
TIMESINDONESIA, SEMARANG – Di negeri yang mengaku demokratis, suara rakyat seharusnya menjadi kompas arah kebijakan. Tapi belakangan, alih-alih mendengar, negara justru makin sering menutup telinga dan lebih parahnya, menuduh siapa pun yang bersuara sebagai ancaman.
Ini bukan hanya gejala otoritarianisme, tapi juga ekspresi dari sesuatu yang lebih dalam dan sistemik: civil phobia, atau ketakutan negara terhadap masyarakat sipilnya sendiri.
Advertisement
Fenomena civil phobia kini kian nyata di Indonesia. Kritik dianggap subversif, demonstrasi dicap radikal, aktivisme disamakan dengan anarki. Negara, lewat aparat dan regulasi, tampak begitu mudah merasa terganggu oleh ekspresi warga.
Ironi, karena dalam sistem demokrasi, rakyat seharusnya berdaulat dan berhak penuh untuk mengawasi, menilai, dan bahkan menggugat kekuasaan.
Ketakutan yang Diinstitusikan
Civil phobia bukan sekadar fobia psikologis, tapi ketakutan institusional yang terstruktur. Ia hidup dalam regulasi, prosedur, dan retorika kekuasaan.
Sepanjang 2024, Amnesty International mencatat 527 kasus pelanggaran kebebasan berekspresi dengan 560 warga terdampak, dan 421 kasus telah divonis pengadilan. Mayoritas menggunakan pasal karet dari UU ITE. Hal ini menunjukkan betapa ekspresi warga masih dianggap "mengganggu ketertiban", alih-alih dilindungi sebagai hak konstitusional.
Laporan Setara Institute dan SAFEnet juga memperlihatkan tren peningkatan pembubaran acara diskusi dan pelarangan ceramah publik. Salah satu contoh terjadi di Universitas Gadjah Mada (UGM) 2024, di mana diskusi tentang Papua dibubarkan aparat tanpa alasan akademik yang jelas. Begitu juga yang terjadi di UIN Walisongo Semarang 14 April 2025, kegiatan berdiskusi didatangi oleh oknum TNI yang mereka anggap sebagai monitoring wilayah.
Sementara itu, para pejuang lingkungan hidup juga mengalami tekanan luar biasa. Pada 2024, LBH mencatat ada 33 serangan terhadap pembela HAM lingkungan yang melibatkan 204 individu dan 15 kelompok.
Bahkan, 23 petani dan aktivis dikriminalisasi karena berkonflik dengan perusahaan, termasuk tujuh perempuan. Ketika rakyat memperjuangkan tanah, hutan, dan udara, negara justru hadir sebagai pengancam, bukan pelindung.
Demokrasi yang Dijalankan oleh Rasa Takut
Sejatinya, demokrasi butuh keberanian. Keberanian menerima kritik, menghadapi kegelisahan publik, dan membuka ruang partisipasi luas. Namun yang tampak hari ini justru sebaliknya: demokrasi dijalankan oleh rasa takut—takut kehilangan kuasa, takut diadili opini publik, takut pada mobilisasi warga.
Alih-alih memperkuat kepercayaan, negara memilih jalan pintas: membungkam. Padahal, dalam demokrasi, kritik adalah oksigen. Tanpa itu, kekuasaan membusuk dalam kebisuan yang menyesatkan.
George Orwell dalam karyanya yang legendaris, 1984, menyatakan, “The further a society drifts from the truth, the more it will hate those who speak it.” (Semakin jauh suatu masyarakat menjauh dari kebenaran, semakin besar kebenciannya terhadap mereka yang menyatakannya).
Ini juga tercermin dalam realitas Indonesia, di mana kebijakan yang mendominasi ruang publik dan membatasi kebebasan berekspresi sering kali dipertahankan melalui narasi yang menyesatkan, mengabaikan kritik sebagai ancaman bagi stabilitas politik.
Dengan demikian, masyarakat yang berusaha menggali dan menyuarakan kebenaran malah dipandang sebagai pihak yang berbahaya, dan bukan sebagai bagian dari sistem demokrasi yang sehat.
Intimidasi terhadap jurnalis pun makin sering terjadi. Sepanjang 2024, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat 61 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Pada kuartal pertama 2025 saja, sudah terjadi 22 kasus baru, termasuk pengiriman kepala babi dan tikus kepada jurnalis investigasi Tempo serta perusakan mobil wartawan oleh orang tak dikenal. Ini adalah bentuk teror yang sistematis terhadap kebebasan pers.
Rakyat Bukan Ancaman
Paradigma dasar yang harus dibongkar adalah cara pandang negara terhadap rakyat. Warga negara bukanlah musuh yang harus diawasi, tetapi mitra kritis yang harus dilibatkan. Negara yang sehat justru mendorong partisipasi, bukan mencurigainya.
Sayangnya, perkembangan politik menunjukkan arah sebaliknya. Pada Maret 2025, DPR mengesahkan revisi UU TNI yang memungkinkan militer aktif menduduki jabatan sipil tanpa pensiun. Ini mengancam prinsip sipil supremacy dan bisa membuka jalan bagi represi gaya Orde Baru.
Ketika warga bersuara untuk perubahan, yang hadir bukan dialog, tapi intimidasi. Bila negara terus merasa terancam oleh suara publik, mungkin masalahnya bukan pada rakyat, tapi pada kuasa yang rapuh dan enggan diuji.
Saatnya Berani Membuka Ruang
Menghadapi civil phobia, kita butuh keberanian kolektif—bukan hanya dari masyarakat sipil, tapi juga dari pejabat, aparat, dan pembuat kebijakan. Keberanian untuk menerima kritik, keberanian untuk mereformasi institusi, dan keberanian untuk menata ulang relasi antara negara dan warga.
Tanpa keberanian itu, demokrasi hanya akan jadi jargon kosong. Hak-hak sipil akan terus menyusut, dan negara akan makin jauh dari rakyat yang seharusnya ia wakili.
Mendengar Rakyat Pilar Utama Demokrasi yang Sehat
Kita tidak butuh negara yang selalu merasa terancam oleh rakyatnya. Kita butuh negara yang mau mendengar. Demokrasi tidak akan bertahan lama di tangan para penakut. Karena pada akhirnya, keberanian untuk mendengar lebih penting daripada keberanian untuk menindas.
Selama ketakutan menjadi fondasi bernegara, maka hak warga akan selalu digerus perlahan, dan demokrasi akan makin kehilangan maknanya. Saatnya kita bertanya: demokrasi ini milik siapa? Dan siapa yang sebenarnya takut pada siapa?
Untuk mengatasi civil phobia, baik negara maupun masyarakat harus berperan aktif. Negara perlu membuka ruang untuk partisipasi publik, memastikan kebebasan sipil terlindungi, dan mendorong dialog yang sehat.
Sementara itu, masyarakat harus terus menyuarakan pendapat secara konstruktif, memanfaatkan jalur hukum untuk membela haknya, dan berpartisipasi dalam pengawasan kebijakan publik. Jika kedua belah pihak berkolaborasi, maka demokrasi di Indonesia dapat terjaga dan berkembang menjadi lebih sehat dan inklusif.
***
*) Oleh : Iqbal Alaik, Mahasiswa UIN Walisongo, Penulis Lepas Isu-isu Demokrasi, Kebebasan Sipil, dan Kebijakan Publik.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rizal Dani |