Kopi TIMES

Paradoks Indonesia Emas 2045

Senin, 21 April 2025 - 16:24 | 38.29k
Adiguna S. W. Utama, Sekretaris ADAKSI Korwil Jawa Timur
Adiguna S. W. Utama, Sekretaris ADAKSI Korwil Jawa Timur
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Tulisan ini lahir dari kegelisahan saya pagi ini setelah membaca artikel berjudul “Dulu Kita Lebih Kaya dari China dan Korea, Kini Vietnam pun Menyusul” oleh Merza Gamal di Kompasiana (20 April 2025). 

Sebagai pendidik dan praktisi SDM, saya merasa teriris menyaksikan kenyataan di lapangan: kita sudah tertinggal dari Cina, Korea, dan kini bahkan Vietnam mulai menyalip. Tak berlebihan rasanya bertanya, kapan kita akan tersalip juga oleh Kamboja atau bahkan Timor Leste?

Advertisement

Pertanyaan mendasar yang muncul adalah: mengapa kita selalu kalah bersaing? Apakah karena sumber daya alam kita kalah melimpah? Justru sebaliknya. Indonesia diberkahi sinar matahari sepanjang 12 bulan, potensi panas bumi yang nyaris tak habis hingga kiamat, serta garis pantai terpanjang kedua di dunia. 

Dengan sinar matahari tanpa jeda, kita bisa memanen energi surya baik lewat panel fotovoltaik maupun mendukung produktivitas pertanian secara alami. Dengan panas bumi, kita memiliki sumber energi yang andal dan berkelanjutan. Dan garis pantai panjang itu membuka peluang besar di sektor perikanan, pariwisata bahari, hingga energi pasang surut.

Secara SDA, kita tak pernah kehabisan amunisi. Namun, masalah paling fundamental justru terletak pada kualitas Sumber Daya Manusia kita. Bayangkan! Saat kondisi dunia sedang tidak baik-baik saja masih ada orang-orang.

Bahkan profesor bernama Amin Rais yang masih sempat-sempatnya sibuk mengurusi isu ijazah palsu Presiden Jokowi daripada merancang inovasi untuk memanfaatkan kekayaan alam. Ini sungguh ironis—pendidikan yang sejatinya memacu kemajuan, malah terjebak perdebatan yang tak produktif bahkan konyol.

Bukan hanya kultur akademik yang perlu dievaluasi, tapi juga kebijakan pemerintah. Alih-alih memperkuat investasi di bidang pendidikan—dengan subsidi atau beasiswa agar setiap anak bangsa bisa mengenyam bangku kuliah—kita membebankan UKT selangit dan memaksakan pinjaman berbunga tinggi. Akibatnya, potensi talenta terhambat sejak pintu gerbang pendidikan tinggi.

Pengembangan talenta pun terkesan serampangan. Guru dihadapkan target mutlak: semua murid naik kelas. Jika ada yang tertinggal, guru yang disalahkan. Jangan heran bila banyak siswa SMP masih kesulitan membaca. 

Di perguruan tinggi, dosen digaji sekitar Rp2,3 juta per bulan dengan beban administratif yang menumpuk, memaksa mereka mencari penghasilan tambahan dan mengurangi fokus mengajar. 

Sementara tenaga administrasi digaji belasan juta, tapi sering kita lihat malah asyik menonton YouTube atau belanja online sebuah paradoks anggaran yang memprihatinkan.

Lebih parah lagi, kita kehilangan talenta terbaik melalui fenomena #KaburAjaDulu dan brain drain. Namun pemerintah bukannya mencegah fenomena tersebut dan memulangkan para profesional itu dengan insentif yang layak, perwakilan pemerintah malah bilang "sekalian tidak usah kembali". Sikap yang memperlihatkan rendahnya kesadaran atas nilai strategis SDM unggul bagi pembangunan nasional.

Sementara negara lain berlomba memperkuat human capital, menggantikan pekerjaan admin/klerikal dengan otomasi, digitalisasi, dan AI, Indonesia tampak justru sebaliknya. 

Kita mengalokasikan dana besar untuk remunerasi pegawai administrasi, kemudian membiarkan talenta unggul bekerja di bawah UMR. Semua ini dilakukan sambil bermimpi Indonesia menjadi negara maju pada 2045 sebuah harapan yang sayangnya terdengar absurd dan tak masuk akal.

Inilah paradoks Indonesia, sebagaimana disinggung Presiden Prabowo dalam bukunya. Kita memiliki SDA melimpah, tetapi SDM kita terpinggirkan oleh kebijakan yang tak berpihak pada perkembangan kompetensi. Masa depan bangsa tidak bisa ditangguhkan dengan wacana semata. 

Sudah saatnya kita menggeser fokus: investasi masif pada pendidikan, pengembangan dan pemeliharaan talenta, serta mempercepat digitalisasi dan adopsi AI. Barulah, potensi alam kita yang luar biasa itu bisa kita raih hasilnya, mewujudkan Indonesia Emas 2045.

Mari kita hentikan retorika semata. Saatnya berbenah bersama: memperkuat kualitas SDM, menyelaraskan kebijakan pendidikan dan tenaga kerja, bayarkan 100% tunjangan kinerja dosen yang sudah menjadi hak mereka, sambil memanfaatkan SDA secara optimal. Hanya dengan begitu, kita benar-benar bisa mengejar ketertinggalan dan menatap masa depan yang lebih sejahtera. (*)

***

*) Oleh : Adiguna S. W. Utama, Sekretaris ADAKSI Korwil Jawa Timur.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

 

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES