Kopi TIMES

Perempuan dan Luka Kemajuan

Senin, 21 April 2025 - 09:44 | 49.50k
Siti Zullaicha, Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi Universitas Sahid Jakarta dan Pegiat Komunitas Perempuan Ungu
Siti Zullaicha, Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi Universitas Sahid Jakarta dan Pegiat Komunitas Perempuan Ungu
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Seringnya ketika merayakan Hari Kartini setiap tanggal 21 April, Bangsa kita menggunakan sebagai momen nostalgia atau penghormatan seremonial. Kita diajak mengenang sosok perempuan Jawa yang menolak tunduk pada kebisuan, yang berani menulis lantang saat dunia menyuruhnya diam. Tapi di tengah perayaan dan parade kebaya itu, masihkah semangat Kartini utuh di tengah keseharian perempuan hari ini?

Di era digital, perempuan menghadapi tantangan yang berbeda bukan hanya dari luar, tetapi juga dari dalam dirinya sendiri. Perempuan kini bisa bersekolah, bekerja, menduduki jabatan strategis, bahkan memimpin negara. Namun, bentuk-bentuk ketidakadilan terhadap perempuan pun seraya berubah rupa. 

Advertisement

Fenomena yang mengemuka adalah eksploitasi diri perempuan yang dibungkus dalam istilah “pilihan”, “kebebasan”, bahkan “pemberdayaan”. Tubuh, relasi, luka pribadi, hingga citra sebagai korban sering kali dijadikan alat untuk meraih perhatian, pengaruh, atau validasi sosial. Apa yang dahulu disebut penindasan, kini tampil dalam wajah kemerdekaan.

Kartini mungkin tidak akan pernah menduga belenggu yang dulu tampil pada batasan pendidikan, pilihan jodoh, atau ketidakberdayaan otonomi itu berubah menjadi alat dagang algoritma. Fenomena ini hadir dalam banyak wajah. 

Seorang perempuan menjadi viral karena berseteru di media sosial, membuka kisah hubungan gelap dengan pejabat, memamerkan gaya hidup mewah, atau memonopoli citra sebagai “korban” untuk mengumpulkan simpati. 

Kadang atas nama kebebasan, kadang atas nama pemberdayaan. Tapi benarkah itu kebebasan? Ataukah hanya bentuk baru dari penjajahan yang lebih halus di mana perempuan “rela” menjadikan dirinya tontonan, asal diakui dan dipuja.

Kartini memperjuangkan perempuan sebagai manusia utuh berakal, merdeka, dan bermartabat. Ia tidak ingin perempuan hanya menjadi pelengkap, apalagi objek. Ia menulis, berpikir, berdialog dengan dunia luar. 

Ia menolak tradisi yang membungkam, tetapi tidak mengeksploitasi dirinya untuk dibebaskan. Dalam surat-suratnya, ia bicara tentang pendidikan sebagai pintu perubahan, bukan popularitas. Tentang berpikir bebas, bukan sekadar tampil bebas.

Dalam salah satu suratnya Kartini menulis: "Jika saja masih anak-anak ketika kata-kata "Emansipasi" belum ada bunyinya, belum berarti lagi bagi pendengaran saya, karangan dan kitab-kitab tentang kebangunan kaum putri masih jauh dari angan-angan saja, tetapi dikala itu telah hidup didalam hati sanubarai saya satu keinginan yang kian lama kian kuat, ialah keinginan akan bebas, merdeka, berdiri sendiri" (Surat Kartini kepada Nona Zeehandelaar, 25 Mei 1899).

Ironisnya, hari ini sebagian perempuan justru menggunakan ruang kebebasan untuk mengulangi logika patriarki: bahwa nilai seorang perempuan terletak pada daya tariknya, bukan daya pikirnya. Eksploitasi yang dulu dilakukan oleh sistem, kini dijalankan dengan sukarela oleh diri sendiri. 

Kita menyebutnya pilihan tapi sering kali itu adalah pilihan yang dibentuk oleh sistem yang tidak benar-benar menginginkan perempuan menjadi merdeka. Kontrol bukan lagi dari keluarga atau adat, tapi dari sistem digital yang menilai berdasarkan jumlah klik, like, dan followers.

Apakah ini tidak melukai perjuangan Kartini? Luka yang ketika perempuan seharusnya menjadi suara perlawanan, justru ikut melanggengkan budaya sensasionalisme. 

Ketika kisah personal jadi komoditas, dan perempuan lain belajar bahwa cara untuk didengar adalah dengan menjadi viral tapi kehilangan arah tentang apa artinya berdaya, tanpa sadar kita sedang menciptakan ilusi kemajuan.

Emansipasi atau Bentuk Baru dari Eksploitasi?

Semangat emansipasi tidak pernah berarti kebebasan tanpa kesadaran. Emansipasi sejati bukan tentang seberapa besar pengaruh atau seberapa banyak eksposur, melainkan tentang seberapa jujur dan utuh seseorang menjalani hidupnya sebagai perempuan yang merdeka. 

Merdeka dari tekanan luar, dan lebih penting lagi, merdeka dari jebakan dalam diri sendiri jika tidak, kebebasan yang dijalani bisa menjadi jerat yang lebih halus. Mampu memilih dengan sadar: apa yang ditampilkan, apa yang disuarakan, dan apa yang menjadi tujuan. 

Perjuangan Kartini tidak lantas usai saat pintu sekolah dibuka untuk perempuan. Perjuangan itu terus hidup dalam keberanian untuk berkata tidak pada apa pun yang mereduksi nilai perempuan termasuk dari dalam perempuan itu sendiri. 

Maka tugas perempuan bukan sekadar mengenang, melainkan meneruskan: dengan berpikir, bersikap, dan bertindak sebagai perempuan yang tak ingin jadi boneka, meski berbalut kebebasan.

Jika luka dulu datang dari pingitan, maka luka hari ini datang dari keterbukaan yang tidak bijak. Dan jika emansipasi pernah membawa harapan, kini saatnya kita waspada agar ia tidak menjelma menjadi topeng dari eksploitasi yang lebih dalam. 

Kartini tidak pernah meminta kita menjadi sempurna. Ia hanya ingin perempuan diberi ruang untuk berpikir dan bermimpi. Maka tugas kita hari ini adalah melanjutkan semangat itu—dengan cara yang jujur, sadar, dan berpihak pada martabat. (*)

***

*) Oleh : Siti Zullaicha, Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi Universitas Sahid Jakarta dan Pegiat Komunitas Perempuan Ungu.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES