Kopi TIMES

Geo-ekonomi dan Diplomasi Digital Indonesia

Sabtu, 26 April 2025 - 17:42 | 6.58k
Munawir Aziz, Penerima Beasiswa AIFIS untuk Studi dan Riset di Amerika Serikat, Sekretaris PCI Nahdlatul Ulama United Kingdom (2020-2023)
Munawir Aziz, Penerima Beasiswa AIFIS untuk Studi dan Riset di Amerika Serikat, Sekretaris PCI Nahdlatul Ulama United Kingdom (2020-2023)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Di era ketika kabel fiber optik dan data lintas batas menggantikan jalur sutra kuno, diplomasi tidak lagi sekadar perkara negosiasi politik atau perdagangan, tetapi juga bagaimana negara mengelola kekuasaan digital. 

Dalam konteks ini, Indonesia menghadapi tantangan strategis untuk memainkan peran yang cerdas di tengah rivalitas geo-ekonomi antara dua kekuatan utama dunia: Amerika Serikat dan Tiongkok.

Advertisement

Diplomasi digital dapat dipahami sebagai dua hal sekaligus: penggunaan teknologi digital dalam praktik diplomasi, dan pengelolaan isu-isu digital dalam hubungan internasional. 

Dalam praktiknya, diplomasi digital mencakup bagaimana negara bernegosiasi mengenai keamanan siber, tata kelola data, pengembangan infrastruktur digital, hingga keterlibatan dalam platform global seperti Internet Governance Forum (IGF), G20 Digital Economy Task Force, dan International Telecommunication Union (ITU).

Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia dan pasar digital terbesar di Asia Tenggara berada dalam posisi strategis. Namun posisi ini juga sarat risiko. 

Dengan ketergantungan tinggi pada infrastruktur digital asing, ketimpangan penguasaan teknologi, serta belum matangnya tata kelola data nasional, Indonesia perlu merumuskan strategi diplomasi digital yang tidak hanya reaktif, tetapi juga proaktif dan berjangka panjang.

Kontestasi Politik Internasional

Dalam beberapa tahun terakhir, kontestasi antara AS dan Tiongkok dalam domain teknologi semakin membesar. Inisiatif ‘Clean Network’ yang diusung AS menargetkan pembersihan infrastruktur digital global dari perusahaan yang dianggap "tidak aman", terutama perusahaan-perusahaan asal Tiongkok seperti Huawei dan ZTE. 

Sebaliknya, Tiongkok mengembangkan ‘Digital Silk Road’, bagian dari Belt and Road Initiative (BRI), yang menawarkan infrastruktur digital, pusat data, hingga sistem pembayaran digital ke negara-negara berkembang, termasuk di Asia Tenggara.

Indonesia berada di titik pertemuan dua kekuatan ini. Di satu sisi, Huawei dan ZTE menjadi pemain penting dalam pembangunan jaringan 4G dan 5G di Indonesia. 

Di sisi lain, perusahaan teknologi AS seperti Google, Meta, Amazon Web Services, dan Microsoft mendominasi layanan cloud dan platform digital di dalam negeri. Posisi ini menempatkan Indonesia dalam dilema geopolitik: bagaimana membangun kedaulatan digital tanpa terjebak dalam logika "pilih blok"?

Menuju Kedaulatan Digital

Upaya menuju kedaulatan digital mulai terlihat dengan disahkannya Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) pada 2022, yang menjadi tonggak penting dalam tata kelola data nasional. Namun tantangan belum selesai. 

Sejumlah isu masih terbuka: bagaimana posisi Indonesia terhadap arsitektur global data governance? Sejauh mana data warga negara Indonesia disimpan dan diproses oleh entitas asing? Apa posisi kita dalam debat internasional tentang data localization dan cross-border data flow?

Selain itu, penting untuk dicermati bahwa kedaulatan digital bukan hanya soal regulasi, tetapi juga infrastruktur. Hingga kini, sebagian besar data digital Indonesia masih "berjalan" di atas jaringan dan server milik korporasi asing. 

Investasi dalam pusat data nasional, satelit internet (seperti Satria-1), serta penguatan kapasitas Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) menjadi langkah strategis yang tak bisa ditunda.

Diplomasi Digital Multilapis

Indonesia sejatinya telah mulai mengambil peran dalam diplomasi digital, baik secara bilateral maupun multilateral. Di ASEAN, Indonesia mendorong ASEAN Digital Masterplan 2025 dan kerja sama keamanan siber lintas negara. 

Dalam forum G20, saat menjadi presidensi pada 2022, Indonesia menekankan inklusivitas ekonomi digital sebagai agenda utama. Sementara itu, keterlibatan Indonesia dalam IGF dan diskusi global tentang tata kelola AI juga mulai terbentuk.

Namun upaya ini masih bersifat parsial. Belum ada narasi strategis tunggal yang menjadikan diplomasi digital sebagai pilar dalam kebijakan luar negeri Indonesia. Padahal, isu-isu seperti penyalahgunaan data, misinformasi lintas negara, hingga pemanfaatan AI dalam konflik global sudah menjadi isu utama dalam hubungan internasional.

Di tengah meningkatnya tren digital protectionism dan ketegangan cyber di berbagai belahan dunia, Indonesia harus memastikan bahwa kebijakan digitalnya tidak hanya berbasis keamanan, tetapi juga berbasis pembangunan. 

Dengan populasi muda yang digital-native dan pasar ekonomi digital yang tumbuh cepat, Indonesia punya modal kuat untuk menjadi norm entrepreneur dalam isu-isu digital global.

Strategi Diplomasi Digital

Pertama, formulasi strategi diplomasi digital nasional yang jelas perlu segera dilakukan. Strategi ini harus melibatkan Kementerian Luar Negeri, Komdigi, BSSN, BRIN, serta aktor non-negara seperti akademisi dan sektor swasta. 

Strategi ini bisa berbentuk Digital Foreign Policy Framework yang menempatkan isu digital setara dengan isu pertahanan, perdagangan, dan lingkungan.

Kedua, peningkatan kapasitas ‘diplomat digital’ menjadi kebutuhan mendesak. Isu-isu seperti pengaturan AI, teknologi kuantum, hingga etika penggunaan data membutuhkan pemahaman lintas bidang. Perlu disiapkan diplomat yang tidak hanya fasih berbahasa diplomasi, tetapi juga memahami aspek teknologinya.

Ketiga, penguatan kerja sama ‘Global South’ dalam isu digital perlu ditingkatkan. Negara-negara berkembang memiliki kepentingan bersama dalam memperjuangkan tata kelola digital yang adil, terbuka, dan berbasis keadilan teknologi. Indonesia bisa memainkan peran jembatan antara utara dan selatan dalam arsitektur digital global yang sedang terbentuk.

Rivalitas AS-Tiongkok dalam ranah teknologi adalah kenyataan yang tidak dapat dihindari. Namun Indonesia tidak harus menjadi penonton atau sekadar objek dalam tarik-menarik kekuatan tersebut. 

Dengan strategi diplomasi digital yang cerdas, inklusif, dan berbasis kepentingan nasional, Indonesia dapat menjadi aktor penting dalam membentuk masa depan digital yang berdaulat dan berkeadilan. (*)

***

*) Oleh : Munawir Aziz, Penerima Beasiswa AIFIS untuk Studi dan Riset di Amerika Serikat, Sekretaris PCI Nahdlatul Ulama United Kingdom (2020-2023).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES