
TIMESINDONESIA, JAKARTA – RUU Pemilu merupakan salah satu RUU yang masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2025. Kendati begitu, masih terdapat tarik ulur kewenangan antara Komisi II dan Badan Legislasi DPR mengenai siapa yang menjadi leading sector pembahasan RUU ini.
Saat ini, terdapat dua undang-undang yang mengatur mengenai Pemilu dan Pilkada. Kedua undang-undang tersebut adalah UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Wali Kota/Wakil Wali Kota, dan Bupati/Wakil Bupati (UU Pilkada).
Advertisement
Dua undang-undang tersebut menjadi aturan main dalam dua penyelenggaraan Pemilu yakni pada tahun 2019 dan 2024 serta Pilkada serentak 2015, 2017, 2018, 2020, dan 2024.
Uniknya, berdasarkan data persidangan Mahkamah Konstitusi (MK), kedua undang-undang tersebut menjadi undang-undang yang sering diuji ke Mahkamah Konstitusi.
Dari permohonan tersebut, terdapat beberapa pasal yang dibatalkan, ditafsirkan ulang, maupun mendapatkan catatan oleh MK. Hal demikian menyebabkan banyak norma yang mengatur mengenai pemilu dan pilkada menjadi ‘tambal sulam’.
Jangan Lupakan Partisipasi Bermakna
Dalam konteks pembahasan UU Pemilu, proses partisipasi yang bermakna tidak hanya soal akomodasi partisipasi publik, lebih dari itu bahwa proses partisipasi yang bermakna sangat menentukan kesiapan penyelenggaraan pemilu, serta integritas penyelenggara Pemilu.
Kita perlu belajar dari pengalaman masa lalu ketika membahas aturan main mengenai Pemilu. Proses pembahasan RUU pemilu yang mendekati ‘deadline’ jangan dijadikan sebagai dalih untuk mengenyampingkan proses deliberasi dan partisipasi publik yang bermakna.
Terlebih, RUU Pemilu sendiri rencananya akan menggabungkan dua undang-undang sekaligus yakni UU Pemilu dan Pilkada dalam satu naskah kodifikasi.
Penggabungan dua permasalahan tersebut juga berkonsekuensi pada banyaknya Daftar Inventaris Masalah (DIM) yang perlu dibahas.
Semakin banyak DIM dan semakin luas pembahasan suatu undang-undang, berkonsekuensi pada perlunya ekstra pengawasan secara menyeluruh supaya tidak terjadi disparitas dalam pembuatan dan pelaksanaan undang-undang.
Oleh karena itu, fakta bahwa banyaknya pengujian yang dikabulkan atau diberikan catatan terhadap undang-undang pemilu dan pilkada oleh MK, bukankah menunjukan bahwa terdapat disparitas antara norma dan penyelenggaraan pemilu itu sendiri?
Pertanyaan selanjutnya, bukankah justru perlu untuk memperbaiki proses pembahasan RUU Pemilu ini dengan sebaik dan partisipatif mungkin
Tantangan di Koalisi Besar
Tentu kita tidak bisa menafikan bahwa sebagai salah satu produk undang-undang yang akan berpengaruh besar pada konstelasi politik. Pembahasan RUU Pemilu tentu akan mendapatkan perhatian besar dari partai politik.
Sebagai koalisi yang hampir menguasai 80 persen kursi di DPR, partai politik cenderung lebih berhati-hati dalam menggulirkan isu mengenai RUU Pemilu ini. Oleh karenanya, boleh jadi proses penundaan tersebut adalah bentuk kompromi untuk menjaga stabilitas pemerintahan Presiden Prabowo dan Gibran.
Di sinilah ‘status’ sebagai negara demokrasi dipertaruhkan. Kebijakan soal perbaikan sistem pemilu perlulah didukung oleh negara termasuk pula dengan membuat produk legislasi kepemiluan yang berkualitas.
Terlebih, memperkokoh demokrasi menjadi salah satu komitmen pemerintahan Prabowo/Gibran melalui Asta Cita pertama yang meliputi tiga hal yakni: memperkokoh ideologi Pancasila, demokrasi, dan hak asasi manusia (HAM).
Komitmen tersebut perlu dibuktikan dengan tindakan nyata dari pemerintah, agar menciptakan check and balances dalam pemerintahan, termasuk pula saat pembahasan RUU Pemilu nantinya. Partai politik pemenang kursi di DPR tidak boleh menyandera ataupun tersandera dengan kepentingan sesaat, terlebih jika sampai menggadaikan proses demokrasi.
Oleh karena itu, menjadi sangat penting publik dan masyarakat sipil kembali bahu-membahu dalam rangka mengawal proses perancangan RUU Pemilu ini.
Begitu pula bagi pembentuk undang-undang, perlu kiranya untuk menciptakan akses partisipasi yang bermakna saat membahas undang-undang ini. Jangan sampai, undang-undang ini kembali dibahas dengan “sembunyi-sembunyi tanpa mengindahkan partisipasi yang bermakna”.
Lantas, apakah rakyat masih dapat mengharapkan perbaikan tata kelola pemilu melalui RUU Pemilu yang prosesnya saja belum digulirkan? Apakah pembentuk undang-undang memang secara sengaja untuk menunda pembahasan RUU Pemilu untuk mengakali proses partisipasi publik yang bermakna? (*)
***
*) Oleh : Nur Fauzi Ramadhan, S.H., Co-Founder dan Direktur Desk Polhukam Asah Kebijakan Indonesia.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Satria Bagus |