Kopi TIMES

Poligami Siri: Kemaslahatan Anak dalam Bayang Ketidakpastian

Selasa, 29 April 2025 - 12:55 | 31.83k
Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – Poligami siri masih menjadi fenomena yang terjadi di banyak tempat di Indonesia. Tanpa dicatat secara resmi oleh negara, praktik ini kerap dianggap sah karena telah memenuhi syarat secara agama. Namun, di balik anggapan itu, ada kenyataan yang pahit dan rumit—terutama bagi anak-anak yang lahir dari pernikahan tersebut.

Anak dari poligami siri sering kali berada dalam posisi yang lemah. Mereka tidak memiliki akta kelahiran yang jelas, sulit mengakses hak waris, bahkan bisa kehilangan kesempatan memperoleh layanan publik hanya karena pernikahan orang tuanya tidak tercatat di negara. Di sinilah letak masalah besarnya: hukum kita masih belum sepenuhnya hadir untuk mereka.

Advertisement

Disparitas hukum antara pernikahan sah dan pernikahan siri menciptakan jurang perlakuan yang sangat nyata. Di satu sisi, hukum memberikan perlindungan penuh kepada keluarga yang diakui negara. Di sisi lain, anak-anak dari pernikahan siri sering kali diabaikan, meski mereka tak pernah meminta dilahirkan dari hubungan semacam itu.

Kita tak bisa menutup mata. Perlindungan hukum yang konsisten dan jelas seharusnya menjadi hak semua anak, tanpa kecuali. Tak peduli bagaimana status orang tuanya, anak-anak tetap harus dijamin haknya oleh negara. Sayangnya, hingga kini belum ada langkah nyata dan serius dari pembuat kebijakan untuk menutup celah ini.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Padahal, ketidakpastian hukum ini bukan hanya merugikan anak. Istri dalam pernikahan siri pun kerap kali terabaikan. Mereka tak bisa menuntut nafkah, tak punya kekuatan hukum jika ditinggalkan, dan tak punya tempat dalam sistem hukum kita. Dalam kondisi ini, perempuan dan anak menjadi korban utama dari praktik yang seharusnya bisa diatur dengan lebih adil dan manusiawi.

Negara perlu hadir lebih aktif. Regulasi tentang isbat nikah, akses mudah terhadap pencatatan kelahiran, hingga perlindungan hak-hak sipil bagi anak-anak dari pernikahan siri harus segera diperkuat. Edukasi hukum kepada masyarakat juga penting, agar tidak ada lagi yang menyalahgunakan praktik poligami atas nama agama, tanpa memperhatikan dampak sosial dan hukum yang ditimbulkan.

Jika hukum terus membiarkan kesenjangan ini, maka keadilan hanya akan jadi milik sebagian orang. Anak-anak dari poligami siri akan terus tumbuh dengan luka hukum yang tak kunjung sembuh. Dan itu bukan hanya tanggung jawab orang tua mereka, tapi juga tanggung jawab negara.

Lebih ironis lagi, praktik poligami siri kerap dilakukan dengan dalih agama, padahal banyak dari pelaksanaannya justru menyimpang dari nilai keadilan dan tanggung jawab yang ditekankan dalam ajaran agama itu sendiri. Agama mengajarkan keadilan, perlindungan terhadap yang lemah, serta tanggung jawab sosial. Namun dalam praktiknya, poligami siri sering kali justru menjadi alat untuk menghindari tanggung jawab.

Negara tidak bisa terus membiarkan kekosongan hukum ini terjadi. Harus ada langkah progresif—seperti mempermudah proses isbat nikah, memfasilitasi pencatatan kelahiran bagi anak-anak dari pernikahan siri, serta menyediakan perlindungan sosial yang layak bagi mereka. Selain itu, edukasi hukum kepada masyarakat tentang pentingnya pencatatan pernikahan juga penting agar masyarakat lebih sadar akan risiko hukum yang dihadapi.

Anak-anak dari pernikahan siri tidak seharusnya menanggung beban dari keputusan yang dibuat orang dewasa. Mereka berhak mendapatkan pengakuan, perlindungan, dan kesempatan hidup yang sama seperti anak-anak lainnya. Sebab pada akhirnya, kemaslahatan anak adalah cermin dari keberadaban sebuah bangsa. Negara yang adil adalah negara yang tidak membiarkan satu pun anaknya tumbuh dalam bayang-bayang ketidakpastian hukum. ***

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*) Penulis: Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES