
TIMESINDONESIA, PADANG – Asap kelabu kembali membubung dari puncak Gunung Semeru. Letusan demi letusan terjadi sejak Jumat dini hari, menggugah ingatan kolektif warga Lumajang akan bencana erupsi besar pada akhir 2021 silam.
Meski letusan pekan ini tergolong kecil—ketinggian kolom abu “hanya” sekitar satu kilometer—peristiwa ini menegaskan satu hal: kesiapsiagaan bencana bukan sekadar slogan. Ia harus menjadi sistem yang hidup dan terus diuji.
Advertisement
Semeru, gunung tertinggi di Pulau Jawa, memang bukan pendiam. Ia salah satu gunung api paling aktif di Indonesia. Tetapi jika sejarah adalah guru terbaik, kita harus akui bahwa manajemen risiko bencana kita masih terseok-seok.
Tentu, badan-badan seperti BNPB, PVMBG, dan BPBD telah bekerja. Namun kerja-kerja teknokratis sering kalah cepat oleh kenyataan di lapangan: relokasi mangkrak, data pengungsi simpang siur, dan logistik yang datang terlambat. Ini bukan semata soal anggaran, tapi soal politik kebencanaan yang belum terdesentralisasi secara efektif.
Trauma Kolektif yang Tak Pernah Sembuh
Warga sekitar Semeru hidup dalam ketegangan yang konstan. Setiap letusan, sekecil apa pun, menggugah trauma lama yang belum pulih. Pemerintah daerah memang telah membentuk desa tangguh bencana, namun di banyak titik, edukasi masyarakat belum optimal.
Masih banyak yang enggan mengungsi karena lahan pertanian adalah sumber hidup mereka. Di sinilah pentingnya pendekatan sosial-budaya: mitigasi harus membumi, bukan hanya berdasar SOP dan sirine peringatan dini.
Bencana yang Melumpuhkan Ekonomi Lokal
Setiap kali erupsi terjadi, roda ekonomi lokal ikut terseok. Akses jalan rusak, lahan tertimbun abu, dan distribusi logistik terganggu. Pemerintah pusat sering turun dengan janji bantuan, namun realisasi kerap tersandung birokrasi.
Dalam jangka panjang, dibutuhkan dana kontinjensi yang disiapkan secara khusus di level kabupaten, bukan hanya mengandalkan DIPA BNPB atau Kementerian Sosial. Bencana tak menunggu rapat anggaran.
Ketika Bencana Menjadi Panggung Politik
Seperti biasa, dalam setiap bencana, panggung politik ikut terbuka. Mulai dari pejabat yang buru-buru datang demi eksistensi, hingga politisi yang menggiring narasi bantuan sebagai bagian dari kampanye terselubung.
Padahal, pengelolaan bencana adalah soal tata kelola pemerintahan yang berfungsi, bukan soal siapa tampil paling dulu di kamera.
Lingkungan yang Terus Disakiti
Letusan Semeru juga menyuarakan peringatan ekologis yang lebih luas. Deforestasi di lereng gunung, aktivitas tambang pasir, dan alih fungsi lahan mempercepat degradasi lingkungan.
Lahar dingin yang kian tak terbendung, longsor yang makin sering, bukan hanya disebabkan oleh aktivitas vulkanik semata, tapi oleh ulah manusia yang menentang logika alam. Kita tidak bisa berharap gunung diam jika kita sendiri yang memancing amarahnya.
Belajar dari Jepang, Selandia Baru, dan Chili
Indonesia bukan satu-satunya negeri dengan sabuk vulkanik aktif. Jepang, Selandia Baru, dan Chili adalah contoh negara yang hidup berdampingan dengan risiko letusan gunung api dan gempa. Bedanya, mereka menjadikan kesiapsiagaan sebagai budaya.
Di Jepang, sistem peringatan dini terintegrasi dengan sistem transportasi dan komunikasi nasional. Simulasi evakuasi dilakukan rutin hingga ke level sekolah dasar.
Selandia Baru memiliki National Emergency Management Agency yang mendorong partisipasi komunitas dan kesiapan rumah tangga dengan Go Bags dan sistem kode warna yang mudah dipahami warga.
Di Chili, penanggulangan bencana menjadi bagian dari kurikulum nasional, dan kolaborasi antara militer, sipil, dan ilmuwan berjalan nyaris tanpa friksi.
Indonesia bisa belajar banyak. Kita memiliki PVMBG yang canggih, sistem warning dengan sensor seismik dan visual, bahkan drone pemantau. Namun tantangan terbesar tetap di hilir: penerjemahan sains menjadi aksi nyata di desa-desa yang rentan.
Kita Butuh Sistem yang Tangguh, Bukan Sekadar Reaktif
Sudah saatnya Indonesia membangun paradigma tangguh bencana yang benar-benar terintegrasi. Ini mencakup penguatan kapasitas lokal, audit ulang peta rawan bencana, dan penggunaan teknologi prediktif berbasis AI.
Tetapi yang lebih penting dari semua itu adalah keberanian politik untuk menata ulang ruang hidup masyarakat di zona merah, dengan pendekatan manusiawi dan partisipatif.
Bencana bukan semata ujian alam. Ia juga ujian peradaban: apakah kita belajar dari masa lalu, atau terus mengulang kesalahan yang sama? (*)
***
*) Oleh : Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |