
TIMESINDONESIA, BONDOWOSO – Di tengah budaya patriarki yang masih mencengkeram banyak lini kehidupan dari dunia kerja, rumah tangga, hingga representasi di media perjuangan perempuan terus berlangsung. Tapi tidak semua perlawanan datang dalam bentuk orasi atau demonstrasi.
Ada pula perlawanan yang halus, tenang, namun tajam dan mengguncang. Perlawanan yang datang dari dalam cerita-cerita fiksi, yang tampak ringan tapi sesungguhnya sarat makna. Inilah yang kita temukan dalam karya-karya Ika Natassa.
Advertisement
Isu sosial-politik sering kita temui dalam karya Okky Madasari atau Leila S. Chudori. Tapi kalau bicara soal pemberdayaan perempuan, nama Ika Natassa patut disebut. Ia seorang banker dan juga penulis novel populer bergenre chicklit.
Karier menulisnya dimulai pada tahun 2006. Novel pertamanya, A Very Yuppy Wedding, rilis tahun 2007 dan terpilih sebagai “Editor’s Choice” versi Cosmopolitan Indonesia di tahun 2008. Di tahun yang sama, namanya masuk nominasi Penghargaan Sastra Khatulistiwa.
Karya Ika yang sangat dikenal adalah Twivortiare dan Twivortiare 2. Uniknya, dua novel itu awalnya ditulis melalui Twitter. Karakter perempuan dalam novel-novelnya selalu kuat dan memikat. Mereka cerdas, mandiri, dan tahu apa yang mereka mau.
Mereka tidak sempurna, tapi justru dari celah-celah itu muncul kekuatan yang nyata. Di situlah Ika menyelipkan gagasan penting: perempuan tidak harus tunduk pada harapan sosial yang kerap timpang. Mereka bisa dan berhak mendefinisikan hidup mereka sendiri.
Ika Natassa menulis tentang perempuan yang melawan patriarki, tapi bukan lewat jalan yang bising. Tidak lewat teriakan atau demonstrasi. Perlawanan yang ia bangun terasa halus tapi dalam, menyusup melalui pilihan hidup tokohnya melalui pekerjaan, sikap, dan keberanian menentukan arah hidup sendiri.
Kita bisa melihatnya dalam karakter Alexandra Rhea, seorang banker perempuan yang berkarier di dunia kerja maskulin. Dunia yang biasa mengagungkan ambisi laki-laki. Tapi Alex tidak tunduk. Ia tetap menjadi dirinya.
Ia tidak perlu melembutkan sikap agar diterima. Ia juga tidak menjadikan pernikahan sebagai ukuran sukses. Baginya, karier dan cinta bisa sejajar. Atau bahkan memilih salah satunya pun sah. Dan tak ada yang salah dari itu.
Raia dalam The Architecture of Love membawa perlawanan yang berbeda. Ia bercerai, lalu pindah ke New York. Dalam banyak budaya, perceraian masih dianggap sebagai kegagalan perempuan. Tapi Raia tidak larut dalam rasa bersalah.
Ia menulis, berkarya, dan menyusun ulang hidupnya. Ia percaya bahwa bahagia adalah hak, dan perempuan tidak harus bertahan dalam hubungan yang menyakitkan hanya demi terlihat “utuh” di mata masyarakat. Dalam diamnya, Raia sedang memberontak.
Anya dalam Critical Eleven pun membawa pesan serupa. Ia bekerja di industri energi dunia kerja yang keras dan maskulin. Setelah kehilangan anak, Anya melanjutkan hidup dengan caranya sendiri.
Ia dikelilingi ekspektasi untuk tetap kuat dan baik-baik saja. Tapi ia memilih memberi ruang bagi duka. Ia tidak pura-pura tegar, tapi ia juga tidak menyerah. Ia terus hidup, dan itu adalah bentuk kekuatan yang sesungguhnya: keberanian untuk rapuh tapi tetap melangkah.
Ika Natassa menulis perlawanan tanpa konflik besar. Tidak ada tokoh yang menolak sistem secara frontal. Tapi ada sikap yang teguh. Ada keputusan yang diam-diam menyimpan kekuatan. Tokoh-tokohnya tidak bergantung pada validasi laki-laki. Mereka punya kendali atas tubuh, pikiran, dan masa depan mereka.
Ini adalah pemberdayaan yang tenang, tapi juga tajam. Tidak perlu pidato panjang atau poster besar. Yang dibutuhkan adalah keteguhan untuk memilih hidup yang otentik.
Dan inilah yang menjadikan tokoh-tokoh Ika terasa nyata: karena mereka merepresentasikan perempuan hari ini yang belajar menciptakan ruang, bukan menunggu ruang itu dibuka.
Membaca karya-karya Ika Natassa seperti membaca peta perlawanan perempuan modern. Sebuah perlawanan yang tidak selalu tentang melawan secara terbuka, tetapi tentang keberanian menjadi diri sendiri.
Tentang perempuan yang tidak lagi meminta izin atas hidupnya. Dan mungkin, disitulah letak bentuk perlawanan yang paling menggetarkan bagi sistem patriarki: perempuan yang tahu apa yang ia inginkan, dan tidak merasa perlu minta izin untuk mengejarnya. (*)
***
*) Oleh : Dwi Angga Setianingrum, Pengajar Bahasa dan Sastra, Trainer Pelatihan Menulis Ilmiah dan Kreatif.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |