Kopi TIMES

Guru Ngaji Itu Kartini Masa Kini

Minggu, 20 April 2025 - 21:19 | 33.18k
Heri Cahyo Bagus Setiawan, Dosen Pengajar MSDM di FEB Universitas Negeri Surabaya & Direktur Utama PT Riset Manajemen Indonesia
Heri Cahyo Bagus Setiawan, Dosen Pengajar MSDM di FEB Universitas Negeri Surabaya & Direktur Utama PT Riset Manajemen Indonesia
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Di sudut-sudut perkampungan, bukan hanya di mushala kecil atau langgar tua, tetapi di ruang tamu rumah-rumah sederhana yang dipenuhi ketulusan, hadir sosok perempuan berselendang tenang, bermata jernih penuh kasih. Ia menyingkirkan kursi demi membentangkan tikar, merapikan rak buku agar cukup ruang untuk anak-anak duduk melingkar. 

Ruang sempit itu, yang sejatinya adalah bagian dari rumah pribadinya, ia sulap menjadi taman belajar, tempat huruf-huruf hijaiyah bergema, doa-doa ditanam, dan akhlak mulai bertunas. 

Advertisement

Ia bukan tokoh nasional, tidak pernah tampil di televisi, bahkan mungkin tidak dikenal di luar lingkungannya. Tapi ia adalah guru ngaji. Ia adalah Kartini masa kini, pejuang yang memilih jalan sunyi namun agung: mengajarkan ilmu dan iman dari dalam rumahnya sendiri.

Dalam perayaan Hari Kartini yang tiap tahun disemarakkan dengan kebaya dan lomba-lomba bertema emansipasi, kita sering lupa bahwa semangat Kartini bukan hanya soal keberanian bicara atau kesetaraan akses pendidikan formal. 

Kartini adalah simbol perempuan yang mencintai ilmu, menghidupkan cahaya di tengah gelapnya keterbatasan. Maka, apakah yang lebih relevan dari sosok guru ngaji perempuan yang setiap hari menyalakan cahaya di dada-dada kecil muridnya, dalam sunyi dan pengabdian?

Guru ngaji perempuan bukan hanya pengajar; mereka adalah penjaga nilai. Di tengah gempuran budaya instan dan derasnya arus digital, mereka tetap mengajarkan adab sebelum ilmu, menghormati guru sebelum mengejar gelar. 

Dalam dunia yang makin materialistik, para guru ngaji memilih jalan zuhud, mengajar tanpa mengharap upah, memberi bukan karena lebih, tapi karena cinta yang tidak bisa dihitung.

Sebagian dari mereka hidup dalam keterbatasan ekonomi. Namun, sebagaimana yang disampaikan oleh Amartya Sen dalam capability approach, martabat manusia tidak semata diukur dari aset material, melainkan dari kemampuannya untuk menjadi dan melakukan sesuatu yang dianggap bernilai oleh dirinya sendiri. 

Para guru ngaji perempuan itu memilih untuk menjadi sumber cahaya, menjadi jembatan ilmu, menjadi pengawal nilai, meski dari ruang rumah yang tidak megah dan tanpa sokongan struktural. Mereka membuktikan bahwa keterbatasan bukanlah tembok bagi keberdayaan, melainkan pintu masuk menuju bentuk pengabdian yang murni dan luhur.

Lebih jauh, bila kita menengok pemikiran Pierre Bourdieu, para guru ngaji perempuan ini sesungguhnya sedang membangun dan mentransmisikan modal kultural dan modal simbolik, nilai-nilai luhur, kebajikan, dan pengetahuan agama yang justru menjadi kekuatan tak kasat mata dalam membentuk masyarakat yang lebih beradab. 

Walau tanpa dukungan modal ekonomi yang kuat, mereka memiliki kekayaan makna dan kehormatan sosial yang tumbuh dari dedikasi, bukan dari gelar atau pangkat.

Mereka tidak hanya mengajar; mereka membangun peradaban. Rumah-rumah yang semula hanya ruang tinggal, kini menjelma menjadi ruang belajar yang hidup. Dari situ mereka menanam semangat Islam yang rahmatan lil ‘alamin, bukan hanya lewat hafalan ayat, tetapi lewat teladan kelembutan, ketekunan, dan kasih sayang. 

Seperti Kartini yang menulis surat-surat penuh cita untuk membuka cakrawala kaum perempuan, para guru ngaji perempuan hari ini juga “menulis”, bukan di kertas, tetapi di jiwa. Dalam tiap lafaz yang mereka ajarkan, dalam tiap doa yang mereka iringi, tertulis visi tentang masa depan yang lebih terang.

Perempuan-perempuan ini memperjuangkan kemuliaan bukan dengan jargon, tetapi dengan teladan. Bahwa menjadi ibu, istri, dan guru bisa menyatu dalam satu tubuh yang lapang dan mulia. 

Mereka menolak untuk “dilihat kecil”, bahkan ketika mereka memilih ruang terkecil sekalipun untuk mengajar. Bahkan di saat sebagian orang memandang bahwa peran ulama adalah dominasi kaum pria, guru ngaji perempuan membuktikan bahwa perempuan bisa menjadi murobbi, pendidik sejati, dalam bingkai Islam yang agung.

Dalam Islam, menuntut ilmu adalah kewajiban bagi laki-laki dan perempuan. Maka mengajarkan ilmu, apalagi ilmu agama, adalah amal jariyah yang derajatnya tinggi di sisi Allah. 

Nabi Muhammad SAW bersabda, "Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al-Qur'an dan mengajarkannya." Dan para guru ngaji perempuan itulah teladan nyata sabda Nabi itu, hadir di setiap dusun, setiap lorong kota, di dalam ruang rumah mereka yang sederhana namun sarat cahaya.

Namun, kita patut merenung: sudahkah kita cukup menghormati dan mendukung mereka? Apakah kita hanya memuliakan sosok Kartini yang telah tiada, namun abai pada Kartini masa kini yang hidup di sekitar kita? Kita yang hidup di zaman serba visual ini sering silau pada pencapaian yang glamor, tetapi lupa menghargai perjuangan yang sunyi dan tidak terlihat.

Kini saatnya negara dan masyarakat memberi perhatian yang lebih tulus dan sistematis bagi para guru ngaji, terutama yang perempuan. Bukan hanya dalam bentuk bantuan finansial atau pelatihan, tetapi juga pengakuan sosial yang lebih bermartabat. 

Pemerintah bisa menghadirkan program insentif bagi rumah-rumah belajar informal, mendata mereka sebagai bagian dari ekosistem pendidikan keagamaan, dan membangun jejaring komunitas penguatan kapasitas. Institusi pendidikan tinggi, termasuk kampus-kampus Islam, dapat menjadikan para guru ngaji sebagai mitra strategis dalam program pengabdian masyarakat.

Kita juga perlu mulai membentuk budaya penghormatan yang nyata, bukan sekadar simbolik. Sebab dari rumah-rumah itulah lahir generasi baru yang membawa nilai, adab, dan cahaya. Dan dari tangan-tangan mereka yang lembut namun teguh.

Kita belajar bahwa peradaban tidak selalu dibangun dari panggung besar, kadang justru dari selembar tikar, secangkir teh, dan suara lirih yang membacakan: Iqra’ bismi Rabbikalladzi khalaq. Bacalah, wahai anak-anak, demi Tuhanmu yang menciptakan.

***

*) Oleh : Heri Cahyo Bagus Setiawan, Dosen Pengajar MSDM di FEB Universitas Negeri Surabaya & Direktur Utama PT Riset Manajemen Indonesia.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES