Kopi TIMES

Buah Simalakama Makan Bergizi Gratis

Rabu, 23 April 2025 - 17:28 | 16.74k
Fathin Robbani Sukmana, Pengamat Sosial dan Kebijakan Publik
Fathin Robbani Sukmana, Pengamat Sosial dan Kebijakan Publik
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Program Makan Bergizi Gratis (MBG), salah satu janji kampanye utama pemerintahan Prabowo-Gibran, menyimpan cita-cita luhur untuk meningkatkan kualitas gizi anak-anak Indonesia. 

Namun, seiring dengan implementasinya, program ini justru menuai berbagai persoalan yang mengancam efektivitas dan keberlanjutannya. Alih-alih menjadi solusi, MBG berpotensi menjadi buah simalakama, pahit di ujung pelaksanaannya jika perencanaan dan tata kelolanya tidak dibenahi secara fundamental.

Advertisement

Sorotan terhadap implementasi MBG mencuat seiring dengan berbagai laporan dan temuan di lapangan. Berita penutupan mitra di Kalibata akibat keterlambatan pembayaran senilai miliaran rupiah, yang bahkan menyeret dugaan penggelapan dana, menjadi alarm keras akan lemahnya tata kelola keuangan dan pengawasan. 

Belum lagi insiden keracunan puluhan siswa di Sukoharjo, penolakan program di beberapa wilayah seperti Papua, hingga keluhan mengenai kualitas makanan yang diduga tidak memenuhi standar gizi, semakin mempertegas bahwa program ini berjalan tanpa pondasi perencanaan yang kokoh.

Mengapa permasalahan ini terus berulang? Akar persoalannya terletak pada perencanaan kebijakan yang terkesan terburu-buru dan kurang komprehensif. Perubahan anggaran per anak menjadi Rp 10.000, pembengkakan anggaran akibat perluasan target tanpa persiapan matang, serta kesiapan sumber daya manusia pengelola yang belum optimal, adalah konsekuensi logis dari perencanaan yang minim partisipasi dan kajian mendalam.

Tanpa asesmen kebutuhan program yang cermat di setiap daerah meliputi jenis menu yang sesuai dengan preferensi dan ketersediaan pangan lokal, serta penentuan standar gizi yang ideal, MBG berisiko menjadi proyek seragam yang gagal mengakomodasi keragaman Indonesia.

Belajar dari teori “Deepening Democracy: Institutional Innovations in Empowered Participatory Governance” karya Archon Fung dan Erik Olin Wright (2003), kebijakan sosial yang berhasil membutuhkan desain institusional yang melibatkan secara aktif warga dalam pengambilan keputusan. 

Dalam konteks MBG, ini berarti melibatkan secara langsung para pelajar sebagai penerima manfaat, perwakilan guru dari berbagai daerah, serta organisasi pelajar dalam merumuskan detail program.

Jangan sampai program yang bertujuan meningkatkan gizi justru memaksa anak-anak mengonsumsi makanan yang tidak mereka sukai atau tidak sesuai dengan selera lokal, yang pada akhirnya berujung pada penolakan dan inefisiensi.

Selain perencanaan partisipatif, evaluasi yang ketat dan berkelanjutan Monitoring, Evaluasi, dan Pembelajaran (MEL) adalah keniscayaan. MEL harus dirancang untuk mengukur dampak gizi program secara riil, tingkat kepuasan siswa dan orang tua, efisiensi penggunaan anggaran, serta mengidentifikasi kendala dan pelajaran yang dapat dijadikan dasar perbaikan.

Data dari MEL ini harus menjadi landasan untuk penyesuaian program secara dinamis. Sebagai contoh, data mengenai tingkat konsumsi siswa terhadap menu tertentu dapat menjadi masukan berharga dalam penyusunan menu berikutnya.

Aspek krusial lainnya adalah pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) pengelola program. Mitra penyedia makanan harus memiliki sertifikasi kelayakan memasak dan menandatangani komitmen yang mengikat untuk mematuhi standar kualitas dan regulasi yang berlaku.

Lebih dari itu, diperlukan pelatihan berkelanjutan mengenai standar gizi, keamanan pangan, dan tata kelola keuangan yang transparan. Mekanisme pengawasan yang ketat dan akuntabel juga harus dibangun untuk mencegah terulangnya kasus dugaan penyelewengan dana yang merugikan siswa penerima manfaat.

Jika evaluasi menyeluruh kelak menunjukkan bahwa program MBG tidak efektif atau bahkan kontraproduktif, pemerintah harus berani mengambil keputusan sulit untuk mengkajinya ulang, bahkan mempertimbangkan penghentiannya demi alokasi anggaran yang lebih tepat sasaran. 

Namun, jika keberlanjutan program tetap menjadi prioritas, maka implementasi MEL yang rutin, perencanaan partisipatif yang melibatkan penerima manfaat, dan pengembangan SDM pengelola yang kompeten adalah langkah-langkah mendesak yang tidak bisa ditunda.

Tanpa pembenahan fundamental dalam perencanaan dan tata kelola, Program Makan Bergizi Gratis yang diharapkan menjadi wujud kepedulian negara terhadap generasi penerus bangsa, justru berpotensi menjadi beban anggaran yang sia-sia dan mengecewakan harapan masyarakat.

Pemerintah dihadapkan pada ujian berat untuk mengubah arah program ini dari potensi kegagalan menjadi realitas janji yang membawa manfaat nyata bagi anak-anak Indonesia.

***

*) Oleh: Fathin Robbani Sukmana, Pengamat Sosial dan Kebijakan Publik.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi TIMES Indonesia.

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES