bilateral yang saling menguntungkan. 

Ia menekankan komitmen Indonesia dalam menjaga stabilitas kawasan dan membuka peluang kerja sama di bidang teknologi pertahanan, energi, dan infrastruktur. Ini menandakan bahwa pemerintahan baru ingin tetap menjaga kemitraan strategis dengan Tiongkok, tanpa kehilangan kemandirian nasional.

Namun, hubungan dengan Tiongkok bukan tanpa tantangan. Sengketa di Laut Cina Selatan dan kekhawatiran akan dominasi ekonomi menjadi catatan penting. Dalam konteks ini, Prabowo tampaknya ingin menyeimbangkan hubungan dengan memperluas diplomasi ke negara-negara lain yang juga berpengaruh secara global, termasuk Amerika Serikat, Jepang, dan negara-negara Teluk.

Kunjungan ke Jepang dan Korea Selatan menjadi indikasi kuat bahwa Prabowo ingin menegaskan komitmen Indonesia dalam menjaga stabilitas Indo-Pasifik. Dalam pertemuan dengan Perdana Menteri Jepang, Prabowo menyoroti kerja sama keamanan maritim dan penguatan rantai pasok industri. Indonesia ingin dilihat bukan hanya sebagai mitra dagang, tetapi juga sebagai kekuatan penyeimbang dalam dinamika geopolitik regional.

Sementara itu, agenda di Timur Tengah, terutama Uni Emirat Arab dan Arab Saudi, menunjukkan pendekatan diplomasi ekonomi yang agresif. Prabowo tidak hanya membawa misi investasi, tetapi juga menggarisbawahi pentingnya peran Indonesia sebagai negara mayoritas Muslim yang moderat dan terbuka. Ini adalah sinyal penting bagi dunia Islam: bahwa Indonesia siap menjadi jembatan antara Timur dan Barat.

Isu pertahanan juga muncul sebagai benang merah dalam setiap kunjungan. Prabowo, dengan latar belakang militernya, tampaknya ingin membangun ekosistem pertahanan yang kuat dan mandiri, namun tetap terbuka terhadap kolaborasi teknologi dari luar.

Dalam pertemuan dengan produsen alutsista di Prancis dan Jerman, misalnya, ia menegaskan keinginan Indonesia untuk tidak hanya menjadi pasar, tetapi juga produsen bersama.

Kunjungan ke Rusia menambah dimensi lain dalam diplomasi luar negeri Prabowo. Di tengah konflik global yang melibatkan Moskow, keputusan untuk tetap menjalin komunikasi dengan Rusia menandakan bahwa Indonesia masih memegang prinsip non-blok yang aktif. Ini adalah kelanjutan dari politik bebas aktif yang telah menjadi ciri khas Indonesia sejak era Soekarno.

Prabowo tampaknya ingin memposisikan Indonesia sebagai kekuatan menengah (middle power) yang mampu berdialog dengan semua kutub kekuatan dunia. Tidak ada keberpihakan mutlak, yang ada adalah kepentingan nasional yang dijaga melalui diplomasi aktif dan fleksibel. Pendekatan ini memberikan ruang bagi Indonesia untuk memainkan peran mediasi dalam konflik global yang semakin kompleks.

Selain aspek geopolitik, diplomasi ekonomi menjadi pilar utama dalam setiap kunjungan. Prabowo membawa pesan bahwa Indonesia terbuka terhadap investasi, tetapi juga menginginkan transfer teknologi dan penguatan industri dalam negeri. Ia menawarkan peluang di sektor hilirisasi, energi hijau, dan digitalisasi sebagai jalan menuju lompatan ekonomi.

Diplomasi yang dilakukan Prabowo juga memuat pesan moral. Ia menegaskan pentingnya tata kelola global yang adil dan inklusif. Dalam beberapa kesempatan, ia menyuarakan dukungan terhadap perjuangan Palestina, keberlanjutan lingkungan, dan penanggulangan kemiskinan global. Ini mencerminkan posisi Indonesia sebagai negara demokrasi besar di dunia berkembang.

Namun, semua misi ini tidak lepas dari tantangan. Internasionalisasi agenda nasional menuntut konsistensi di dalam negeri: birokrasi yang efisien, regulasi yang pasti, dan stabilitas politik. Dunia akan menilai Indonesia bukan hanya dari retorika diplomatik, tetapi juga dari implementasi nyata di lapangan.

Agenda besar Prabowo juga harus mampu menyentuh rakyat. Diplomasi luar negeri yang efektif harus bisa berdampak pada kesejahteraan masyarakat: lapangan kerja, harga bahan pokok, dan akses terhadap teknologi. Tanpa itu, diplomasi akan dianggap elitis dan jauh dari realitas.

Dengan reputasi sebagai tokoh nasionalis, Prabowo memikul ekspektasi besar untuk menjaga kedaulatan nasional. Namun di era globalisasi, kedaulatan tak lagi identik dengan isolasi. Justru sebaliknya, kedaulatan dijaga melalui kemampuan berinteraksi dan bernegosiasi secara cerdas di arena global.

Keterlibatan Prabowo dalam forum multilateral seperti ASEAN, G20, dan PBB akan menjadi ujian berikutnya. Dunia ingin melihat apakah Indonesia bisa memainkan peran konstruktif dalam menyelesaikan krisis global seperti perubahan iklim, ketegangan geopolitik, dan ketimpangan ekonomi.

Penting juga dicatat bahwa diplomasi ini bukan proyek jangka pendek. Ia membutuhkan kesinambungan, strategi lintas kementerian, dan dukungan publik. Dalam hal ini, transparansi dan komunikasi publik akan menjadi kunci keberhasilan. Rakyat harus tahu dan terlibat dalam diplomasi negara.

Media juga berperan besar dalam mengawal narasi ini. Opini publik harus dibangun dengan data, konteks, dan visi masa depan. Prabowo, sebagai pemimpin baru, memiliki peluang untuk membentuk paradigma baru dalam hubungan luar negeri Indonesia: lebih dinamis, lebih strategis, dan lebih berdampak.

Indonesia berada di persimpangan sejarah: antara menjadi negara berkembang terbesar atau kekuatan global baru dari selatan dunia. Diplomasi yang aktif dan berani menjadi salah satu kendaraan utama menuju cita-cita itu.

Namun diplomasi bukan sekadar perjalanan antarnegara. Ia adalah seni mengelola persepsi, membangun kepercayaan, dan menciptakan sinergi. Dalam konteks ini, Prabowo telah memulai dengan langkah yang ambisius namun terukur.

Jika agenda besar ini terus dijalankan dengan konsisten dan inklusif, Indonesia tidak hanya akan dikenal sebagai negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara, tetapi juga sebagai kekuatan diplomatik yang diperhitungkan di dunia.

Yang jelas, dunia sedang memperhatikan. Dan kini, giliran Indonesia menunjukkan kelasnya. (*)

***

*) Oleh : Abdullah Fakih Hilmi AH, S.AP., Akademisi dan Wirausahawan.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES