
TIMESINDONESIA, SURABAYA – Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI) telah memasuki fase revolusioner dengan munculnya AI generatif seperti ChatGPT, DALL·E, dan berbagai aplikasi cerdas lainnya. Perubahan ini membawa dampak besar tidak hanya pada dunia kerja dan industri, tetapi juga pada dunia pendidikan.
Di tengah arus digitalisasi yang semakin deras, siswa sekolah dasar (SD) mulai bersentuhan dengan berbagai perangkat digital dan informasi berbasis AI. Dalam konteks inilah, urgensi literasi digital etis menjadi sangat penting.
Advertisement
Literasi Digital Bukan Sekadar Melek Teknologi
Selama ini, literasi digital kerap dimaknai secara sempit sebagai kemampuan mengoperasikan gawai dan mengakses internet. Padahal, literasi digital memiliki dimensi yang jauh lebih dalam, mencakup pemahaman terhadap informasi digital, kemampuan berpikir kritis, kesadaran etis, serta tanggung jawab dalam menggunakan teknologi. Terlebih di era AI generatif, informasi tidak hanya dikonsumsi tetapi juga diciptakan ulang secara otomatis oleh mesin.
Siswa SD adalah generasi digital native yang tumbuh dalam ekosistem internet dan media sosial. Namun, tanpa pendampingan dan penguatan nilai-nilai etis, mereka sangat rentan terhadap hoaks, cyberbullying, plagiarisme, dan penyalahgunaan teknologi AI.
Maka, literasi digital etis perlu ditanamkan sejak dini agar mereka tidak sekadar menjadi pengguna teknologi, tetapi juga subjek yang bertanggung jawab dalam ruang digital.
Peluang dan Ancaman AI Generatif
AI generatif memberi kemudahan luar biasa dalam dunia pendidikan. Guru dapat memanfaatkan ChatGPT untuk membuat soal, materi pembelajaran, dan skenario kelas.
Siswa dapat mencari penjelasan dengan lebih cepat, bahkan membuat gambar atau cerita dengan bantuan AI. Namun, kemudahan ini sekaligus menyimpan ancaman ketika digunakan tanpa kesadaran etis.
Contohnya, banyak siswa mulai menggunakan AI untuk mengerjakan tugas tanpa memahami isinya. Plagiarisme pun terjadi secara halus, karena karya yang dihasilkan tampak orisinal padahal bukan buah pikir siswa sendiri. Dalam jangka panjang, ini menghambat perkembangan berpikir kritis dan kejujuran akademik.
Oleh karena itu, perlu ada literasi yang menekankan etika penggunaan AI: kapan dan bagaimana siswa boleh memanfaatkannya, serta bagaimana menyebut sumber dan menghindari ketergantungan.
Peran Sekolah Dasar sebagai Garda Terdepan
Sekolah dasar memegang peran penting sebagai fondasi karakter siswa. Pembentukan sikap etis dalam dunia digital seharusnya dimulai dari fase ini, bukan menunggu hingga remaja atau dewasa.
Kurikulum Merdeka yang diterapkan saat ini sebenarnya memberi ruang luas bagi penguatan profil pelajar Pancasila, termasuk nilai integritas, gotong royong, dan kemandirian. Nilai-nilai ini sangat relevan dalam praktik literasi digital.
Implementasi literasi digital etis di SD dapat dimulai dengan hal-hal sederhana, seperti: Pertama, Melatih siswa menilai kebenaran informasi yang mereka temui di internet.
Kedua, Membiasakan siswa mencantumkan sumber ketika mengambil informasi. Ketiga, Mengajarkan batasan privasi dan keamanan digital.
Keempat, Mendiskusikan dampak positif dan negatif dari teknologi AI generatif. Kelima, Melibatkan siswa dalam proyek berbasis teknologi yang menumbuhkan tanggung jawab, seperti membuat konten edukatif secara kolaboratif.
Peran Guru dan Orang Tua sebagai Pembimbing Etis
Literasi digital etis tidak bisa dibebankan hanya kepada sekolah. Peran guru dan orang tua sebagai pembimbing sangat krusial. Guru perlu mendapat pelatihan yang memadai tentang perkembangan AI dan cara mendampinginya secara edukatif. Begitu juga orang tua, perlu dilibatkan dalam pemantauan penggunaan perangkat digital di rumah.
Penting pula untuk menciptakan komunikasi terbuka antara guru, siswa, dan orang tua tentang tantangan dan potensi dari teknologi digital. Dengan cara ini, literasi digital tidak hanya menjadi kompetensi teknis, tetapi juga budaya etis yang tumbuh secara kolektif.
Praktik Baik dari Dunia Internasional
Beberapa negara maju telah lebih dulu mengintegrasikan literasi digital etis ke dalam kurikulum dasar. Di Finlandia, misalnya, siswa SD diajarkan untuk membedakan informasi faktual dan opini, serta diberikan pemahaman dasar tentang cara kerja algoritma dan AI. Di Jepang, pendidikan moral digital masuk ke dalam pelajaran wajib sejak jenjang sekolah dasar.
UNESCO dalam laporan Global Education Monitoring Report (2023) juga menekankan bahwa pendidikan abad ke-21 harus mencakup "AI Literacy" yang berbasis nilai. Laporan tersebut mendorong agar literasi AI tidak hanya menitikberatkan pada kemampuan teknis, tetapi juga kesadaran hak digital, keadilan, dan keberlanjutan.
Rekomendasi Kebijakan untuk Indonesia. Pemerintah Indonesia melalui Kemendikbudristek perlu mengambil langkah strategis untuk memperkuat literasi digital etis di sekolah dasar. Beberapa rekomendasi yang dapat dilakukan antara lain:
Pertama, Penyusunan modul literasi digital etis berbasis Kurikulum Merdeka. Pelatihan guru tentang etika teknologi dan AI.
Kedua, Kolaborasi dengan platform teknologi dan organisasi nirlaba untuk menciptakan konten edukatif.
Ketiga, Evaluasi berkala terhadap dampak teknologi digital di lingkungan sekolah. Kampanye nasional tentang etika digital yang menyasar keluarga dan komunitas sekolah.
Di tengah transformasi digital yang semakin cepat, siswa sekolah dasar harus dipersiapkan bukan hanya sebagai pengguna teknologi, tetapi juga sebagai warga digital yang etis, kritis, dan bertanggung jawab.
Literasi digital etis adalah bekal penting untuk menghadapi masa depan yang tidak hanya cerdas secara teknologi, tetapi juga beradab secara moral. Jika tidak dimulai dari sekarang, kita berisiko kehilangan satu generasi yang cerdas secara digital, namun rapuh dalam etika. (*)
***
*) Oleh : Angga Saputra, S.Pd., Guru Pendidikan Agama Islam, SD Labschool UNESA 1.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |