Kopi TIMES

Hilirisasi Nikel Hijau

Rabu, 14 Mei 2025 - 14:15 | 23.77k
M. Aditiya Silvatama
M. Aditiya Silvatama
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JEMBER – Indonesia merupakan produsen nikel terbesar dunia, berdasarkan data United States Geological Survey (USGS) pada tahun 2024 lebih dari 59% nikel dunia diproduksi oleh Indonesia. Hilirisasi nikel dilakukan oleh pemerintah Indonesia guna meningkatkan nilai tambah dengan memproses bijih nikel mentah di dalam negeri. 

Dalam program tersebut pemerintah menerapkan double policy atau kebijakan berlapis yaitu: larangan ekspor bahan mentah dan pemberian insentif pada industri peleburan logam atau smelter. 

Advertisement

Kebijakan tersebut menarik minat banyak investor untuk berinvestasi. Produksi nikel Indonesia meningkat lebih dari 18 kali lipat dari 117 ribu ton pada tahun 2014 menjadi 2,2 juta ton pada tahun 2024.

Hilirisasi Nikel Indonesia Belum Ramah Lingkungan

Berbagai insentif diberikan pemerintah untuk industri hilirisasi nikel termasuk izin pengunaan bahan bakar batu bara yang kotor sebagai sumber energi utama smelter. Penggunaan batu bara oleh mayoritas smelter nikel Indonesia menyumbang emisi yang cukup besar.

Rata-rata intensitas emisi yang dihasilkan oleh perusahan-perusahaan besar nikel Indonesia yaitu 57-70 ton CO2 per ton nikel jauh melebihi rata-rata global yaitu (45 ton). 

Selain itu standar Environmental, Social, and Governance (ESG) yang diberlakukan utamanya dalam memperhatikan limbah penambangan, pencemaran dan deforestasi masih rendah. Hilirisasi nikel Indonesia belum sepenuhnya sejalan dengan agenda Indonesia bebas emisi 2060. 

Dalam agenda Net Zero Emission (NZE) 2060 pemerintah Indonesia berkomitmen untuk secara bertahap menutup Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara dan menggantikan pembangkit listrik yang lebih ramah lingkungan. 

Namun disisi lain agenda strategis hilirisasi nikel memperbolehkan penggunaan batu bara untuk PLTU captive yang dimiliki industri nikel. Dua kondisi tersebut tidak koheren yang dampaknya akan menghambat NZE 2060.

Mengapa Harus Menghijaukan Hilirisasi Nikel?

Menurut hasil analisis Lembaga Think-Thank Transisi Bersih penggunaan energi bersih dan peningkatan standar ESG akan menyelaraskan bahkan mendukung agenda Indonesia bebas emisi. Tidak hanya itu hilirisasi hijau akan meningkatkan nilai tambah ekonomi dalam negeri. 

Penggunaan energi bersih dan kenaikan standar sosial seperti upah pekerja, standar keselamatan, hubungan dengan masyarakat dan tata kelola akan menambah biaya produksi, hal ini akan membuat uang yang beredar dalam industri semakin banyak, menaikkan pendapatan para agen ekonomi sehingga dapat meningkatkan nilai tambah dalam negeri. 

Penggunaan energi bersih dan standar ESG yang tinggi akan menaikkan mutu nikel Indonesia. Produk yang dihasilkan akan memiliki keunggulan komperatif di pasar global yang memperhatikan keberlanjutan. Dengan begitu, Indonesia tak hanya jadi produsen terbesar, tapi juga jadi pemasok yang dipercaya karena kualitas dan komitmennya terhadap lingkungan dan sosial.

Penggunaan Energi Bersih oleh PT Vale Indonesia 

PT. Vale Indonesia merupakan perusahan tambang dan pengolahan nikel di Sulawesi. Rata-rata memproduksi 75.000 ton nikel per tahun. PT. Vale menggunakan pembangkit listrik tenaga air dan biofuel sebagai sumber energi produksinya.

Selain itu PT. Vale mengaku hingga Agustus 2024, PT Vale telah mereklamasi 3.818 hektare area bekas tambang dengan menanam sekitar 700.000 bibit pohon setiap tahunnya. 

Sekitar 60% dari bibit yang ditanam merupakan pohon lokal, termasuk spesies endemik seperti eboni, dengen, dan kaloju. Perusahaan mentargetkan penurunan emisi CO₂ sebesar 33% serta pencapaian NZE pada tahun 2050, yang berarti satu dekade lebih cepat dari target nasional pemerintah Indonesia. 

PT Vale Indonesia menjadi contoh nyata bahwa hilirisasi nikel yang berkelanjutan bisa diwujudkan. Penurunan emisi, apalagi target NZE 2060, sulit tercapai jika tidak ada koherensi antar kebijakan yang dijalankan. 

Pemerintah harus mampu menyelaraskan strategi hilirisasi dengan agenda transisi energi, memastikan bahwa ambisi hilirisasi tidak bertentangan dengan komitmen iklim. Kebijakan energi untuk industri harus sejalan dengan peta jalan dekarbonisasi, termasuk pembatasan penggunaan batu bara dan percepatan integrasi energi terbarukan di sektor hilir.

Pemerintah juga perlu memperketat pengawasan terhadap dampak lingkungan dan sosial agar hilirisasi tidak berubah menjadi eksploitasi. Hilirisasi seharusnya menjadi jalan menuju pembangunan berkelanjutan, bukan sekadar pengurasan sumber daya demi pertumbuhan jangka pendek.

***

*) Oleh : M. Aditiya Silvatama

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES