
TIMESINDONESIA, SURABAYA – Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek), saat ini sedang melakukan revisi Permendikbudristek 44/2024 tentang profesi, karier, dan penghasilan dosen. Jika dilihat dari komposisi tim kerja, tampak tidak ada keterwakilan yang memadai. Maka pertanyaannya adalah bisakah tim tersebut mewakili suara beragam dosen dari berbagai bentuk PTN dan PTS.
Saat ini terdapat dua pola karier dosen, bagi dosen Aparatur Sipil Negara (ASN) berlaku pola sebagaimana yang sudah ditetapkan pasca diundangkannya PermenPANRB 1/2023 tentang Jabatan Fungsional. Karier dosen ASN didasarkan pada angka kredit konversi predikat kinerja Sasaran Kinerja Pegawai (SKP). Sedangkan bagi dosen non ASN masih berlaku pola lama, kenaikan jabatan dilakukan dengan penyusunan Daftar Usulan Penetapan Angka Kredit (DUPAK).
Advertisement
PermenPANRB 1/2023 dianggap sebagai jawaban atas beban administrasi dosen yang harus menyusun DUPAK. Namun, ada masalah besar dengan pola angka kredit konversi SKP. Masa tunggu kenaikan jabatan menjadi semakin panjang.
Kenaikan jabatan dari asisten ahli ke lektor membutuhkan waktu empat tahun dengan predikat SKP baik. Lektor ke lektor kepala membutuhkan waktu delapan tahun, lektor kepala ke profesor membutuhkan waktu dua belas tahun.
Selain masa tunggu yang lama, pola karier berbasis SKP menimbulkan kegelisahan bagi dosen ASN terkait penilaiannya. Integritas atasan langsung dalam menilai SKP secara obyektif, adil, dan transparan, dipertanyakan. Tidak sedikit yang mengkawatirkan munculnya like and dislike yang berpotensi menimbulkan kecemburuan dan konflik internal.
Terkait penghasilan dosen, santer tuntutan pembayaran tunjangan kinerja oleh dosen ASN Kemdiktisaintek. Kini telah ada payung hukum berupa Perpres 19/2025 dan Permendiktisaintek 23/2025 yang mengatur tunjangan kinerja pegawai Kemdiktisaintek. Namun masih ada permasalahan yaitu pengecualian dosen ASN di PTN BLU yang telah menerapkan remunerasi dan PTN BH. Padahal masih ada PTN BLU dan PTN BH yang tidak memberikan remunerasi setara tunjangan kinerja. Juga masalah utang tunjangan kinerja dari tahun 2020 sampai tahun 2024 yang belum dibayar oleh pemerintah.
Sayangnya segerombolan PTN BLU dan PTN BH patut diduga melakukan upaya-upaya tidak etis dalam menyikapi Perpres 19/2025 dan Permendiktisaintek 23/2025. Mereka diduga mengusulkan kepada kementerian agar tunjangan kinerja hanya dibayarkan di angka 70 persen saja. Ketidakmampuan atau ketidakmauan mereka membayar remunerasi bagi dosennya menjadi alibi menggembosi semangat meningkatkan kesejahteraan dosen.
Nasib yang sama juga dialami oleh dosen non ASN. Tidak ada standar gaji yang jelas. Tentu kita sudah maklum dengan informasi kurang layaknya gaji dosen non ASN ini. Masih ada dosen dibayar per sks atau per pertemuan dengan nominal yang mengenaskan.
Upaya Perbaikan Penghasilan Dosen
Regulasi ketenagakerjaan hendaknya dapat berperan dalam memberikan jaminan penghasilan dosen non ASN. Terlebih jika revisi Permendikbudristek 44/2024, pasal 51 ayat 2 dapat diubah menjadi “besaran gaji pokok dan tunjangan yang melekat pada gaji di atas upah minimum kabupaten/kota”.
Pemerintah juga berperan dalam menjamin penghasilan dosen non ASN melalui pemberian tunjangan profesi. Regulasi yang sudah berjalan hendaknya dapat dipertahankan. Kuota tahunan sertifikasi dosen perlu ditingkatkan sehingga masa tunggu mengikuti sertifikasi dapat dipangkas. Pasal yang mengatur masa tunggu maksimal harus diatur.
Amanat UU 14/2005 tentang guru dan dosen yang belum dilaksanakan adalah pemberian subsidi tunjangan fungsional kepada dosen non ASN. Maka, sudah selayaknya subsidi tunjangan fungsional ini masuk dalam revisi Permendikbudristek 44/2024. Termasuk juga besarannya yang sejak era Presiden SBY di tahun 2007 belum dilakukan penyesuaian.
Pengecualian tunjangan kinerja dosen ASN di PTN BLU dan PTN BH yang telah menerapkan remunerasi perlu diberikan jaminan perlindungan. Seharusnya ada klausul yang mengatur PTN BLU dan PTN BH wajib memberikan remunerasi sebesar tunjangan kinerja yang berlaku di Kemdiktisaintek. Jika tidak mampu, alih status menjadi PTN satuan kerja layak diambil.
Terobosan Karier Dosen ASN
Skenario pertama adalah dengan memberikan angka kredit tambahan bagi dosen yang menghasilkan publikasi. Berkaca pada angka kredit tambahan bagi dosen yang meraih pendidikan, sebesar 25 persen dari kebutuhan angka kredit kenaikan pangkat.
Setiap tahun, dosen yang menghasilkan publikasi diberikan angka kredit tambahan. Skenario ini dapat memangkas masa tunggu menjadi separuhnya.
Skenario kedua adalah dengan memisahkan jabatan akademik dan jabatan fungsional bagi dosen ASN. Selama ini ada tumpang tindih diksi antara jabatan akademik dan jabatan fungsional. Maka alangkah eloknya jika keduanya dipisahkan. Sebagai profesi, dosen menggunakan istilah jabatan akademik.
Karier jabatan akademik dosen dapat melesat sebagaimana peraturan lama. Dosen ASN sebagaimana dosen non ASN, menyusun DUPAK. Semakin produktif dosen, maka kariernya semakin melesat, bahkan bisa loncat jabatan akademik.
Dua skenario ini sangatlah layak untuk menjadi perhatian Kemdiktisaintek. Upaya harmonisasi baik vertikal maupun horizontal perlu dilakukan. Aturan lex specialis dosen ASN sudah selayaknya harus dibuat. Selamat bekerja tim evaluasi Permendikbudristek 44/2024. Kami titipkan asa kepadamu. (*)
***
Oleh: Slamet Widodo, anggota Aliansi Dosen ASN Kemdiktisaintek Seluruh Indonesia (ADAKSI)
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |