Kopi TIMES

Merayakan Diversifikasi Pangan di Hari Raya

Jumat, 25 April 2025 - 12:29 | 14.76k
Kuntoro Boga Andri, Kepala Pusat BRMP Perkebunan, Kementerian Pertanian
Kuntoro Boga Andri, Kepala Pusat BRMP Perkebunan, Kementerian Pertanian
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Momentum hari Raya Idulfitri yang baru saja berlalu, bukan hanya perayaan spiritual bagi umat Muslim Indonesia, tetapi juga dapat dimaknai sebagai  perayaan kekayaan dan potensi pangan Nusantara.

Di balik kemeriahan acara saling memaafkan dan silaturahmi keluarga, tersimpan narasi penting tentang sajian kuliner lebaran, dimana tersaji diversifikasi pangan dan inovasi pengolahannya yang merupakan warisan budaya sekaligus  pilar ketahanan pangan nasional. 

Advertisement

Hidangan Idulfitri bukan hanya identik dengan ketupat, opor ayam, atau rendang. Tetapi jika menelisik lebih jauh, setiap daerah di Indonesia memiliki kekhasan menu Lebaran berbasis bahan lokal dan tradisi. 

Di Aceh, labu kari dan sayur labu air menjadi sajian utama. Masyarakat Medan memadukan gulai nangka muda dengan rempah-rempah khas. Sementara di Jawa Tengah, lodeh terong hijau dengan bunga kecombrang dan jagung rebus menawarkan cita rasa yang unik. 

Wilayah timur Indonesia justru menjadi surga pangan lokal berbasis jagung, ubi, dan sagu. Di Sulawesi, kusuami, olahan singkong dan kelapa parut, disajikan dalam bentuk tumpeng sebagai simbol syukur. 

Masyarakat Maluku dan Papua menghidangkan papeda, bubur sagu yang dinikmati dengan ikan bakar dan sayur asam pedas. Tak ketinggalan, sinonggi khas Sulawesi Tenggara yang teksturnya mirip papeda, namun disantap dengan lauk ikan tenggiri dan sayur katuk. 

Kekayaan ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia telah lama merayakan diversifikasi pangan secara turun-menurun. Bahan-bahan seperti sagu, jagung, dan umbi-umbian bukan sekadar alternatif beras, tetapi telah lama menjadi sumber utama nutrisi yang unggul. 

Misalnya, sagu mengandung 355 kalori per 100 gram, dengan kadar serat 5% dan rendah lemak (0,2 gram), menjadikannya ideal untuk masyarakat aktif. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023 mencatat, produksi sagu nasional mencapai 315 ribu ton, dengan Maluku dan Papua sebagai penghasil utama. Namun, pemanfaatannya masih terbatas secara geografis di wilayah timur Indonesia dan sebagian Sumatera. 

Pergeseran Pola Konsumsi 

Tahun 1960-an, pola konsumsi pangan Indonesia jauh lebih beragam. Beras hanya menyumbang 53,5% asupan karbohidrat, sedangkan ubi kayu (22,6%), jagung (18,9%), dan kentang (4,99%) mendominasi sisanya. 

Kini, beras menguasai 80% konsumsi karbohidrat, sementara jagung dan ubi hanya 8% dan 10%. Pergeseran ini dipengaruhi kebijakan Orde Baru yang fokus pada swasembada beras melalui Revolusi Hijau, meski mengorbankan keragaman pangan lokal. 

Presiden Soekarno sejak 1950-an telah mengingatkan pentingnya diversifikasi. Gagasannya terwujud dalam kampanye “empat sehat lima sempurna” yang mendorong konsumsi pangan seimbang. Sayangnya, kebijakan tersebut tidak sepenuhnya berjalan akibat tekanan politik dan ekonomi. 

Kini, Kementerian Pertanian dan Badan Pangan Nasional kerap melakukan upaya revitalisasi diversifikasi pangan. Program Pekarangan Pangan Lestari (P2L) menjadi andalan, dengan partisipasi ribuan rumah tangga pada 2023. Program ini mendorong pemanfaatan lahan sempit untuk budidaya sayuran, buah, dan ternak skala rumah tangga. 

Ketergantungan pada beras tidak hanya mengurangi keragaman menu, tetapi juga rentan terhadap krisis iklim. Data FAO (2022) menyebutkan, 35% produksi beras global terancam gagal panen akibat cuaca ekstrem pada 2040. 

Indonesia, sebagai negara konsumen beras terbesar di dunia (sekitar 34 juta ton beras per tahun), selain perlu meningkatkan produksinya, juga harus mengantisipasi hal tersebut dengan memperkuat pangan lokal. 

Sagu, misalnya, memiliki ketahanan tinggi terhadap banjir dan kekeringan. Tanaman ini bisa tumbuh di lahan gambut dan marginal, yang tidak cocok untuk padi. Produktivitas sagu pun mencapai 20-25 ton pati per hektare, yang berarti produktivitasnya tiga kali lipat padi. 

Di Papua, masyarakat adat telah membuktikan ketahanan pangan berbasis sagu selama ribuan tahun. Begitu pula jagung, yang dapat diolah menjadi tepung, beras jagung (jagung pipil), bahkan bahan bakar bioetanol. 

Keluarga dan Inovasi Ketahanan Pangan 

Agar pangan lokal bisa bersaing, diperlukan inovasi pengolahan. Misalnya, sebagai substitusi terigu dalam industri bakery, Mocaf (Modified Cassava Flour) dari singkong yang difermentasi sehingga bebas gluten dan bergizi. Produk ini telah banyak digeluti oleh pelaku UMKM, namun produksinya masih belum konsisten dan bergantung pada pesanan. 

Ekspor mocaf terus berkembang, dengan Turki, Amerika Serikat, Eropa dan Asia Tenggara sebagai pasarnya. Pengolahannya memberikan nilai tambah tinggi, menciptakan lapangan kerja, dan membuka peluang bisnis dari produksi tepung hingga diversifikasi produk pangan.

Contoh lain adalah sagu, UMKM berhasil mengolah sagu menjadi mie yang laris di pasar regional. Mie sagu ini berbahan alami, kaya serat, dan menjadi alternatif sehat pengganti mi instan berbasis terigu. Salah satu pelaku usaha, di Kabupaten Bengkalis, telah memproduksi mie sagu selama lebih dari 15 tahun, lengkap dengan sertifikat halal dari MUI dan sertifikasi industri rumah tangga. 

Inovasi berlanjut dengan pengembangan mie sagu instan dalam beragam rasa dan warna, bahkan diperkaya dengan ikan dan udang untuk menambah nilai gizi. Upaya ini tak hanya memperluas diversifikasi produk sagu, tetapi juga membuka peluang ekonomi lokal melalui pengembangan produk unggulan daerah. 

Selain itu, sagu juga diolah menjadi produk inovatif seperti beras sagu. Pelopornya lainnya adalah PT Galih Sagu Pangan yang sejak 2018 memproduksi beras sagu bermerek “Mama Papua” sebagai alternatif pangan pokok dengan keunggulan seperti indeks glikemik rendah, bebas gula, bebas gluten, dan rendah natrium. Mereka juga mengembangkan varian beras sagu berbumbu dengan delapan rasa khas Nusantara serta versi instan yang bisa dimasak tanpa rice cooker.

Kementerian Pertanian juga menekankan peran program inovatif pertanian keluarga dalam mendukung diversifikasi pangan. Dengan memanfaatkan pekarangan, setiap rumah tangga bisa menanam sayuran, buah, atau beternak ikan dalam ember. Teknologi vertikultur dan hidroponik memungkinkan produksi di lahan terbatas. Di Surabaya, kelompok ibu-ibu PKK dapat menghasilkan 10 ton sayuran per bulan dari kebun vertikal. 

Momentun Hari Raya

Momentum Idulfitri adalah waktu yang tepat untuk merevitalisasi semangat diversifikasi. Tradisi saling mengirim parsel antar keluarga dan antar daerah bisa diisi dengan produk lokal nonberas, seperti kue sagon khas Yogyakarta atau bagea dari Maluku. Pemerintah daerah perlu menggalakkan pelatihan pengolahan pangan lokal bagi UMKM, sementara masyarakat diajak mencoba hidangan khas daerah lain. 

Di tingkat global, Indonesia bisa mencontoh Jepang yang sukses mempopulerkan washoku (kuliner tradisional) sebagai Warisan Budaya UNESCO. Indonesia dengan kekayaan lebih dari 100 jenis sumber tanaman karbohidrat, 250 sayuran, dan 450 buah-buahan, negara kita memiliki modal besar menjadi global leader dalam pangan sehat dan diversifikasi pangan. 

Keberagaman hidangan Lebaran bukan hanya soal rasa, tetapi cerminan identitas bangsa yang majemuk. Dengan menjadikan diversifikasi pangan sebagai gaya hidup, kita tidak hanya melestarikan warisan leluhur, tetapi juga membangun ketahanan pangan yang adaptif terhadap perubahan zaman. 

Seperti kata pepatah, “Tak kenal maka tak sayang”, mengenal dan mencintai pangan lokal adalah langkah pertama menuju kedaulatan pangan yang sesungguhnya.

***

*) Oleh : Kuntoro Boga Andri, Kepala Pusat BRMP Perkebunan, Kementerian Pertanian.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

___
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

 

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES