Kopi TIMES

Tragedi Trisakti: Analisis Relasi Kekuasaan dan Pengetahuan Michel Foucault

Selasa, 13 Mei 2025 - 11:23 | 10.56k
Dicky Aryansyah, Mahasiswa Aktif UIN KHAS Jember
Dicky Aryansyah, Mahasiswa Aktif UIN KHAS Jember
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – Krisis ekonomi moneter yang melanda Asia sejak tahun 1997 memberikan guncangan dahsyat terhadap perekonomian Indonesia. Dampaknya terasa hingga ke pelosok negeri. Harga kebutuhan pokok melonjak, pengangguran meningkat, dan kepercayaan publik terhadap pemerintahan merosot drastis. Rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto, yang telah berkuasa selama 32 tahun sejak 1966, kian dipertanyakan legitimasinya. Rezim ini terkenal dengan sifat otoriternya, menggunakan dalih stabilitas untuk membungkam kritik.

Situasi ini menjadi pemicu munculnya berbagai aksi protes di kalangan mahasiswa dan masyarakat sipil. Mereka menuntut perubahan sistem, transparansi pemerintahan, dan diakhirinya kekuasaan absolut yang membelenggu demokrasi. Semangat reformasi mulai tumbuh dan menyebar dari satu kampus ke kampus lain, menyulut gelombang besar yang akhirnya meletus pada bulan Mei 1998. Tragedi Trisakti menjadi salah satu momen paling krusial dalam proses ini.

Advertisement

Kematian Empat Martir Demokrasi

Pada 12 Mei 1998, sekitar 6.000 massa aksi yang terdiri buruh, mayasrakat sipil terutama mahasiswa, berkumpul di Universitas Trisakti. Mereka melakukan long march menuju Gedung DPR/MPR di Senayan, Jakarta. Tuntutan mereka sederhana: perubahan sistem dan mundurnya Soeharto dari tampuk kekuasaan. Aksi damai ini kemudian berubah menjadi mimpi buruk ketika dalam perjalanan mereka dihadang oleh aparat kepolisian dan militer.

Negosiasi antara mahasiswa dan aparat sempat dilakukan, namun tidak mencapai kesepakatan. Menjelang sore hari, mahasiswa memutuskan untuk mundur, akan tetapi justru aparat semakin mendekat. Tiba-tiba gas air mata ditembakkan, diikuti peluru karet, dan bahkan peluru tajam. Situasi berubah menjadi sangat kacau. Massa berlarian menyelamatkan diri, sebagian mencari perlindungan di gedung-gedung sekitar kampus.

Empat mahasiswa tewas dalam insiden itu: Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie. Ratusan lainnya mengalami luka-luka. Kejadian ini memicu gelombang besar demonstrasi di berbagai daerah dan menjadi salah satu momen paling tragis dalam sejarah pergerakan mahasiswa Indonesia. Para korban dikenang sebagai Martir Demokrasi, simbol keberanian dan pengorbanan demi perubahan.

Siapa Mastermind Tragedi Trisakti?

Pertanyaan mengenai siapa dalang atau mastermind di balik tragedi ini masih menjadi misteri hingga kini. Selama 27 tahun kasus ini berjalan, belum ada jawaban pasti yang memuaskan publik. Yang diadili hanya pelaku lapangan, sementara nama-nama besar dalam militer yang diduga terlibat masih bebas tanpa proses hukum yang jelas. Menjelang Pilpres 2014, 2019, dan 2024, isu ini kembali mencuat ke khalayak permukaan publik.

Nama-nama seperti Prabowo Subianto dan Wiranto kerap disebut-sebut sebagai saksi kunci atau bahkan diduga mengetahui lebih banyak daripada yang mereka akui. Namun hingga saat ini, keduanya memilih diam dan tidak memberikan pernyataan yang transparan kepada publik. Janji-janji politik untuk menyelesaikan kasus ini pun hanya sebatas retorika kampanye tanpa tindak lanjut konkret.

Tragedi ini bahkan kerap dijadikan komoditas politik, digunakan untuk menjatuhkan lawan saat momentum pemilu tiba. Sementara itu, keluarga korban masih terus menanti keadilan yang tak kunjung datang. Negara terkesan abai, dan lembaga-lembaga penegak hukum seperti Komnas HAM dan Kejaksaan Agung belum mampu menuntaskan penyelidikan secara menyeluruh.

Tragedi Trisakti dalam Kacamata Michel Foucault

Tragedi Trisakti bukan hanya soal kekerasan aparat, tetapi juga menyangkut bagaimana kekuasaan membentuk dan mengontrol pengetahuan publik. Michel Foucault, seorang filsuf asal Prancis, menjelaskan bahwa kekuasaan tidak hanya bekerja melalui tindakan represif, tetapi juga melalui produksi wacana dan pengetahuan. Dalam konteks ini, pemerintah Orba berupaya mengontrol narasi mengenai peristiwa tersebut.

Media yang dikendalikan negara saat itu menggiring opini bahwa aksi mahasiswa bersifat anarkis dan aparat hanya menjalankan tugas menjaga ketertiban. Narasi ini terus disebarkan demi menjaga citra pemerintah. Dalam istilah Foucault, ini adalah bentuk dari episteme, yaitu sistem pengetahuan dominan yang dibangun untuk mendukung dan memperkuat kekuasaan. Pengetahuan yang disebarkan bukanlah hasil dari pencarian kebenaran, melainkan alat untuk melanggengkan kekuasaan.

Pemerintah Orba berusaha memoles citra diri sebagai pemimpin tegas, pemberani, dan penyelamat bangsa. Rekam jejak pelanggaran HAM dan kekerasan sistematis dihapus perlahan dari memori publik. Penghapusan sejarah ini dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari mencari simpati kepada keluarga korban hingga mengangkat narasi kepemimpinan yang kuat dan stabil. Pengetahuan palsu ini menciptakan ilusi bahwa masa lalu yang kelam sebetulnya adalah masa yang penuh ketertiban.

Namun Foucault juga menyatakan bahwa di mana ada kekuasaan, di situ ada perlawanan. Mahasiswa, aktivis, dan keluarga korban memproduksi pengetahuan tandingan. Mereka menyusun dokumentasi alternatif, menyebarkan foto, kesaksian, dan narasi yang tidak diangkat oleh media arus utama. Ini adalah bentuk resistensi terhadap dominasi wacana negara.

Melalui perjuangan ini, masyarakat mulai memahami bahwa kebenaran tidak hanya datang dari versi resmi. Kebenaran dibentuk dari konflik wacana, dari suara-suara yang berani berbicara di tengah tekanan. Tragedi Trisakti menjadi bukti bahwa kontrol atas sejarah dan narasi adalah bagian penting dari kekuasaan itu sendiri. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk terus mengkritisi wacana yang beredar, tidak mudah percaya pada versi tunggal, dan selalu menuntut keadilan.

***

**) Oleh: Dicky Aryansyah, Mahasiswa Aktif UIN KHAS Jember.

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES