Kopi TIMES

Ekonomi Lesuh dan Akademisi Kerakyatan

Sabtu, 10 Mei 2025 - 12:05 | 15.68k
Hari Purnomo, M.E., Dosen di Universitas Islam Ibrahimy Banyuwangi
Hari Purnomo, M.E., Dosen di Universitas Islam Ibrahimy Banyuwangi
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, BANYUWANGI – Indonesia sedang dilanda gundah gulana karena denyut pertumbuhan ekonomi sedang tidak baik-baik saja. Ekonomi terpuruk dan nyaris ambruk. Dari lima kuartal terakhir, angka pertumbuhan menyusut, mengerut, dan menyempit. 

Kuartal pertama di tahun 2025 hanya mencatat angka sebesar 4,87 persen. Ekonomi kita terjun bebas, loyo, dan seakan letih menanggung beban zaman. Tapi jangan buru-buru menyalahkan APBN meskipun utang luar negeri juga meningkat. 

Advertisement

Barangkali persoalannya ada di pelataran rumah kita sendiri. Suasana teduh di warung kopi dan obrolan ringan antar warga yang kini makin jarang. Kita tak lagi me-minarakkan tetangga di teras rumah kita.

Mungkin saja bukan faktor investasi yang menghambat pertumbuhan ekonomi. Barangkali yang menjadi persoalan adalah kebiasaan kita sehari-hari. Yang dulu hangat kini dingin. Yang dulu rajin srawung, sekarang saling curiga. 

Dulu, anak-anak belajar menghidupi dari berbagi sepotong roti, sekarang mereka saling membandingkan harga sepatu. Rejeki dimakan sendiri, nasi tak lagi ditanak bersama. Kita kehilangan satu harta yang paling mahal, yaitu rasa cukup yang dibagi-bagi kepada sesama.

Apa artinya kestabilan dan pertumbuhan ekonomi jika rakyat tak lagi tumbuh bersama. Indonesia katanya gemah ripah loh jinawi, katanya negara gotong royong. Tapi harga beras merengsek naik, gula langka, dan kita impor bawang dari negeri tetangga. 

Ada yang salah dengan rumus kita, atau kita memang malas membaca ulang kitab hidup kita sendiri. Kita ini bangsa petani, tidak hanya sebagai profesi, tapi sarat makna filosofi. Namun, faktanya berbeda. Banyak yang ingin panen tanpa mau menanam. 

Semua ingin cepat kaya raya, tapi tak sabar menumbuhkan. Padahal di desa-desa, masih banyak yang berkeyakinan bahwa hidup adalah soal berbagi air dan menahan lapar bersama. Apakah hidup kita telah meninggalkan nilai-nilai solidaritas?

Pertumbuhan ekonomi yang sehat bukan hanya soal angka-angka, melainkan bagaimana daya hidup masyarakat dapat bertumbuh, solidaritas meningkat, distribusi bahan makanan adil dan merata, dan martabat manusia betul-betul dijaga. Akademisi kerakyatan menjadi jembatan penghubung antara teori ekonomi dan denyut sosial yang nyata. 

Mereka bisa menghidupkan kembali nilai-nilai gotong royong, kemandirian, dan pemberdayaan komunitas yang selama ini terpinggirkan oleh pola-pola pembangunan yang elitis.

Ada keterputusan hubungan, antara peran akademisi dengan denyut kehidupan masyarakat. Di tengah situasi ekonomi yang tidak stabil seperti sekarang, masih banyak Akademisi yang berdiri di puncak menara gading. 

Ilmuwan kita terlalu sering duduk di ruang ber-AC. Mereka cukup merasa nyaman hanya dengan mengamati naik turun nya grafik angka kemiskinan. Dosen sibuk menyusun proposal dana hibah, berburu peluang dan membangun citra intelektual tapi mendadak lupa cara menyapa para petani yang kehilangan pupuk. Sekadar salam sapa saja, nyaris punah.

Akademisi kerakyatan harus merakyat, dipastikan berada di tengah gemuruh persoalan rakyat, melihat dan ikut merasakan derita rakyat. Jika ingin keadaan berubah menjadi lebih baik. Ingat, para cendekiawan tidak boleh slindutan, merunduk di balik kekuasaan. Naudzubillah. 

Jangan sampai, dosen yang gajinya kecil, merapat ke pejabat, berharap dapat jatah proyek pengabdian dengan menghalalkan segala cara. Sogok sana-sogok sini. Amplop sana-amplop sini. Harus ada kerelaan hati, bahwa pendidik punya misi dan tugas mendidik bangsa ini. 

Guru, dosen, ilmuwan, dan cendekiawan berdiri di garda terdepan perubahan. Akademisi adalah suri tauladan bagi masyarakat. Mereka hidup sederhana tapi sangat besar pengaruhnya.

Ekonomi lesu bukan hanya karena rendahnya daya beli sehingga pasar menjadi sepi, tapi karena akal sehat semakin langka. Karena yang pintar lupa jadi bijak dan yang punya gelar berderet-deret lupa belajar dari rakyat. 

Kemiskinan semakin membengkak bukan cuma karena PHK, tapi karena para cerdik pandai bekerja hanya menggali data dan pejabat tak pandai membangun aturan yang merujuk pada kemanusiaan.

Akademisi kerakyatan bisa menjadi katalis pemulihan ekonomi di tingkat lokal dan nasional. Pertumbuhan ekonomi tidak mungkin berjalan dengan baik jika akal sehat dan nurani kaum akademisi diam tak bergeming. 

Akademisi kerakyatan harus berani memantik kesadaran baru, bahwa ekonomi bukan hanya soal produksi dan konsumsi, melainkan soal relasi antar manusia yang saling memperkuat. Pertumbuhan ekonomi yang manusiawi hanya bisa bertumbuh jika ilmu pengetahuan kembali berpijak pada bumi kemanusiaan, bukan pada capaian rentetan gelar akademik.

Kalau rakyat dituntut untuk mandiri, kenapa para Akademisi justru bergantung pada dana hibah? Kalau desa diminta mengelola potensi lokal, kenapa penelitinya justru mengeksploitasinya? 

Kesenjangan ekonomi harus diberantas. Para peneliti ramai-ramai turun ke lapang menggarap ladang. Dosen berkenan duduk di pos ronda dan Mahasiswa didorong untuk bisa mendengar keluhan-keluhan rakyat bukan hanya pandai berbicara. 

Ilmu harus jadi pelita, bukan komoditas. Kalau tidak, ekonomi akan terus goncang dan pincang karena yang seharusnya jadi tonggak penyangga justru tak bergeming, berada di zona nyaman.

Bangsa ini tak butuh teori ekonomi yang muluk-muluk apalagi rumit. Bangsa ini hanya butuh rasa percaya diri nya hadir. Meyakini sebagai bangsa yang mandiri. Butuh kesadaran bahwa negeri ini bisa mencapai kemakmuran jika semua mau saling mengisi, memberi, dan membantu. 

Asah, asih, asuh. Ketiganya harus lengkap. Maka, wahai kaum cerdik pandai, gelar akademikmu tak berarti apa-apa jika kehadiranmu tak membekas di hati rakyat. jika kalian masih merasa bagian dari rakyat, berbuatlah adil. 

Menyatulah dengan aroma tanah, suara riuh pedagang di pasar, peluh dan bau keringat petani, dan renyah sorak-sorai anak-anak desa yang bermain di gang sempit. Karena dari sanalah pertumbuhan ekonomi yang sejati akan lahir. Ia akan bertumbuh secara manusiawi.

***

*) Oleh : Hari Purnomo, M.E., Dosen di Universitas Islam Ibrahimy Banyuwangi.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

_______
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES