Kopi TIMES

Alarm Arogansi dan Matinya Demokrasi Sepak Bola Indonesia

Senin, 12 Mei 2025 - 19:49 | 7.80k
Mohammad Iqbalul Rizal Nadif, Kalijaga Class Bonek Jogja
Mohammad Iqbalul Rizal Nadif, Kalijaga Class Bonek Jogja
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Demokrasi tak selalu mati di parlemen atau di jalanan. Ia juga bisa mati di stadion, di balik sorak sorai dan nyanyian suporter, diam-diam terkubur di tengah permainan yang mestinya jujur dan merdeka. 

Itulah yang kini terjadi dalam dunia sepak bola Indonesia, ketika seorang pemain seperti Yuran Fernandes, kapten PSM Makassar, dijatuhi sanksi skorsing satu tahun dari kompetisi Liga 1—bukan karena pelanggaran brutal, bukan karena tindakan kriminal, melainkan karena keberaniannya menyuarakan kekecewaan. 

Advertisement

Satu tahun bukan hanya angka. Ia adalah vonis yang berat terhadap semangat kebebasan berekspresi, dan alarm keras bagi matinya demokrasi dalam ruang olahraga kita.

Yuran dikenai hukuman oleh Komite Disiplin PSSI atas tindakan yang dianggap “tidak sportif” dan “melanggar kode etik”. Namun publik tahu bahwa tindakan itu lahir dari akumulasi kekecewaan terhadap kualitas kepemimpinan wasit dan sistem yang kerap tidak berpihak pada keadilan. 

Alih-alih memperbaiki sistem atau membuka ruang dialog, federasi lebih memilih jalan pintas: membungkam suara yang tak sesuai narasi resmi. Ini bukan hanya soal satu pemain, tetapi tentang bagaimana kekuasaan merespons kritik. Dalam demokrasi yang sehat, kritik adalah vitamin. Tapi dalam sistem yang takut pada keterbukaan, kritik dianggap racun.

Kita teringat pada pemikiran Tan Malaka yang menyebut, “sepak bola adalah alat perjuangan.” Ucapan itu tak dilontarkan dalam ruang kosong. Ia lahir dari keyakinan bahwa sepak bola lebih dari sekadar permainan: ia adalah bahasa rakyat, ruang konsolidasi massa, dan cermin dari dinamika sosial-politik yang sesungguhnya. 

Dalam sepak bola, kita melihat solidaritas, emosi kolektif, dan seringkali, resistensi. Maka ketika seorang kapten tim dihukum karena menyuarakan kegelisahan, kita tak hanya kehilangan sportivitas, kita kehilangan makna perjuangan itu sendiri.

Sepak bola Indonesia selama ini telah menjadi tempat pelampiasan rasa frustrasi publik terhadap banyak ketimpangan: dari ketidakadilan hukum, kekacauan birokrasi, hingga kesenjangan ekonomi. Di stadion, rakyat bersatu tanpa memandang kelas, suku, atau agama. 

Namun belakangan, ruang-ruang ini makin sempit. Yuran Fernandes hanya satu dari sekian korban sistem yang anti kritik. Suporter yang bersuara dianggap provokator. Pemain yang berekspresi dituduh tidak profesional. Dan media yang terlalu kritis ditekan atau disudutkan. 

Semua ini menggambarkan lanskap demokrasi yang tercekik, bukan hanya di ruang politik formal, tetapi di dalam lapangan hijau yang semestinya netral dan bebas.

Lebih memprihatinkan, banyak pihak yang justru membenarkan hukuman tersebut atas nama “ketertiban” atau “wibawa federasi”. Namun wibawa sejati bukan lahir dari ketakutan, melainkan dari keterbukaan dan kemampuan menerima kritik. 

Ketertiban sejati tak bisa dibangun di atas ketidakadilan. Ketika suara pemain dibungkam, publik dipaksa diam, dan otoritas merasa tak perlu menjelaskan, maka yang lahir bukanlah disiplin, tapi dominasi yang otoriter.

Kematian demokrasi di sepak bola Indonesia bukan peristiwa tunggal. Ini adalah akumulasi dari ketertutupan sistem, lemahnya akuntabilitas, dan mentalitas kekuasaan yang enggan dikritik. Jika hari ini seorang pemain asing bisa dihukum karena bersuara, maka besok siapa pun bisa mengalami nasib yang sama. 

Di titik inilah, kita harus kembali bertanya: untuk siapa sepak bola Indonesia dimainkan? Untuk rakyat yang mencintainya, atau untuk segelintir elite yang mengaturnya?

Tan Malaka meyakini bahwa sepak bola adalah alat perjuangan. Dan dalam konteks hari ini, perjuangan itu bukan lagi soal menang atau kalah di lapangan, tetapi tentang mempertahankan ruang ekspresi, keadilan, dan martabat manusia. 

Jika sepak bola sudah tidak memberi ruang bagi suara yang berbeda, maka ia tak lagi menjadi alat perjuangan, melainkan alat represi.

Sudah saatnya dunia sepak bola Indonesia bercermin. Demokrasi tidak boleh berhenti di gedung parlemen atau bilik suara. Ia harus hidup di setiap sudut kehidupan, termasuk di stadion, di tribun, dan di ruang ganti. Karena hanya dengan itulah, sepak bola bisa kembali menjadi milik rakyat, bukan alat kekuasaan.

***

*) Oleh : Mohammad Iqbalul Rizal Nadif, Kalijaga Class Bonek Jogja.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

_____
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES