Kopi TIMES

Hakikat Sabar Menuju Ridho Allah

Rabu, 07 Mei 2025 - 20:25 | 14.92k
Dr. Kukuh Santoso, M.Pd, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam Malang (UNISMA).
Dr. Kukuh Santoso, M.Pd, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam Malang (UNISMA).
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – Secara etimologi, kata sabar berasal dari bahasa Arab yaitu sobaro yasbiru, yang artinya menahan. Sedangkan secara terminologi, sabar ialah menahan diri dari segala sesuatu bentuk kesukaran, kesedihan atau menahan diri dalam menghadapi sesuatu yang tidak disukainya. Terdapat beberapa ayat Al-Qur'an yang memberikan gambaran perihal sabar. Allah SWT berfirman dalam surah Al-Anfal ayat 46:

وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنْزَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّبِرِينَ

Advertisement

Artinya: "Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu ber-bantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar."

Imâm Al-Ghazali mendefinisikan sabar yakni kekuatan yang dapat menumbuhkan hidup beragama dalam menghadapi keinginan hawa nafsu. Sabar merupakan salah satu ciri khas manusia yang tersusun dari unsur malaikat dan unsur binatang. Binatang hanya dikuasai oleh keinginan nafsu birahi saja, berbeda dengan malaikat yang tidak dikuasai oleh hawa nafsu. Malaikat semata-mata diarahkan pada kerinduan guna menelusuri keindahan hadirat ketuhanan dan dorongan ke arah derajat kedekatan dengan-Nya. Sepanjang siang dan malam malaikat tiada henti bertasbih menyucikan Allah SWT. Pada diri malaikat tidak terdapat hasrat hawa nafsu. Sementara pada diri manusia dan binatang tidak terdapat sifat sabar.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Serangan diawali dengan menyerang pasukan setan. Seseorang dikatakan telah mampu mencapai tingkatan sabar apabila pendorong agama lebih kuat dalam menghadapi pendorong hawa nafsu sampai mampu mengalahkannya. Sabar dapat terwujud setelah terjadinya perang antara kedua pendorong tersebut. Hal ini serupa seperti kesabaran saat minum obat pahit yang didorong oleh dorongan akal pikiran, namun dicegah oleh dorongan hawa nafsu. Seseorang tidak akan dapat menelan obat pahit tersebut apabila dikalahkan dengan hawa nafsunya. Sebaliknya, seseorang mampu bersabar dengan pahitnya obat agar dapat sembuh, berarti akal pikirannya mampu mengalahkan hawa nafsunya. Dilihat dari kuat dan tidaknya kesabaran, terdiri dari tiga tingkatan:

a. Tingkatan tertinggi, yakni terbelenggunya seluruh dorongan hawa nafsu sampai tidak memiliki kekuatan sama sekali untuk melawan. Pada tingkatan ini dapat diraih dengan kesabaran yang continue dan mujahadah yang terus-menerus.

b. Tingkatan pertengahan, yakni seseorang yang tidak bersungguh-sungguh melakukan peperangan. Kemenangan dalam peperangan itu silih berganti.

c. Tingkatan terendah, yakni kokohnya dorongan-dorongan hawa nafsu dan terkesampingkannya dorongan agama. Pada tingkatan ini, hawa nafsu mampu dikalahkan, sehingga agama menjadi tawanannya hawa nafsu.

Menurut Imâm Al-Ghazali, bersabar terhadap kemewahan artinya tidak cenderung pada kemewahan dan menyadari bahwa semua hanyalah titipan baginya. Anugerah kebahagiaan akan dapat mengantarkannya pada (maqam) kedekatan kepada-Nya. Orang yang bersabar terhadap kemewahan tidak larut dalam kenikmatan dan kelalaian, tetapi akan akan selalu bersyukur atas nikmat yang diberikan. Tiga macam sabar yang bertolak belakang dengan hawa nafsu:

a. Sabar dalam taat, tiga hal yang dibutuhkan orang yang taat dalam kesabaran di-antaranya: pertama, memiliki rasa ikhlas saat memulai ibadah, bersabar dari sifat riya', tipu daya setan dan tipu daya nafsu. Kedua, perlunya kesabaran ketika beramal atau sedang melakukan ibadah, agar tidak malas untuk melaksanakan segala rukun dan sunnah-sunnahnya. Dan ketiga, hendaknya orang yang taat selalu bersabar untuk tidak mengucapkan dan menyebarluaskan amaliahnya setelah melaksanakan ibadah, baik dengan niatan riya ataupun agar didengar orang lain (sum 'ah). Tiga hal tersebut merupakan sikap yang sangat berat untuk melawan hawa nafsu.

b. Sabar terhadap maksiat, lebih sulit lagi apabila bersikap sabar terhadap maksiat, bahkan kepada maksiat yang sudah menjadi watak kebiasaan manusia. Karena yang muncul dalam menghadapi dorongan-dorongan keagamaan disini terdiri dari dua lapisan pasukan, yaitu pasukan hawa nafsu dan pasukan watak kebiasaan.

c. Sabar terhadap hal yang tidak berhubungan dengan ikhtiar seorang hamba, namun seorang hamba berikhtiar pula dalam menangkal dan memper-baikinya. Semisal, tidak membalas godaan dari orang lain, baik itu den-gan tangan atau lisan.

Sebagian sahabat berkata, "Kami tidak menganggap keimanan seseorang itu sebagai keimanan, bila dia tidak dapat bersabar terhadap gangguan orang lain." Seperti halnya berbagai macam musibah. meninggalnya beberapa orang yang dicintai, harta benda musnah, sakit, dan berbagai macam musibah lainnya. Bersabar terhadap hal tersebut akan mendapatkan derajat yang paling tinggi. ***

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*) Penulis: Dr. Kukuh Santoso, M.Pd, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam Malang (UNISMA).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES