
TIMESINDONESIA, MALANG – Bulan Syawal datang sebagai pelengkap kesucian setelah sebulan penuh umat Islam menjalankan ibadah Ramadan. Momentum ini bukan sekadar perayaan Idulfitri yang penuh kegembiraan, melainkan titik tolak hijrah menuju kehidupan yang lebih bertakwa.
Sebagaimana Ramadan membentuk pribadi yang disiplin, sabar, dan taat, Syawal menjadi ujian pertama atas keberhasilan proses pembentukan diri tersebut.Syawal bukan hanya tentang saling bermaafan dan bersilaturahmi, baik secara pribadi maupun kelembagaan, tapi menjadi titik awal perubahan menuju kebaikan yang lebih konsisten.
Advertisement
Karena bulan Syawal artinya naik, tumbuh, atau meningkat. Jadi semangat perubahan itu harus terus dijaga. Jangan sampai setelah saling bermaafan, kita kembali mengulang kesalahan yang sama, amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah yang dilakukan secara terus-menerus, meskipun sedikit. Ramadan telah melatih kedisiplinan, sementara Syawal menjadi ujian atas konsistensi diri.
Mungkin dulu ibadah hanya rutinitas tanpa makna. Kini saatnya mentatap kehidupan lebih bermakna dengan Hijrah yang sesungguhnya, yaitu meninggalkan larangan Allah.
Salah satu bentuk konkret istiqamah pasca-Ramadhan adalah melanjutkan dengan puasa enam hari di bulan Syawal, sebagai tanda rasa nikmat menjalankan ibadah dan semangat memperbaiki diri. Kaum muslimin harus lebih menekankan pentingnya memurnikan hati dari kebencian, sekecil apapun itu.
“Kalau sudah saling memaafkan, jangan ada lagi benci, bahkan yang sekecil zarah pun harus dihilangkan. Mari kita jadikan Syawal sebagai momentum hijrah, Arahkan langkah dan hati kita menuju ampunan dan ridha Allah, Taubat yang sungguh-sungguh adalah awal dari perubahan yang hakiki.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Hijrah dalam konteks ini bukan hanya perpindahan fisik, tetapi lebih pada transformasi batiniah. Nabi Muhammad SAW bersabda:
“المُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ”
“Orang yang berhijrah adalah yang meninggalkan apa-apa yang dilarang oleh Allah.” (HR. Bukhari)
Hadis ini menegaskan bahwa makna hijrah yang hakiki adalah meninggalkan segala bentuk kemaksiatan dan mendekatkan diri kepada ketaatan. Ramadan telah menjadi sarana pelatihan spiritual, dan Syawal merupakan ladang praktik untuk mempertahankan capaian spiritual tersebut. Hadis ini memberikan motivasi besar untuk tetap menjaga semangat ibadah meski Ramadan telah berlalu. Puasa Syawal bukan hanya memperpanjang pahala, tetapi juga menjaga ritme ibadah agar tidak kembali ke kebiasaan lama yang lalai.
Syawal bukan akhir dari perjuangan spiritual, melainkan awal dari pembuktian atas segala janji taubat, peningkatan ibadah, dan niat menjadi pribadi yang lebih baik. Hijrah menuju pribadi takwa adalah proses panjang yang memerlukan keistiqamahan. Kita berharap, spirit Ramadan tidak hanya hidup dalam sebulan, tetapi menjelma menjadi karakter sejati kita sepanjang tahun. Sebagaimana Nabi SAW bersabda:
“أَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ”
“Amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah yang terus-menerus, meskipun sedikit.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dengan menjadikan Syawal sebagai momentum hijrah, semoga kita termasuk golongan orang-orang yang istiqamah dan diridhai Allah SWT sepanjang hayat. Syawal bukan hanya soal lebaran. Syawal adalah waktu yang tepat untuk hijrah. Hijrah bukan berarti pindah tempat, tapi pindah dari keburukan ke kebaikan.
Ramadan melatih kita menahan nafsu, meninggalkan dosa, dan memperbanyak ibadah. Maka Syawal adalah momen untuk melanjutkan hijrah itu. Hijrah memang memiliki makna perubahan atau perpindahan, akan tetapi perubahan dan perpindahan tersebut pada dasarnya dalam rangka istiqamah terhadap tujuan yang mulia.
Hijrahnya Rasulullah Saw bersama para sahabat dari Mekah dan Madinah, bukan sekadar pindah, atau sebagai bentuk keputusasaan, melainkan sebagai bentuk keteguhan mereka terhadap agama Islam dan kewajiban dakwah. Keteguhan terhadap tujuan yang mulia tersebut dibuktikan dengan harga yang harus dibayar dengan hijrahnya mereka, yaitu meninggalkan amwalahum wa anfusahum, harta benda serta pengorbanan jiwa mereka dalam bentuk kesusahpayahan yang mereka alami.
Peristiwa hijrah mengajarkan kita semua bahwa meskipun kita memiliki tujuan yang mulia, tidak serta merta tujuan itu dapat terwujud. Kesuksesan kita dalam menggapai tujuan yang mulia itu dibantu juga oleh ikhtiar manusiawi yang kita tempuh. Ada kalanya, cara-cara ikhtiar yang kita lakukan bukan merupakan jalan terbaik.
Oleh karena itu, setiap dari kita seyogyanya memiliki waktu bermusahabah untuk mengevaluasi apa-apa yang mungkin keliru dari ikhtiar kita. Terdapat sebuah nasehat menarik dari Umar Ra berkaitan dengan tindakan ini, yaitu:“Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab!” Atau evaluasilah diri kalian sebelum kalian dievaluasi, karena hal itu akan lebih baik bagi hisab kalian kelak. ***
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
*) Penulis: Dr. Kukuh Santoso, M.Pd, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam Malang (UNISMA).
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Dhina Chahyanti |
Publisher | : Rochmat Shobirin |