Kopi TIMES

Pendidikan yang Menyembuhkan Bumi

Selasa, 22 April 2025 - 16:23 | 13.71k
Mohammad Hairul, Kepala SMPN 1 Curahdami, Bondowoso, Jawa Timur dan Instruktur Nasional literasi Baca-Tulis
Mohammad Hairul, Kepala SMPN 1 Curahdami, Bondowoso, Jawa Timur dan Instruktur Nasional literasi Baca-Tulis
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, BONDOWOSO – Setiap tahun, Hari Bumi diperingati di seluruh dunia. Spanduk, seminar, dan kampanye lingkungan bertebaran, mengingatkan kita bahwa planet tempat kita berpijak sedang tidak baik-baik saja. 

Di balik semua itu, terselip pertanyaan yang lebih mendalam: apakah kita benar-benar sedang menyembuhkan bumi, atau hanya sekadar menutupi luka dengan pita seremonial?

Advertisement

Planet ini tidak sakit karena kekurangan teknologi. Kita sudah punya inovasi ramah lingkungan: panel surya, kendaraan listrik, hingga riset pemulihan ekosistem. Tapi apa yang kita kurang? Jawabannya satu kata: kesadaran. Dan kesadaran itu tumbuh—atau gagal tumbuh—dari pendidikan.

Pendidikan seharusnya tidak hanya mencetak manusia pintar, tetapi juga manusia peduli. Pendidikan yang sejati adalah pendidikan yang mampu membentuk perilaku dan menyentuh hati. Inilah yang disebut dengan pendidikan yang menyembuhkan planet. 

Bukan pendidikan yang hanya menghafalkan nama-nama jenis tanah atau proses daur air, tetapi pendidikan yang mampu membuat seorang anak merasa bersalah saat membuang sampah sembarangan, atau merasa bangga saat menanam satu pohon kecil.

Pendidikan yang menyembuhkan bumi bukan hanya tugas sekolah, tetapi menjadi panggilan bagi seluruh elemen masyarakat. Sekolah-sekolah mulai mengajarkan kepada anak-anak tentang pentingnya keragaman hayati lokal, serta cara merawat alam sekitar, seperti mengelola kebun sekolah dan mengajarkan teknik daur ulang sampah. Aktivitas sederhana ini membentuk pola pikir yang lebih peduli terhadap keberlanjutan alam.

Tantangan terbesarnya terletak pada keberlanjutan dan skala besar dari upaya tersebut. Kita perlu melihat pendidikan lingkungan sebagai sebuah gerakan kolektif. Selain kebijakan pendidikan, peran masyarakat juga sangat vital. 

Gerakan bersama antara sekolah, pemerintah desa, dan komunitas untuk melibatkan anak-anak dalam merawat alam. Ini bukan hanya tentang menanam pohon, tetapi tentang menciptakan generasi yang tidak hanya tahu, tetapi juga merasa terhubung secara emosional dengan alam mereka.

Kita butuh transformasi dalam cara memandang dan mengajarkan isu lingkungan. Pendidikan lingkungan hidup bukan sekadar konten tambahan dalam kurikulum, tetapi harus menjadi napas dalam berbagai mata pelajaran dan praktik sekolah. 

Bayangkan jika pelajaran matematika membahas perhitungan emisi karbon, atau pelajaran seni mengajak anak menciptakan karya dari bahan daur ulang. Pendidikan tidak harus selalu di kelas; kebun sekolah, ladang warga, dan bahkan TPS di desa bisa menjadi ruang belajar yang bermakna.

Beberapa sekolah sudah mulai bergerak. Ada yang memanfaatkan lahan kosong sebagai kebun edukasi, ada yang mengelola bank sampah sekolah secara mandiri.

Bahkan ada komunitas guru yang rutin mengadakan kegiatan bersih-bersih sungai dan menanam bibit buah lokal bersama siswa dan warga. Gerakan kecil seperti ini bukan hanya mendidik, tapi juga menghidupkan semangat kolektif untuk menjaga lingkungan sekitar.

Semua itu hanya akan terjadi jika para guru juga bertransformasi. Guru bukan sekadar pengajar, tetapi juga penggerak. Guru yang sadar lingkungan akan menularkan gaya hidup ramah bumi kepada murid-muridnya, bukan hanya lewat kata, tetapi juga lewat laku. Guru yang membawa tumbler ke kelas, mematikan lampu saat tidak digunakan, dan mengajak siswa memilah sampah adalah guru yang sedang menyembuhkan planet.

Beban ini tidak bisa ditanggung guru sendirian. Sekolah harus menjadi ruang yang mendukung lahirnya budaya hijau. Kepala sekolah, komite, orang tua, hingga pemangku kebijakan pendidikan punya peran penting. 

Apakah kebijakan sekolah memberi ruang untuk program lingkungan? Apakah anggaran sekolah menyediakan fasilitas pengelolaan sampah? Apakah pelatihan guru juga menyentuh isu lingkungan?

Tantangan memang banyak. Di beberapa daerah, pendidikan masih berkutat pada akses dasar, belum sampai pada inovasi dan pendekatan tematik. Namun, justru di sanalah letak urgensinya. 

Pendidikan yang menyembuhkan planet bukanlah kemewahan, melainkan kebutuhan. Jika generasi hari ini tidak diajarkan untuk peduli bumi, maka generasi esok hanya akan mewarisi masalah yang lebih parah.

Kabar baiknya, perubahan besar sering kali dimulai dari langkah kecil. Satu sekolah yang konsisten mengelola sampah bisa menginspirasi sekolah lain. Satu guru yang mengajak siswanya menanam pohon bisa mengubah cara pandang satu kelas. Dan satu anak yang tumbuh dengan cinta pada bumi, kelak bisa menjadi pemimpin yang membuat kebijakan besar untuk lingkungan.

Menyembuhkan  bumi memang bukan tugas mudah. Tapi itu bukan alasan untuk diam. Pendidikan adalah satu-satunya jalan panjang yang kita punya. Jalan yang tidak langsung tampak hasilnya, tapi sangat menentukan arah. 

Maka, mari kita isi jalan itu dengan semangat cinta bumi. Mulai dari rumah, dari sekolah, dari ruang kelas. Karena bumi tidak menunggu kita lebih pintar. Bumi menunggu kita lebih sadar. (*)

***

*) Oleh : Mohammad Hairul, Kepala SMPN 1 Curahdami, Bondowoso, Jawa Timur dan Instruktur Nasional literasi Baca-Tulis. 

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES