
TIMESINDONESIA, PADANG – Pesta demokrasi telah usai, namun euforianya tidak sampai ke pabrik, kantor, dan pasar kerja. Alih-alih menikmati stabilitas pascapemilu 2024, jutaan pekerja justru dihadapkan pada kenyataan pahit: gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), kontrak kerja tanpa kepastian, dan stagnasi upah minimum yang tak sebanding dengan kenaikan biaya hidup.
Krisis ketenagakerjaan nasional bukan sekadar efek lanjutan dari pandemi atau fluktuasi ekonomi global. Ia adalah hasil dari struktur pasar kerja yang rapuh dan salah urus kebijakan tenaga kerja selama bertahun-tahun.
Advertisement
Data Kementerian Ketenagakerjaan mencatat bahwa sepanjang 2024, sebanyak 77.965 tenaga kerja mengalami PHK, meningkat 20,2% dibanding tahun sebelumnya . Namun, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyebut angka sebenarnya bisa mencapai 250.000 pekerja.
Berdasarkan klaim Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) di BPJS Ketenagakerjaan. Disparitas data ini menunjukkan lemahnya sistem pelaporan dan pengawasan ketenagakerjaan di Indonesia.
Sektor industri padat karya seperti tekstil, garmen, dan alas kaki menjadi yang paling terdampak. PT Sri Rejeki Isman (Sritex), misalnya, merumahkan 11.025 pekerja pada awal Maret 2025 akibat penutupan pabrik. Dalam dua bulan pertama 2025 saja, sekitar 40.000 pekerja telah kehilangan pekerjaan, mayoritas di DKI Jakarta dan Jawa Barat.
Di tengah gelombang PHK, sistem kerja kontrak dan outsourcing semakin menjamur. UU Cipta Kerja yang disahkan pada 2020 dan diperkuat kembali lewat Perppu No. 2 Tahun 2022 telah memperlonggar perlindungan pekerja dan melegalkan praktik fleksibilisasi kerja secara luas.
Alhasil, perusahaan dengan leluasa memperpanjang masa kontrak tanpa batas waktu yang wajar, tanpa kewajiban mengangkat karyawan tetap.
Ketika PHK menjadi “strategi efisiensi” dan kontrak kerja tak lagi menjanjikan masa depan, satu-satunya harapan buruh seharusnya terletak pada besaran upah minimum. Sayangnya, upah pun tidak bergerak signifikan.
Menurut BPS, rata-rata kenaikan UMP 2024 hanya sekitar 3,5% jauh di bawah kenaikan harga barang pokok yang mencapai 6–8% di banyak daerah. Kesenjangan ini membuat daya beli buruh makin tergerus, terutama di kawasan industri seperti Jawa Barat, Banten, dan Batam.
Situasi ini menunjukkan betapa lemahnya posisi tawar pekerja di tengah arus liberalisasi ekonomi dan deregulasi ketenagakerjaan. Negara tidak hadir sebagai pelindung, tapi justru menjadi fasilitator fleksibilitas tenaga kerja atas nama investasi.
Upaya revisi sistem pengupahan melalui formula baru berbasis inflasi dan pertumbuhan ekonomi terbukti tak memberikan ruang tawar yang adil bagi buruh. Serikat-serikat pekerja pun kian sulit memperjuangkan hak karena tergerus sistem represif dan kooptasi kelembagaan.
Krisis ini tidak bisa dibiarkan menjadi masalah sektoral. Ia adalah bom waktu sosial. Ketimpangan antara produktivitas dan kesejahteraan akan melahirkan keresahan dan menumbuhkan kelompok miskin baru.
Mereka yang tersingkir dari sektor formal tidak otomatis terserap ke sektor informal yang juga sudah jenuh. Indonesia bisa saja jatuh ke dalam jebakan negara berpendapatan menengah tanpa stabilitas sosial.
Pemerintah baru yang lahir dari Pemilu 2024 harus segera menjawab persoalan ini dengan strategi menyeluruh. Pertama, membekukan perluasan sistem outsourcing dan kontrak jangka panjang tanpa batas waktu.
Kedua, meninjau kembali mekanisme pengupahan agar mempertimbangkan kebutuhan hidup layak, bukan hanya angka statistik makro.
Ketiga, memperkuat jaminan sosial ketenagakerjaan yang benar-benar menjangkau pekerja terdampak, bukan sekadar formalitas klaim program.
Indonesia punya bonus demografi, tapi tidak akan berarti apa-apa jika generasi produktifnya hanya menjadi buruh murah tanpa masa depan. Pasar kerja yang sehat adalah pondasi kemajuan ekonomi.
Jika negara gagal melindungi pekerjanya, maka pertumbuhan ekonomi hanya akan menjadi ilusi angka yang menipu. Karena di ujungnya, tidak ada pembangunan yang berkelanjutan tanpa keadilan bagi mereka yang bekerja.
***
*) Oleh : Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |