
TIMESINDONESIA, MALANG – Fenomena pengunduran diri 714 Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) formasi dosen tahun 2025 menjadi sorotan publik dan dunia pendidikan tinggi.
Di tengah euforia perekrutan besar-besaran tenaga pendidik untuk meningkatkan kualitas perguruan tinggi di Indonesia, justru muncul gelombang mundur yang mengejutkan. Jumlah tersebut bukan angka yang kecil, apalagi mengingat proses seleksi CPNS melewati berbagai tahapan ketat dan menyita waktu, tenaga, serta harapan dari ribuan pelamar. Lalu, apa sebenarnya yang melatarbelakangi keputusan massal tersebut?
Advertisement
Salah satu alasan utama yang mengemuka adalah rendahnya tunjangan dan gaji pokok yang diterima CPNS dosen, terutama pada masa prajabatan. Banyak dari mereka mengaku kaget setelah menerima Surat Keputusan (SK) penempatan dan mengetahui nominal penghasilan yang diterima per bulan, yang berkisar di angka Rp2 hingga Rp3 juta. Angka ini dianggap jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup di kota tempat mereka ditempatkan, terutama jika lokasi tersebut memiliki biaya hidup yang tinggi. Sebagian besar dari mereka sudah memiliki gelar magister, bahkan beberapa bergelar doktor, dan sebelumnya bekerja di sektor swasta atau lembaga internasional dengan penghasilan jauh lebih besar. Realita penghasilan sebagai CPNS dosen membuat mereka mempertimbangkan ulang kelanjutan statusnya.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Selain faktor ekonomi, persoalan penempatan juga menjadi pemicu signifikan. Banyak CPNS dosen yang ditempatkan di perguruan tinggi negeri baru (PTNB) yang masih dalam tahap pengembangan. Kondisi infrastruktur yang belum memadai, keterbatasan sarana dan prasarana pendidikan, serta akses yang sulit menjadi tantangan tersendiri. Beberapa kampus masih menumpang gedung di instansi lain atau berada di daerah terpencil dengan akses transportasi terbatas. Meski semangat mengabdi tidak dipungkiri, banyak dari mereka yang merasa tidak siap dengan kondisi kerja yang serba terbatas tersebut, apalagi tanpa kejelasan roadmap pengembangan institusi.
Di sisi lain, banyak CPNS dosen yang merasa kecewa dengan sistem birokrasi dan kurangnya kejelasan jenjang karier. Proses pengangkatan dari CPNS menjadi PNS yang memakan waktu lama, serta belum adanya sistem pembinaan yang terstruktur untuk karier akademik, membuat mereka mempertanyakan komitmen pemerintah dalam memajukan pendidikan tinggi. Harapan untuk segera berkontribusi secara akademik dan mengembangkan riset sering kali terhambat oleh tumpukan administrasi dan kewajiban birokrasi yang membelenggu kreativitas.
Faktor pribadi dan keluarga juga tidak bisa dikesampingkan. Beberapa CPNS dosen mengaku tidak mendapat dukungan penuh dari keluarga terkait lokasi penempatan. Jarak yang jauh dari tempat tinggal atau keluarga inti, kesulitan mengurus kepindahan, serta tidak adanya jaminan fasilitas tempat tinggal bagi dosen muda menjadi beban tambahan. Ada pula yang memilih mengundurkan diri karena mendapatkan tawaran kerja di tempat lain yang lebih menjanjikan, baik dari sisi penghasilan maupun pengembangan karier.
Fenomena ini juga menunjukkan adanya kesenjangan harapan antara pemerintah dan para CPNS dosen. Di satu sisi, pemerintah berupaya menambah jumlah dosen untuk mendukung pemerataan pendidikan tinggi. Namun di sisi lain, para dosen muda memiliki ekspektasi tertentu terkait kondisi kerja, penghasilan, dan lingkungan akademik yang ideal. Ketika ekspektasi tersebut tidak terpenuhi, maka pengunduran diri menjadi pilihan terakhir. Beberapa dari mereka bahkan menyebut bahwa mereka lebih merasa dihargai di sektor non-pemerintah dibandingkan saat menjadi CPNS dosen.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Tidak sedikit pula yang menyoroti minimnya sosialisasi sebelum pengangkatan. Informasi mengenai lokasi penempatan, hak dan kewajiban, serta kondisi perguruan tinggi tempat bertugas dinilai sangat minim sebelum mereka menandatangani komitmen. Hal ini menimbulkan semacam ‘kejutan’ setelah penempatan diumumkan, yang pada akhirnya mendorong mereka untuk mundur karena merasa tidak mendapat gambaran yang utuh sebelumnya.
Kasus mundurnya ratusan CPNS dosen ini seharusnya menjadi cerminan bagi pembuat kebijakan untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem perekrutan dan penempatan tenaga pendidik. Pendidikan tinggi bukan hanya soal jumlah, tapi juga soal kualitas dan kesejahteraan para pendidik. Jika sistem yang ada tidak mampu mempertahankan sumber daya manusia terbaik, maka tujuan untuk memajukan pendidikan nasional bisa jadi hanya sebatas wacana.
Gelombang pengunduran diri ini bisa menjadi titik balik, jika ditanggapi dengan serius. Pemerintah perlu membuka ruang dialog dengan para dosen muda, menyusun skema insentif yang lebih kompetitif, dan menciptakan ekosistem akademik yang sehat dan mendukung. Bila tidak, pengunduran diri bisa saja menjadi fenomena tahunan, dan mimpi besar menciptakan generasi emas 2045 hanya akan tertahan di atas kertas.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
*) Penulis: Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Dhina Chahyanti |
Publisher | : Rochmat Shobirin |