Kopi TIMES

Polisi Militer dan Bayang-Bayang Disiplin

Minggu, 11 Mei 2025 - 09:00 | 5.79k
Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta
Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, PADANG – Tanggal 11 Mei, sebagian besar masyarakat mungkin tak menyadarinya. Tak ada gegap gempita seperti perayaan nasional lainnya. Namun bagi jajaran Tentara Nasional Indonesia (TNI), tanggal ini adalah hari penting: Hari Ulang Tahun Polisi Militer TNI—satuan yang tak banyak disorot namun menyimpan peran vital dalam tubuh militer.

Didirikan pertama kali pada 11 Mei 1946 sebagai Detasemen Polisi Tentara di bawah Komando Polisi Tentara di Yogyakarta, Polisi Militer dibentuk sebagai respons terhadap kebutuhan kedisiplinan pasukan dan penegakan hukum di tengah pergolakan revolusi kemerdekaan. 

Advertisement

Fungsi ini terus melekat bahkan hingga kini, saat Indonesia telah jauh beranjak dari medan tempur fisik ke ruang-ruang stabilitas demokrasi dan supremasi sipil.

POM TNI, yang terdiri dari tiga matra—POMAD (Angkatan Darat), POMAL (Angkatan Laut), dan POMAU (Angkatan Udara)—memiliki mandat yang tak ringan. Mereka bertugas menegakkan hukum militer, menjaga disiplin prajurit, hingga melakukan pengamanan terhadap pejabat tinggi militer dan negara. 

Sering kali, publik hanya melihat mereka dalam bentuk razia kendaraan dinas, pengawalan VVIP, atau operasi yustisi internal. Namun, sejatinya tugas mereka menyentuh jantung integritas militer.

Di satu sisi, keberadaan Polisi Militer menjamin bahwa TNI bukan institusi yang kebal hukum. Dalam berbagai pelanggaran serius—dari desersi hingga pelanggaran HAM berat oleh oknum—unit Polisi Militer menjadi penyidik awal sebelum kasus dibawa ke Mahkamah Militer. 

Dalam banyak kasus yang akhirnya sampai ke pengadilan, hasil penyidikan dan laporan POM TNI kerap dijadikan rujukan penting oleh hakim. Fakta ini menunjukkan bahwa, setidaknya di atas kertas, penegakan hukum militer memiliki mekanisme pertanggungjawaban internal.

Namun, tak jarang pula publik mempertanyakan transparansi kinerja mereka. Dalam sistem yang sangat hierarkis dan tertutup, sulit bagi masyarakat sipil untuk memantau apakah tindakan Polisi Militer dilakukan secara adil, atau sekadar simbol penegakan disiplin untuk prajurit biasa—sementara perwira tinggi luput dari jerat. 

Kasus penyiksaan, kekerasan terhadap sipil, atau benturan antara anggota TNI dan Polri kerap menjadi sorotan di mana Polisi Militer dituntut bersikap tegas, meski tidak selalu terbuka.

Beberapa catatan kelam tak bisa dihapus begitu saja. Dalam masa Orde Baru, Polisi Militer kerap berada di posisi sulit—antara profesionalisme militer dan tekanan kekuasaan. Tidak sedikit yang digunakan untuk menekan pihak-pihak kritis, terutama ketika militer masih menjadi kekuatan dwifungsi. Warisan ini masih terasa hari ini, ketika publik menuntut institusi militer yang profesional dan tunduk pada supremasi sipil.

Namun perubahan memang mulai tampak. Reformasi TNI pasca 1998 meletakkan posisi Polisi Militer lebih jelas dan terbatas pada fungsi internal. Salah satu langkah maju adalah keterlibatan mereka dalam memperkuat sistem peradilan militer yang lebih transparan. 

Dalam sejumlah kasus, POM TNI bekerja sama dengan Komnas HAM atau Kejaksaan dalam mengusut pelanggaran berat. Keterlibatan ini, meski belum sistemik, menunjukkan adanya ruang perbaikan.

Di tengah tantangan zaman—termasuk tuntutan keterbukaan informasi, modernisasi hukum, dan dinamika konflik sosial—POM TNI dihadapkan pada kebutuhan redefinisi peran. Tak cukup hanya menjadi penjaga disiplin internal; mereka juga harus menjadi contoh penegakan hukum yang adil dan akuntabel. Reformasi militer tak akan lengkap tanpa reformasi Polisi Militernya.

Peringatan Hari Polisi Militer bukan semata seremoni di markas. Ia adalah momentum refleksi tentang bagaimana kekuasaan bersenjata seharusnya dibatasi oleh hukum dan etika.

Di tengah dunia yang semakin terbuka, disiplin militer bukan lagi hanya soal ketaatan vertikal, tapi juga soal integritas horizontal—kepatuhan terhadap hukum yang berlaku untuk semua.

Sejarah mencatat bahwa bangsa besar bukanlah bangsa tanpa tentara, melainkan bangsa yang mampu mengatur dan mengawasi tentaranya secara bijak. Dalam konteks itu, Polisi Militer berdiri sebagai garda pertama dan terakhir dalam menjaga kehormatan militer—bukan dari musuh luar, melainkan dari penyimpangan di dalam.

Pada akhirnya, pertanyaan bagi publik dan militer adalah sama: apakah Polisi Militer akan terus menjadi penegak hukum yang profesional dan objektif, atau justru simbol disiplin yang hanya bekerja dalam bayang-bayang kekuasaan?

***

*) Oleh : Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES