Kopi TIMES

Matahari Kembar di Langit Kekuasaan

Jumat, 25 April 2025 - 10:54 | 8.96k
Aden Farih Ramdlani, Mahasiswa Ilmu Politik Sekolah Pascasarja UIN Jakarta
Aden Farih Ramdlani, Mahasiswa Ilmu Politik Sekolah Pascasarja UIN Jakarta
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Konon, kiamat akan dimulai ketika matahari terbit dari barat. Namun, di republik ini, kiamat tampaknya sudah dimulai lebih dulu, dua matahari muncul bersamaan di langit kekuasaan. Bukan gelap yang menakutkan; justru silau berlebih yang membutakan arah bangsa. Terang benderang tanpa kompas.

Presiden ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono, pernah berkata di retret kepala daerah di Akmil Magelang, “Presidennya Pak Prabowo. Tidak boleh ada matahari kembar.” Tapi, kalau kata Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Dede Yusuf, “dalam pemerintahan saat ini, matahari hanya satu Pak Prabowo.” Namun, meski Prabowo telah resmi duduk di singgasana, sinar Joko Widodo seakan tak mau tenggelam.

Advertisement

Polemik semakin membara ketika Menteri Kelautan & Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, dan Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, menyapa Jokowi sebagai “bos”. 

Seolah garis komando terbelah. Di tengah langit politik yang penuh sinar ini, kita berada pada titik Verwischung, kaburnya garis antara jabatan formal dan pengaruh personal. Jika dibiarkan, demokrasi bisa berubah dari tata surya yang tertib menjadi pesta kembang api tanpa navigator: indah sesaat, kacau selamanya.

Isyarat lain tampak pada kalender politik, kunjungan sejumlah Menteri ke kediaman Presiden ke-7, Jokowi, hampir bersamaan dengan pertemuan Megawati Soekarnoputri dan Presiden ke-8, Prabowo. Bukan lagi matahari kembar ala Jokowi–Prabowo, tetapi adu terang ketua umum PDIP dengan mantan kadernya—dua pusat magnitudo politik yang berebut langit publik.

Dalam peta politik Indonesia saat ini, tiga tokoh besar saling tarik-menarik dalam sebuah konstelasi yang penuh dinamika: Megawati, Jokowi, dan Prabowo. Ketiga tokoh ini tidak hanya mengisi ruang kekuasaan, tetapi juga menentukan arah politik di era pasca-Jokowi. Megawati, sebagai Ketua Umum PDIP, berada di posisi yang cukup sentral. 

Di satu sisi, ia harus menjaga relevansi partainya setelah era Jokowi mantan kadernya yang mendominasi politik Indonesia selama dua periode. Di sisi lain, ia juga harus menahan laju kekuatan “Jokower” yang terus berusaha mempengaruhi peta politik. Megawati menyadari bahwa untuk mempertahankan kekuatan PDIP, ia membutuhkan Prabowo. 

Dengan Prabowo di posisi strategis, ia berharap bisa menjaga keseimbangan dan mengamankan posisi partainya di tengah persaingan Jokowi sebagai mantan kader PDIP dengan Megawati.

Namun, meskipun PDIP berusaha mengamankan posisinya, Jokowi tetap menjadi sosok yang tak bisa diabaikan. Setelah meninggalkan kursi presiden, Jokowi tak sekadar menjadi mantan presiden; ia tetap memiliki kekuatan politik yang signifikan sebagai king maker.

“Jokowinomics” telah berkembang menjadi sebuah konsep yang hampir seperti soft deep state, sebuah kekuatan yang tetap mempengaruhi kebijakan meskipun Jokowi sudah tidak lagi menjabat. 

Setiap kali menteri-menteri baru mendatangi Solo, publik pun tak henti-hentinya bertanya, adakah kebijakan yang sebenarnya berputar di luar rapat kabinet? Jokowi, meskipun telah turun panggung, tetap memegang peran penting dalam menentukan arah kebijakan negara.

Sementara itu, Prabowo sebagai presiden baru memiliki tugas yang jauh lebih berat. Ia harus menjaga stabilitas dua cahaya yang beradu silau yang berasal dari Megawati dan Jokowi Prabowo perlu menegakkan dua prinsip utama: 

Pertama, meritokrasi total, di mana rotasi pejabat dilakukan berdasarkan kinerja dan bukan berdasarkan siapa yang “bukan orang matahari sebelumnya”. Kedua, ia harus membangun dialog tripartit institusional yang melibatkan presiden, ketua umum partai besar, dan mantan presiden. 

Pertemuan berkala yang bersifat terbuka ini penting untuk memastikan agar energi politik yang berbeda bisa bersatu dan tidak saling menggerus, menjaga agar demokrasi tetap sehat dan tak terpolarisasi.

Dengan ketiga tokoh ini, Indonesia seolah berada dalam sebuah segitiga gravitasi politik yang sangat kuat. Masing-masing berusaha untuk memanfaatkan posisi mereka demi kepentingan politik dan kekuasaan, namun juga memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga stabilitas dan keberlanjutan demokrasi. 

Jika mereka berhasil menata ulang hubungan ini dengan bijaksana, maka Indonesia berpotensi melihat sinergi yang luar biasa. Namun, jika salah satu dari mereka gagal untuk menanggalkan ambisi pribadi demi kepentingan publik, maka segitiga ini bisa saja berubah menjadi struktur yang saling tarik-menarik, merusak fondasi politik yang sudah terbentuk.

Stabilitas tidak akan tercapai dengan memadamkan salah satu cahaya. Sebaliknya, yang diperlukan adalah prisma kelembagaan yang bisa memecah kilau menjadi warna-warna kebijakan yang merata ke seluruh republik.

Kiamat kosmis mungkin datang ketika matahari terbit dari barat; namun kiamat republik ini akan terjadi ketika kita mengoleksi matahari demi gengsi, lalu menamai kebingungan itu dengan nama “stabilitas.”

Fiat lux, et lux una sit, jadilah terang, dan biarlah terang itu tetap satu. Jika Prabowo, Megawati, dan Jokowi bersedia menata ulang spektrum mereka, maka publik akan mendapatkan pelangi yang indah. Namun jika tidak, sinar-sinar tersebut akan saling menelan, dan kita akan kembali meraba di bawah langit yang silau.

***

*) Oleh : Aden Farih Ramdlani, Mahasiswa Ilmu Politik Sekolah Pascasarja UIN Jakarta.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

____
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES