Kopi TIMES

Riuh Publik Dari Video Gibran dan Bonus Demografi

Kamis, 24 April 2025 - 17:42 | 18.42k
Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – Beberapa hari terakhir, media sosial di Indonesia kembali ramai memperbincangkan sosok Gibran Rakabuming Raka. Bukan soal kunjungan kerja atau kebijakan barunya sebagai Wakil Presiden, melainkan sebuah video monolog berdurasi singkat yang diunggah di kanal YouTube pribadinya. Dalam video bertajuk “Generasi Muda, Bonus Demografi, dan Masa Depan Indonesia”, Gibran membahas pentingnya peluang bonus demografi Indonesia yang saat ini sedang berada di puncaknya.

Namun, alih-alih menuai pujian, video tersebut justru mengundang gelombang reaksi negatif dari warganet. Kolom komentar sempat dibanjiri kritik hingga akhirnya dimatikan, dan tombol dislike tampak lebih banyak dari like—indikasi awal bahwa pesan yang ingin disampaikan tidak tersampaikan dengan baik.

Advertisement

Banyak netizen menilai gaya penyampaian Gibran terlalu formal dan kaku, tidak mencerminkan gaya komunikatifnya yang biasanya lebih santai dan membumi. Tak sedikit pula yang menyebut video tersebut sebagai bagian dari pencitraan politik belaka. Ada yang menudingnya “menumpang nama” dari kesuksesan film animasi Jumbo yang ia puji dalam narasinya. Film itu memang sedang ramai dibicarakan, namun penggunaan momennya dalam konteks video politik justru menimbulkan kesan oportunistik di mata sebagian masyarakat.

Video tersebut menyisakan satu pertanyaan besar: mengapa pesan tentang hal yang sepenting bonus demografi justru gagal menyentuh simpati publik?

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Respons terhadap video Gibran tampaknya mencerminkan kesenjangan yang belum sepenuhnya jembatani antara pemerintah dan masyarakat, terutama generasi muda di media sosial. Bonus demografi adalah isu serius yang menyangkut masa depan bangsa. Indonesia sedang menikmati jumlah penduduk usia produktif yang tinggi, sebuah peluang emas yang jika dimanfaatkan dengan tepat bisa menjadi motor penggerak ekonomi.

Namun di sisi lain, masyarakat—terutama kalangan menengah ke bawah dan para pengguna aktif media sosial—masih dihadapkan pada realita ketimpangan. Akses pendidikan yang belum merata, lapangan kerja yang tak sebanding dengan jumlah lulusan setiap tahun, serta biaya hidup yang semakin melambung tinggi, menjadi bukti bahwa gagasan besar seperti “bonus demografi” terasa jauh dari keseharian mereka.

Ketika pemerintah, melalui figur seperti Wapres Gibran, menyampaikan narasi tentang masa depan cerah generasi muda, publik pun bereaksi skeptis. Mereka mempertanyakan: “Bonus untuk siapa?” Sebab, dalam realitas yang mereka hadapi, justru banyak anak muda yang masih berjuang mencari pekerjaan, bahkan tak sedikit yang terpaksa mengubur mimpinya karena himpitan ekonomi.

Media sosial menjadi ruang tempat ketimpangan ini diekspresikan. Kritik bukan semata bentuk penolakan, tapi juga refleksi atas minimnya ruang dialog yang terbuka dan jujur antara pemerintah dan masyarakat.

Jika ditilik dari substansi, Gibran memang membahas tema penting. Bonus demografi adalah potensi yang tidak datang dua kali. Negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan pernah berada di fase ini dan berhasil mengubahnya menjadi momentum kemajuan. Namun kesuksesan mereka bukan semata karena jumlah penduduk usia produktif, melainkan karena kesiapan sistem pendidikan, kebijakan ketenagakerjaan, dan pemerataan ekonomi yang mendukungnya.

Di Indonesia, potensi itu ada, tapi pekerjaan rumahnya masih panjang. Program pendidikan vokasi belum sepenuhnya menjawab kebutuhan industri, startup anak muda banyak yang tumbang karena minim dukungan, dan regenerasi petani atau pelaku UMKM masih tertatih-tatih. Sementara itu, narasi besar tentang “generasi emas” terus dikumandangkan, seringkali tanpa data lapangan yang cukup membumi.

Video Gibran, dalam konteks ini, seolah menjadi cerminan dari gap antara wacana kebijakan dan kenyataan sosial. Ia menyuarakan semangat dan harapan, tapi publik menuntut bukti dan keberpihakan nyata.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Kritik yang mengemuka dari publik bukan berarti mereka tidak peduli pada isu seperti bonus demografi. Sebaliknya, kritik menunjukkan bahwa masyarakat ingin dilibatkan, ingin suara mereka didengar, dan tidak ingin hanya menjadi objek dari kebijakan-kebijakan strategis negara.

Wakil Presiden—terutama yang usianya relatif dekat dengan mayoritas pemuda Indonesia—seharusnya bisa menjadi jembatan komunikasi yang efektif. Gaya bahasa, medium komunikasi, dan substansi pesan perlu disesuaikan agar tidak terkesan menjauh atau elit.

Jika video tersebut mendapat respons negatif, itu bukan kegagalan semata, melainkan peringatan penting. Ada pelajaran yang bisa diambil bahwa pembangunan narasi harus dilakukan dengan empati, bukan sekadar teknis komunikasi.

Bonus demografi adalah peluang langka yang bisa menjadi berkah atau musibah, tergantung bagaimana pemerintah mengelolanya. Video Gibran mungkin bukan pesan yang gagal secara mutlak, tapi ia menunjukkan bahwa membangun kepercayaan publik tidak cukup hanya dengan kata-kata indah. Diperlukan aksi nyata yang bisa dirasakan langsung oleh masyarakat, terutama mereka yang setiap hari bergelut dengan kerasnya hidup.

Sudah saatnya pemerintah tidak hanya bicara soal “bonus,” tapi juga bekerja keras menyelesaikan “utang-utang sosial” yang masih banyak tertunda. ***

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*) Penulis: Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES