
TIMESINDONESIA, PADANG – Indonesia memancang cita-cita menjadi negara maju pada 2045. Visi besar ini tak sekadar ambisi elite, tapi sudah terpatri dalam dokumen negara: Indonesia Emas. Salah satu syarat menuju ke sana adalah menjadikan ekonomi nasional lebih inklusif, kuat, dan berkelanjutan.
Di titik inilah UMKM-Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah kembali disebut-sebut sebagai "tulang punggung" perekonomian. Namun, di balik retorika itu, nasib UMKM kerap dipinggirkan.
Advertisement
Angka yang dikutip saban tahun memang menawan. Sebanyak 65,5 juta pelaku UMKM menyumbang 61 persen Produk Domestik Bruto, menyerap 97 persen tenaga kerja, dan menyumbang 15 persen ekspor nonmigas.
Tetapi angka tak selalu memotret kenyataan. Banyak dari UMKM ini masih terseok, berjalan di atas kaki sendiri, tak sepenuhnya ditopang oleh kebijakan publik yang berpihak.
Regulasi yang Mandek di Masa Lalu
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 selama ini menjadi rujukan utama bagi kebijakan UMKM. Usianya kini sudah lebih dari 16 tahun cukup tua untuk sebuah peraturan di tengah dunia usaha yang bergerak cepat.
Selama itu pula, landscape ekonomi global berubah drastis: digitalisasi, disrupsi teknologi, dan krisis demi krisis yang menguji daya tahan pelaku usaha.
Beberapa perbaikan memang sempat dilakukan. Pemerintah mengesahkan Perppu Cipta Kerja yang kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023.
Isinya menyisipkan sejumlah pasal baru untuk UMKM, mulai dari pemberian pendampingan hukum, fasilitasi perizinan, hingga penyediaan ruang promosi di pusat perbelanjaan dan infrastruktur publik. Tapi alih-alih menyelesaikan akar masalah, banyak dari pembaruan ini justru bersifat kosmetik.
UMKM di lapangan masih berkutat pada problem klasik: akses pembiayaan, rendahnya inovasi, keterbatasan teknologi, dan minimnya literasi pasar. Tak jarang, mereka hanya menjadi objek intervensi sesaat-dibantu saat kampanye, dilibatkan saat acara seremonial, tapi ditinggal ketika krisis benar-benar datang.
Sanksi yang Ompong, Janji yang Menggantung
Yang juga jadi soal adalah ketiadaan mekanisme pengawasan dan sanksi. Regulasi memang menyebut kewajiban pemerintah dan swasta untuk mengalokasikan ruang dan anggaran bagi UMKM. Tapi dalam praktiknya, implementasi itu kerap tak terwujud. Pasal demi pasal berhenti di atas kertas.
Contoh paling konkret: pengalokasian minimal 40 persen pengadaan barang/jasa pemerintah untuk produk UMKM dan koperasi. Kebijakan ini bagus secara prinsip, tapi sulit dijalankan tanpa sanksi yang mengikat bagi instansi yang abai.
Demikian pula soal penyediaan 30 persen ruang promosi di fasilitas publik seperti stasiun, terminal, bandara, dan pelabuhan. Banyak pelaku UMKM tak pernah merasakan dampaknya secara nyata.
Celakanya, UU Nomor 20 Tahun 2008 tidak menyediakan pasal sanksi bagi pihak yang lalai melaksanakan kewajibannya. Akibatnya, kepatuhan jadi relatif, dan tanggung jawab melemah. Tanpa mekanisme penegakan hukum, regulasi hanya jadi dokumen normatif yang tak punya daya paksa.
UMKM dalam Bayang-Bayang Janji Pemerintah Baru
Pemerintahan baru Prabowo-Gibran membawa slogan “Asta Cita,” delapan agenda prioritas untuk lima tahun mendatang. Salah satu poin utamanya adalah pemberdayaan UMKM dan penciptaan lapangan kerja berkualitas. Janji ini tentu sejalan dengan amanat UU UMKM untuk menjadikan sektor ini sebagai alat pemerataan ekonomi dan pengentasan kemiskinan.
Namun jalan menuju ke sana tak bisa hanya ditopang oleh visi. Ia perlu struktur yang jelas, rencana aksi yang terukur, dan regulasi yang diperbarui. Pemerintah memang telah meluncurkan kebijakan semacam penghapusan utang macet UMKM lewat PP Nomor 47 Tahun 2024. Tapi langkah ini tak menyentuh akar daya saing. Tanpa transformasi menyeluruh, UMKM tetap akan terjebak dalam perangkap produktivitas rendah.
Kondisi ini diperparah oleh tumpang tindih program lintas kementerian, lemahnya koordinasi antarlembaga, dan belum optimalnya platform digital pemerintah untuk menyatukan data UMKM.
Pemerintah pusat, daerah, BUMN, dan swasta punya cara masing-masing memberdayakan UMKM, tapi tanpa harmonisasi yang efektif.
Butuh Regulasi Baru yang Mendasar dan Progresif
Sudah waktunya kita berhenti melihat UMKM sebagai jargon populis semata. Perlu regulasi baru yang tidak hanya memuat semangat perlindungan, tapi juga memastikan transformasi.
Salah satunya melalui penguatan posisi UMKM dalam rantai pasok nasional dan global. Ini berarti memberikan insentif bagi UMKM yang mampu berinovasi, mempermudah akses ke teknologi, dan memperkuat ekosistem kemitraan dengan perusahaan besar.
Selain itu, perlu ada afirmasi bagi pelaku usaha mikro dan kecil yang belum bankable agar tetap bisa mengakses pembiayaan—bukan hanya lewat kredit bank, tapi juga melalui lembaga keuangan alternatif yang diatur dan diawasi dengan baik.
Di tengah gempuran platform digital, UMKM juga harus dibekali keterampilan baru untuk masuk ke pasar e-commerce, memperkuat merek, dan memahami algoritma pasar.
Tak kalah penting adalah aspek perlindungan hukum. Banyak UMKM yang menjadi korban praktik sewa-menyewa sepihak, penggusuran, atau pelanggaran kontrak karena tak punya akses ke bantuan hukum. Negara harus hadir dengan perangkat pendampingan hukum berbasis komunitas, bukan sekadar penyuluhan formal.
Revisi yang Berani dan Berpihak
Merevisi UU UMKM bukan semata memperbarui pasal, tapi juga menanamkan semangat baru dalam berpemerintahan: keberpihakan yang terukur dan berkeadilan. Jika tidak, UMKM akan terus menjadi pelengkap wacana pembangunan tanpa pernah benar-benar diberdayakan.
Indonesia memang butuh unicorn dan investor besar, tapi jangan lupakan kekuatan tersembunyi dari gerobak bakso, kios kelontong, perajin bambu, hingga warung kopi digital di desa-desa. Di tangan merekalah ekonomi Indonesia berdetak setiap hari.
Jika negara benar-benar ingin UMKM menjadi tulang punggung ekonomi, maka saatnya berhenti memberi beban, dan mulai memberi daya.
***
*) Oleh : Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |